Mobil putih yang tak lain adalah ambulance, melintas dengan kecepatan diatas rata-rata, membawa Na Mi Young. Lee Doyoung beserta ketiga putranya terus saja berada disampingnya, menangisinya tiada henti. Dengan kesadaran yang masih dimiliki oleh Na Mi Young, wanita itu tak henti-hentinya menatap Jaemin. Tangan mungil Nana-nya menggenggam tangannya erat layaknya menyalurkan kekuatan untuk sang bunda agar tetap bertahan.
"Maafin Nana bunda hiks." Disela-sela tangisnya, Jaemin terus saja meminta maaf kepada Na Mi Young walaupun wanita setengah baya itu selalu saja meresponnya hanya dengan gelengan kepala.
"I-ini bukan sa-salah ka-mu sa-yang." Balas Na Mi Young terbata-bata akibat rasa sakit yang menjalar dalam tubuhnya.
Atensinya beralih menatap Lee Doyoung, Jeno, dan Mark bergantian. "Ja-ga Na-Nana. Bu-nda gak ku-at la-gi ja-jadi to-tolong jagain Nana." Melihat Lee Doyoung mengangguk dengan air mata yang terus membasahi pipinya membuat Na Mi Young tersenyum. Ditatapnya Na Jaemin untuk terakhir kalinya sebelum kedua matanya benar-benar tertutup.
Di sore hari dengan bumi yang masih terguyur hujan, wajah Jeno yang tengah tertidur tertoleh kanan-kiri dengan keringat yang bercucuran. Sedetik setelahnya, Jeno terbangun. Ia menghela nafas kasar dan ditatapnya langit-langit kamarnya. Tanpa sadar, setetes air matanya menetes membasahi pelipisnya. Buru-buru ia mengusap wajahnya kasar kemudian mengubah posisinya menjadi duduk.
"Mimpi itu lagi." Gumam Jeno nampak frustasi. Pasalnya, mimpi itu kerap muncul di sela tidur nyenyaknya.
Walaupun diluar hujan, Jeno masih bisa mendengar suara motor yang memasuki halaman kediaman Lee Doyoung. Segera ia menuruni kasur empuknya, melangkah untuk memastikan bahwa yang datang itu adalah Jaemin. Meski tak dipastikan, dugaannya sudah pasti benar sebab hanya Jaemin yang memiliki motor.
Jeno tersenyum miring, menatap Jaemin dari kejauhan dengan nyalang. "Lihat bunda, anak kesayangan bunda. Jeno kira anak sialan itu udah lupa jalan pulang. Gimana bisa bunda nyuruh Jeno ngejaga anak sialan yang tega ngebuat bundanya celaka?! Jeno gak sudi, bunda." Sengitnya mengepalkan kedua tangannya. Menarik tirainya kemudian melangkah keluar kamar.
Dengan tubuh yang menggigil, Jaemin membuka pintu kamarnya. Ingin rasanya ia segera mengganti pakaiannya agar terasa sedikit hangat. Namun melihat seseorang yang terduduk di sisi kasurnya dengan bersidekap dada membuat keningnya mengerut.
"Bang Jeno."
Pemilik nama yang tadinya menunduk kini mengangkat pandangannya. Bangkit dari duduknya lalu menghampiri Jaemin. "Masih inget pulang lo hah?!." Jaemin tersentak mendengar bentakan yang terlontar dari Jeno.
Tanpa aba-aba, Jeno mencengkram kerah seragam Jaemin hingga wajah keduanya mengikis jarak. Keterdiaman Jeno namun tatapannya sangat menusuk membuat Jaemin merasa takut. Takut jika Jeno akan menyakiti fisiknya sebagai pelampiasan amarahnya. Setiap hari Jaemin selalu menerima berbagai pukulan mau itu dari ayahnya, Mark, ataupun Jeno.
"LO GAK AKAN RASAIN KEBAHAGIAAN, BANGSAT." Bentak Jeno dengan nafas yang memburu lalu mendorong tubuh Jaemin sekuat tenaga hingga punggung Jaemin menghantam kerasnya dinding.
Belum puas, Jeno mencekik leher Jaemin seraya menyeretnya layaknya binatang. Membawa saudaranya ke dalam kamar mandi kemudian membenturkan kepala Jaemin tanpa rasa iba sedikit pun. Rintihan yang terlontar dari bibir Jaemin justru dijadikan sebagai penyemangat bagi Jeno untuk lebih menyakiti fisik Jaemin.
Jeno jongkok di hadapan Jaemin yang terduduk lemas dengan tangan yang memegang kepalanya. "Lo bahagia?." Tanya Jeno tersenyum miring.
Jaemin terdiam.
Keterdiaman Jaemin semakin membuat amarah Jeno memuncak. Ia bangkit kemudian menginjak paha Jaemin. "Gue nanya, lo bahagia apa nggak?!." Desak Jeno beralih menendang perut saudaranya, menyakitinya tanpa ampun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.