"Na, lo beneran mau ke makam bunda lo?." Tanya Haechan sedaritadi memperhatikan gerak-gerik Jaemin yang tengah bersiap-siap akan ke makam bersama sang ayah dan juga Jeno.
Jaemin merapikan kerah kemejanya kemudian mengangguk, "Lo mau ikut?."
"Ya gapapa lah, Chan. Toh perginya cuman ke makam tante Young, bareng om Doyoung juga jadi aman-aman aja. Nana juga jauh lebih baik daripada semalem." Sahut Guanlin. Renjun?, lelaki itu tengah mandi.
Haechan manggut-manggut, dirinya terlalu mencemaskan Jaemin. "Iya sih. Oh iya Na, lo udah minum obat?." Tanyanya dibalas gelengan kepala oleh Jaemin membuatnya berdecak. "Bener-bener ya nih bocah satu, udah tau punya penyakit malah belum minum obat." Cerocosnya mengambil obat Jaemin dan sebotol air minum. Menepuk sofa sampingnya yang kosong mengisyaratkan Jaemin untuk duduk.
Setelah mendaratkan bokongnya, Jaemin mengambil pil yang ada di telapak tangan Haechan dan langsung menelannya. "Minum, minum." Perintah Haechan menyodorkan air minum.
"Ini rambutnya masih berantakan Na, lo bisa nyisir apa nggak sih?." Tanya Haechan mendumel seraya menyisir rambut Jaemin dan juga merapikannya. Maklum saja, jiwa emak-emaknya sedang kambuh.
"Jangan bilang lo di korea jadi asisten." Celetuk Renjun yang baru saja selesai mengeringkan rambutnya menggunakan handuk.
Haechan tertohok mendengarnya, "Gabutnya orang kaya beda, orang kaya gabut langsung pindah negara. Biasalah ya, pusing pala gue ngabisin duit gue yang gak abis-abis." Balas Haechan dengan tampang songongnya.
"Beban aja bangga lo." Cibir Guanlin tanpa mengalihkan atensinya dari layar ponselnya.
"Serah lo deh, Chan." Timpal Renjun menarik Jaemin yang sedaritadi diam saja.
🐰🐰🐰
Sepekan berlalu. Sepekan itu juga Jaemin lewati dengan hari-hari yang sangat-sangat membuatnya bahagia. Setelah sekian lama menderita, akhirnya ia merasakan kebahagiaan. Keluarganya kembali walau tanpa seorang bunda dan juga tanpa Mark. Tapi tak apa, hal itu tak menjadi penghalang lagi untuk kebahagiaan Jaemin.
Dan tiba masanya bertempur. Kini, diatas meja di hadapannya hanya ada ponsel, kertas, dan pulpen. Dikarenakan berbasis komputer tak mencukupi alhasil sekolah memperbolehkan menggunakan ponsel agar siswa-siswi juga terbiasa untuk berintegritas.
Dengan tenang, Jaemin dan Renjun mengerjakan soal-soalnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Meski terdengar bisikan dari bangku sekitarnya, hal itu tak mengganggu kefokusannya. Saking fokusnya, ia mengabaikan Haechan yang sedaritadi mencak-mencak meminta jawaban. Guanlin?, lelaki itu dengan santai memilih jawaban yang menurutnya benar tanpa menyelesaikannya menggunakan rumus. Di hari pertama dengan mata pelajaran mematikan, yang tak lain adalah matematika.
Haechan menendang-nendang bangku Guanlin namun sang empu tak menghiraukannya. "Guanlin, anj*ng. Nomor tiga jawabannya apa?." Bisiknya dengan tubuh yang dimajukan.
Masih tak dihiraukan, ia beralih ke Jaemin yang duduk di sampingnya. Karena ujian sedang berlangsung, jadi meja dipisahkan agar tak memudahkan para siswa menyontek. "Nana." Panggilnya dengan suara pelan.
Jaemin menoleh namun hanya sekilas, "Sebentar, Chan." Balasnya juga dengan suara pelan.
"Gini amat otak gue." Gumamnya lalu menghela nafas kasar.
Setelah soal-soalnya telah terjawab semuanya. Jaemin celingak-celinguk memastikan keadaan dan di waktu yang menurutnya aman, ia langsung menukar ponselnya dengan ponsel milik Haechan. Buat apa, tentunya untuk menjawab soal-soal Haechan. Hanya butuh beberapa menit untuk Jaemin menyelesaikannya. Dan setelahnya, ia kembali menukar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.