Dua minggu telah berlalu. Selama itu juga, Jaemin tak masuk sekolah dan mengurung diri di kamar. Keluar kamar hanya sekedar makan jika ada makanan tapi kalo tidak ada, Jaemin tak makan karena ia belum siap berjumpa dengan banyak orang apalagi mengingat kejadian dimana dirinya terus berlari namun tak ada satu pun yang menolongnya. Sekejam itulah manusia. Mark, Jisung, dan Renjun terkecuali. Karena mereka lah yang ada disaat Jaemin membutuhkannya meski harus merelakan Mark dan Jisung.
Seperti hari-hari sebelumnya. Jaemin yang dulunya agak ogah-ogah meminum obat kini telah berjadwal. Ia rutin meminumnya dua kali sehari, pagi dan malam. Adapun obat yang ia simpan dalam sakunya untuk berjaga-jaga jika rasa sakit di punggungnya kambuh maka ia akan menelan pil itu agar rasa sakit tak terlalu menyiksanya.
Pagi ini, Jaemin telah siap dengan seragam sekolah dan menyampirkan tasnya di sebelah pundaknya. Sejak kepergian Mark, ia tak pernah lagi menyiapkan sarapan untuk ayahnya dan Jeno. Rumah pun nampak sedikit berantakan karena Jaemin tak membereskannya. Sejak saat itu juga, Jaemin tak lagi bangun subuh-subuh. Terbangun dari tidurnya tanpa kenal waktu, ia juga tak menghiraukan gedoran sang ayah dan juga Jeno.
Sebelum berangkat ke sekolah, Jaemin menyempatkan diri memasuki kamar Mark yang sudah kosong. Ruangan itu masih bersih, rapi, dan wangi khas Mark masih tercium. Bekas kehidupan pun masih terasa. Jaemin tersenyum, langkah kecilnya membawanya ke meja belajar Mark lalu mengambil buku kosong abangnya.
Hai, abang
Apa kabar?
Maaf, Nana lancang masuk ke kamar abang. Nana cuman mau bilang kalo hari ini, Nana masuk sekolah. Nana bolos dua minggu, maaf. Nana bandel ya?, abang boleh kok mukul Nana karena Nana bandel. Tapi bagaimana bisa, kita beda alam.
-Na Jaemin
🐰🐰🐰
"Itu si Jaemin?."
"Masih hidup ternyata kirain udah bunuh diri."
"Emang harusnya sih bunuh diri daripada hidup cuman jadi mala petaka."
"Dulu bundanya, kemarin sodaranya dan juga Jisung. Besok-besok siapa lagi yang kena sial deket dia?."
"Denger-denger Renjun juga bantuin dia."
"Syukurlah Renjun gak kenapa-napa."
"Jangan deket-deket deh pokoknya ntar kita kena sial."
Bisikan-bisikan menyelekit itu terdengar sepanjang koridor. Mau ditanggapin juga percuma. Toh Jaemin telah terbiasa dimaki seperti itu. Terus melangkah menelusuri koridor hingga langkahnya terhenti di depan anak tangga pertama kala melihat Jaehyun, Johnny, dan Taeil menuruni anak tangga.
"Akhirnya lo masuk juga." Ucap Taeil tersenyum seraya merangkul Jaemin.
Jaemin hanya diam saja dengan wajah datarnya.
"Denger-denger abang lo mati ya?, denger-denger Jisung mati juga ya?." Tanya Johnny terdengar meledek.
Jaemin masih saja diam. Matanya kini menatap Johnny begitu datar lalu menepis tangan Taeil dari pundaknya. Disaat ia hendak melangkah pergi, Johnny dengan sengaja mendorongnya hingga bokongnya menghantam kerasnya lantai. Sedangkan Jaehyun, ia juga terdiam. Lelaki itu bahkan sedaritadi menatap Jaemin tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk mengusik lelaki yang selalu dibullynya.
Melihat Jaemin terjatuh, Johnny dan Taeil tentu menertawakannya. Tak hanya mereka berdua, orang-orang yang melihatnya pun ikut menertawakan Jaemin, tak ada diantara mereka yang mau menolong lelaki malang itu.
Jaemin berdiri. Kembali melangkah namun terdorong lagi. Kali ini tak jatuh, hanya mundur beberapa langkah. Tertunduk sekilas kemudian mengangkat pandangannya. Menatap Jaehyun yang hanya diam saja bahkan tertawa pun tidak, beralih menatap Johnny dan terakhir Taeil.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Подростковая литератураKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.