Duduk seorang diri dalam kelas tanpa ada yang mengajaknya mengobrol. Selalu saja seperti itu, bahkan setiap hari. Dan lelaki itu yang tak lain adalah Jaemin, ia sudah terbiasa diabaikan dan tak dianggap kehadirannya. Waktu terus berputar hingga bel berbunyi pertanda jam istirahat telah berakhir dan sseluruh siswa kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya.
Manik mata Jaemin tak sengaja bertemu dengan manik mata beberapa teman kelasnya, tak ada yang menatapnya dengan sorot kenyamanan, semuanya menyorotnya dengan tatapan penuh jijik. Daripada membuat dadanya sesak, Jaemin memilih memalingkan wajahnya. Memandang luaran kelasnya hingga matanya tertuju pada seekor anak kucing yang tengah berlarian kesana-kemari tanpa ditemani oleh induknya. Sama seperti Jaemin, terus melewati semuanya tanpa seorang ibu disampingnya. Meski berat tetap ia lalui demi bertahan hidup dan menggapai impiannya yang akan membuat Lee Doyoung bangga padanya. Meski ada keraguan tapi setidaknya ia akan terus berusaha.
Jaemin tersenyum kala anak kucing itu menatapnya cukup lama hingga seekor anak kucing lain datang menghampirinya. Dan kini dua ekor anak kucing tengah berdampingan menatapnya. "Itu aku." Ucapnya membatin yang tertuju pada anak kucing yang berbulu putih, "dan itu Njun." Lanjutnya masih membatin, dan kini tertuju pada anak kucing yang berbulu hitam putih.
Atensinya beralih memandang punggung Renjun, sepertinya lelaki itu tengah menulis sesuatu ataukah tengah mencatat materi penting di mata pelajaran sebelumnya. Entahlah, Jaemin tak tahu tetapi daripada penasaran, Jaemin bangkit dari duduknya berniat menghampiri Renjun. Sejak kemarin di taman, Renjun tak pernah lagi mengajaknya mengobrol atau bahkan mengiriminya pesan meski hanya mengingatkannya untuk mengerjakan tugas.
Belum sempat melangkah, Lucas---teman kelasnya--- menghampiri meja Renjun sehingga kegiatan Renjun terhenti. "Njun, lo disuruh ke dewan guru ketemu guru matematika."
Renjun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, "Oke, makasih Cas." Balasnya kemudian berdiri. Sama sekali tak menoleh kearah Jaemin, ia pergi begitu saja.
Setelah Renjun tak terlihat lagi, Lucas menatap Jaemin dengan alis yang terangkat sebelah, "Lo mau nyamperin Renjun kan?."
Jaemin tak menjawab, ia lebih memilih untuk kembali duduk.
"Renjun ngejauhin lo ya?." Imbuh Yuta.
Jungwoo yang tadinya hanya duduk seraya bermain game di ponselnya kini ikut berdiri, berdiri diatas kursi dengan posisi yang menghadap Jaemin. "Dengerin baik-baik, selama ini lo itu cuman beban buat Renjun. Tiap hari Renjun harus nahan malu gegara temenan dengan anak sialan kek lo. Jadi karena lo udah tau lo itu cuman beban, mending mulai sekarang lo jauhin Renjun deh." Imbuh Jungwoo dengan enteng dan berhasil membuat dada Jaemin terasa remuk.
"Sadar diri kek."
"Iyuh najis banget temenan sama lo."
"Kasian ya Renjun tiap hari nahan malu."
"Kira-kira sejijik apa ya Renjun sama lo?."
"Mati aja gak sih, Na?."
"Dasar anak sialan."
"Gak tau diri banget."
"Sok kuat banget lagi. Kalo gue sih mending pindah sekolah."
"Pindah alam aja gak sih?."
Tak kuasa mendengar nyinyiran teman kelasnya lebih lama, Jaemin kembali bangkit dari duduknya, melangkah keluar kelas untuk menghindari penyebab remuk di dadanya. Saat melewati bangku Yuta, lelaki itu dengan sengaja menyelengkat kaki Jaemin. Alhasil, Jaemin terjatuh dengan lutut yang terasa ngilu karna begitu kuat menghantam kerasnya lantainya.
Gelak tawa kembali menyapu indera pendengar Jaemin. Semua menertawakannya tanpa ada satu pun yang menolongnya atau bahkan berpihak padanya. Lagipula siapa yang akan berpihak padanya selain Renjun tetapi kini, Renjun masih marah padanya dan dalam ruangannya ini tak ada Renjun. Karena itu, mereka gencar mengeluarkan semua nyinyirannya dan sengaja melukai perasaan Na Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Fiksi RemajaKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.