Hari demi hari berlalu, pelaku pembunuh Mark dan Jisung belum terungkap. Jaemin, lelaki yang tertekad anak membunuh empat orang itu dengan tangannya sendiri masih terus menyelidikinya setiap malam. Karena kasus ini, ia sering pulang larut bahkan terkadang pulang jam 2. Setiap malam ia selalu mengunjungi tempat keramaian, baginya ada kemungkinan ia akan menemukannya jika berada di keramaian.
Malam ini, Jaemin tengah berada di sebuah cafe. Tujuannya bukan untuk bersantai tetapi untuk mengisi kekosongan perutnya. Sendiri, ia sengaja tak mengajak Renjun karena ia tahu betul, Renjun pasti akan mencegahnya dan berakhir mengomelinya panjang kali lebar.
Di sela-sela makannya, atensinya teralih ke kanan ke kiri manakala mendengar dering telfon. Saat menemukan siapa ponsel yang berdering itu, ia menyicingkan matanya. Di samping kanannya yang sedikit berjarak, Jaemin seperti mengenali siapa lelaki yang memunggunginya itu.
"Selamat malam." Sapa Jaehyun ketika tersambung.
"Jaehyun?." Batin Jaemin. Sudah ia katakan ia mengenalinya dan benar saja, lelaki itu adalah Jaehyun.
"Maaf om, aku gak bisa. Om cari aja orang baru, aku gak mau lagi ngusik anak om."
Tanpa diketahuinya, Jaemin menguping pembicaraannya.
"Hanya itu kan?, oke ini yang terakhir." Setelahnya, Jaehyun mematikan sambungan sepihak.
Mengusik anak om lagi?. Ada yang mengjangkal di pikiran Jaemin. Jika diingat-ingat, semenjak Mark dan Jisung meninggal, Jaehyun tak pernah lagi mengusik dan membully Jaemin. Apa iya dalam pembicaraan itu, yang Jaehyun maksud adalah dirinya. Terlalu berfikir keras hingga tak menyadari Jaehyun membayar makanannya dan akan pergi entah kemana.
Jaemin menoleh, "Jaehyun kemana?." Batinnya bertanya-tanya. Ia mengedarkan pandangannya dan menemukan Jaehyun telah keluar.
🐰🐰🐰
20:05. Dibawah sinar rembulan, di area gedung tua namun tak terbengkalai, seorang lelaki berpakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup masker serta topi yang berjumlahkan kurang lebih 30 orang. Mereka ditugaskan untuk mengepung bangunan itu dan tak melakukan penyerangan sebelum diberi aba-aba.
"Sepuluh di belakang, lima di samping kanan, lima di samping kiri, dan sisanya bersama saya disini. Jangan ada yang ketauan dan saat penyerangan nanti, pastikan tak ada yang berhasil kabur." Perintah ketuanya. Anggotanya mengangguk mematuhi dan langsung menyebar sesuatu perintah.
Cukup lama mereka menunggu, dua orang dengan style yang sama datang dan langsung bergabung. "Bagaimana?."
"Semuanya aman."
"Lakukan penyerangan, pastikan jangan ada yang tewas. Tugas kalian cuman mengikat tubuh mereka dan melakban mulutnya." Perintahnya.
Setelah mendapat perintah, sepuluh orang yang berjaga di depan berjalan masuk ke dalam bangunan tua itu untuk melaksanakan tugasnya. Kala pintu terbuka, bau alkohol langsung menyambut penciumannya. Memakai masker pun masih tercium saking pekatnya aroma itu.
Semuanya mengendap-endap seraya mengedarkan pandangan. Ada begitu banyak botol anggur merah dan puntung rokok yang berserakan. Sebelum melakukan penyerangan, kesepuluh lelaki itu bersembunyi terlebih dulu. Memandang dari jarak tiga meter dari mangsanya. Disana, ada enam lelaki yang lengannya dipenuhi rajah. Masing-masing menyesap nikotin di sela jemari telunjuk dengan tengahnya, juga terdengar samar-samar yang mereka perbincangkan.
Sang ketua memicingkan matanya, mengfokuskan indera penglihatannya pada kaki keenam lelaki yang akan menjadi mangsanya. "Kaki mereka aman." Bisik ketuanya.
Anggotanya yang berada di samping ikut memicingkan matanya. "Perhatikan kakinya saat penyerangan nanti, mungkin saja ada bekas tembakan."
Ketuanya mengangguk dan langsung memberi kode ke anggotanya untuk melakukan penyerangan. Dengan serentak, mereka berdiri dan salah satu diantara mereka menembak botol minum yang ada diatas meja. Suara tembakan yang menggema mampu terdengar hingga luar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Подростковая литератураKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.