21. Night Sky

700 158 7
                                    

Malam ini, Jaemin telah diperbolehkan pulang dan selama di rawat di rumah sakit, Lee Doyoung maupun Lee Jeno tak pernah datang menjenguknya. Dari situlah Jaemin tahu sebenci apa ayah dan abangnya--Jeno-- kepada dirinya. Hanya Mark, lelaki itu setia menemani Jaemin meski harus mengorbankan waktu kuliahnya dan kebiasaannya setiap hari yaitu berkutat pada beberapa buku pelajaran.

Duduk termenung di ruang tamu seorang diri. Beberapa hari kedepannya, Mark mengatakan bahwa ia tak mengizinkan Jaemin melakukan berbagai kegiatan yang berat dan menguras tenaga agar penyakit Jaemin tak kambuh yang akan berakhir menyiksa lelaki itu. Bukan Mark, tetapi Jaemin. Sudah cukup hari-hari suram yang Jaemin lalui dan kini, Mark akan menemani adek kecilnya melangkah bersama.

Pintu terbuka lebar tanpa diketuk terlebih dahulu mengakibatkan lamunan Jaemin terbuyarkan. Dialihkannya atensinya dan langsung mendapati sang ayah yang baru pulang kerja dengan tas kantor yang ditentengnya. Jaemin tersenyum menyambutnya, lengkungan lebar yang begitu indah jika dipandang layaknya keindahan pelangi yang akan muncul setelah hujan reda. Selang beberapa hari di rawat, meski Lee Doyoung tak pernah berbuat adil kepadanya, tak dapat dipungkiri bahwasanya Jaemin merindukan sang ayah.

Meski ia tahu ayahnya sangat membencinya namun tak ada salahnya Jaemin meyakinkan dirinya jika dalam lubuk hati sang ayah yang paling dalam, masih ada rasa sayang yang terbesit. Kejahatan tak seharusnya dibalas dengan kejahatan, sama halnya kebencian tak seharusnya dibalas kebencian.

Meski dipukuli setiap hari, Lee Doyoung tetaplah ayahnya, suami dari seorang wanita yang telah melahirkannya. Terbilang, rasa sayangnya lebih besar daripada rasa benci bahkan tak ada sedikitpun yang terbesit dalam benaknya akan kebencian. Seburuk apapun Lee Doyoung, Jaemin tidak akan membencinya maupun menaruh dendam.

Kaki Jaemin melangkah menghampiri sang ayah yang sama sekali tak merespon kehadirannya. "Ayah." Panggilnya berhasil membuat langkah Lee Doyoung terhenti.

"Ayah, Nana udah pulang." Serunya dengan tampang berbinar. Mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah namun diabaikan begitu saja.

Jangankan disentuh, dilirik saja tidak. "Buatkan saya kopi dan buatkan Mark  dan Jeno susu." Perintahnya dengan wajah datar dan suara dingin.

"Bang Mark gak ngebolehin Nana beraktivitas dulu Yah." Bukan bermaksud menolak hanya saja Jaemin tak ingin Mark marah karena tak menurut.

"Mau jadi anak durhaka kamu hah?!." Hardik Lee Doyoung menjambak rambut Jaemin.

Jambakan dan kambuhnya penyakitnya menimbulkan rasa sakit yang bersatu. Apalagi dengan tubuhnya yang sedikit membungkuk membuatnya semakin merasakan sakit. "Ma-maaf ayah, Nana bikinin sekarang."

Sang ayah melepas jambakannya kasar hingga kepala Jaemin seperti tertoyor. Setelahnya, Lee Doyoung melenggang pergi menuju ke kamarnya, meninggalkan putra bungsunya yang kesakitan karena ulahnya. "Obat?. Iya, gue harus minum obat." Monolognya, langkah kecilnya membawanya ke kamar dengan tangan yang mengusap punggungnya.

Seusai meminum obat, Jaemin merebahkan tubuhnya di kasur yang akhirnya kembali ia tempati untuk beristirahat. Rasanya masih sama, sangat nyaman. Lelaki itu emejamkan matanya untuk tidur sejenak, berharap bangun nanti rasa sakit itu tak lagi terasa. Melupakan apa yang sang ayah perintahkan tadi.

Tak ada setengah jam Jaemin memejamkan matanya, dobrakan pintu mengagetkannya bahkan lelaki itu reflek mengubah posisinya menjadi duduk. "A-ayah?." Kedatangan Lee Doyoung, ingatannya seketika mengingat perintah sang ayah.

"Na-nana lupa, Aya---

Belum sempat Jaemin menyelesaikan ucapannya, wajahnya seketika tertoleh akibat tamparan yang Lee Doyoung berikan. Mungkin sebagai hukuman karena Jaemin tak melaksanakan perintah sang ayah. Andai rasa sakit itu tak ada, Jaemin tidak mungkin melupakannya dan memilih untuk tidur.

BITTER LIFE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang