Tinggal Jaemin seorang diri di dalam kamarnya. Mark meninggalkannya karena sang ayah menyeretnya keluar dan menguncikan Jaemin. Alhasil, Mark tak bisa masuk. Diluar sana Mark tak henti-hentinya mengedor pintu kamar Jaemin tapi lelaki malang itu masih sangat lemah. Duduk saja ia tak mampu apalagi rasa sakit di punggungnya kambuh. Penyakit yang akan selalu menyiksanya kapan saja.
Matanya terpejam bersamaan dengan cairan bening menetes membasahi pelipisnya, "Bunda, Nana boleh nyerah sekarang?. Nana gak kuat, Nana capek Bunda. Aku cuman mau istirahat dengan tenang." Lirihnya.
Dengan sekuat tenaga, lelaki itu mencoba bangun meski kesusahan namun ia tak menyerah dan terus mencoba hingga ia berhasil. Jaemin mengesot mendekati nakas lalu membuka laci, mengambil botol berukuran mini yang berisikan beberapa pil. Diambilnya satu biji kemudian menelannya tanpa minum. Pahit, tapi apa yang bisa Jaemin lakukan. Berdiri saja ia tak mampu dan sekarang ia dikurung dalam kamarnya. Begitu malang nasibnya.
🐰🐰🐰
Disisi lain, di kamar Jeno. Lelaki itu berbaring dengan posisi terlentang, selimut sampai dada, dan ponsel di tangannya. Dalam benda pipi itu, ada foto Na Mi Young di dalamnya yang tengah Jeno pandangi. Ia rindu, sangat rindu melihat senyum sang bunda. Yang bisa ia lakukan hanyalah memandanginya dan mendatangi kuburan sang bunda.
"Bunda, Nono kangen." Lirihnya dengan air mata yang mulai membendung. "Maafin Nono, aku belum bisa sepenuhnya ngikhlasin bunda. Setiap Nono liat anak sialan itu, aku selalu inget bunda."
"Harusnya anak sialan itu yang mati bukan bunda. Andai waktu dapat diputar kembali, saat itu Nono bakal pegang tangan bunda dan nahan bunda sekuat tenaga biar bunda gak lari nolongin anak sialan itu."
"Nono kangen bunda." Rengeknya disela isakannya. Diciumnya foto Na Mi Young lalu memeluk benda pipi itu. Walaupun cara itu tak mengobati rasa rindunya.
Pintu berdecit, buru-buru Jeno mengusap bekas air matanya agar yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuknya terlebih dulu tak mengetahuinya bahwa dirinya menangis. Kepalanya sedikit terangkat, diambang pintu sana ada Mark dengan pandangan sayunya. Dilihat dari matanya, sepertinya Mark sudah menangis. Biarkanlah, Jeno tak peduli. Mark menghampirinya pasti akan memarahinya karena telah membuat Jaemin sekarat.
"Ngapain?." Tanya Jeno mengubah posisinya jadi duduk.
Mark tersenyum tipis, sangat tipis sehingga Jeno tak mampu melihatnya. Langkahnya membawanya mendekat lalu duduk di hadapan Jeno. Kedua matanya tak sengaja menangkap layar ponsel Jeno, disana ada foto Na Mi Young yang tersenyum lebar penuh kebahagiaan.
"Kangen bunda?."
Jeno mengangguk pelan, "Hampir setiap hari. Jeno kangen bang, andai aja bunda masih hidup."
"Jangan gitu, Jen. Bunda udah tenang di alam sana, kita sebagai anaknya harus perbanyak ngirim doa. Abang yakin kok bunda kangen juga sama kita. Kangen bikinin sarapan, kangen mandiin kita pas masih bocil, kangen bangunin kita, kangen masakin kita, semua yang berhubungan dengan keseharian kita pasti bunda kangenin."
"Tapi, kepergian bunda juga harus dijadiin pembelajaran kalo yang hidup pasti akan mati. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Karena itu, manfaatin sebaik-baiknya waktu selagi masih ada. Inget, penyesalan itu ada diakhir. Kamu udah gede, udah mau dewasa, pasti kamu udah tau makna people come and go kan?."
Lagi, Jeno mengangguk. "Seperti yang abang bilang barusan, yang datang pasti akan pergi. Entah itu pergi jauh atau pergi dan gak akan kembali lagi."
Mark menghela nafas pelan dengan kepala yang menengadah sekilas agar cairan sialan itu tak lolos membasahi pipinya. "Termasuk yang ada di samping kita pasti juga akan pergi kapan saja. Kamu benci banget ya sama Nana?."
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.