Jaemin memeluk batu nisan Na Mi Young, menempelkan keningnya dan menangis dalam diam. Disaat bersamaan, gemercik air mulai berjatuhan. Bunga white rose yang ia bawa sudah terletak diatas makam bundanya. Bunga yang ia letakkan dulu diatas jalan raya disaat Lee Doyoung tidak menjemputnya. Menegakkan punggungnya, Jaemin mengusap nama yang tertera dihadapannya.
"Bunda, waktu Nana kecil, ayah gak jemput Nana di sekolah. Saat itu Nana gak sengaja liat jalan raya dimana tempat itu tempat yang merenggut nyawa bunda." Jaemin terdiam, tenggorokannya tercekat, jantungnya berbagai tertusuk ribuan jarum kala mengingat kejadian itu. Meski sudah sesenggukan, Jaemin tetap kekeuh bercerita dihadapan Na Mi Young.
Ralat, di hadapan makam Na Mi Young---sang bunda.
"Nana naro bunga yang sama seperti yang Nana kasih sekarang."
"Nana suka mawar putih, cantik dan soft sama seperti bunda."
Hujan semakin deras membasahi bumi. Jaemin mengangkat pandangannya untuk mengusap air matanya yang sudah bercampur air hujan. Disaat itu juga, sosok yang selalu ia lihat kini berada tak jauh di hadapannya dengan tangan yang melambai-lambai kearahnya. Jaemin menoleh ke belakang mengira bahwa lambaikan itu bukan untuknya namun setelah memastikan tak ada seorang pun yang ia temui, ia beranggapan bahwa lambaikan itu teruntuk untuknya.
Entah dorongan dari mana, Jaemin tersenyum lebar. Berdiri dan mulai melangkah untuk menghampiri sosok itu. Bedanya sosok itu memakai pakaian serba hitam dan payung hitam. Terus melangkah hingga semakin dekat. Dirinya ingin melihat wajah sosok itu, wajah yang selalu bercahaya kala ia melihatnya namun kini wajah itu tak bercahaya namun tak terlihat sebab tertunduk.
Semakin Jaemin mendekat, sosok itu perlahan mundur membuat Jaemin mempercepat langkahnya, "BUNDAA." Teriak Jaemin berharap sosok itu mengangkat pandangannya.
Jaemin hendak berlari namun seseorang tiba-tiba mencekalnya kemudian memeluknya erat, "Itu bukan bunda kamu, Na." Renjun, lelaki itu semakin mempererat pelukannya kala Jaemin memberontak.
"Itu bunda Njun, lepasin gue, gue mau peluk bunda." Hardik Jaemin semakin memberontak, dalam sekejap mata sosok itu seketika berpakaian serba putih dengan wajah yang bercahaya menatap kearahnya.
Semakin memberontak hingga tanpa sengaja ia mendorong tubuh Renjun kasar. Alhasil, Renjun terjatuh dengan lengan yang menghantam kerasnya sudut batu nisan. Mengabaikan lengannya yang membiru, Renjun bangkit untuk mengejar Jaemin, pasalnya yang dilihat Jaemin hanya sebuah pohon bukan sosok Na Mi Young.
Jaemin tersadar. Dihadapannya hanyalah pohon, tempat dimana ia melihat sosok Na Mi Young. Sadar bahwa semua ini hanyalah halusinanya, Jaemin menjambak rambutnya kasar. Karna sosok itu, ia melukai sahabatnya. Renjun yang selalu menemaninya sejak kecil namun sekarang ia tanpa sengaja meyakiti Renjun.
Tubuhnya tersentak kala seseorang kembali memeluknya, erat sama seperti sebelumnya. "Sadar, itu bukan bunda lo. Bunda lo orang baik kalo lo lupa, dia udah tenang diatas sana. Gak usah beranggapan kalo sosok itu adalah bunda lo." Cerocos Renjun meluapkan emosinya namun enggan melepas pelukannya. Seolah-olah jika ia melepas pelukannya, Jaemin akan menghilang.
Tak apa jika Renjun akan memarahinya seperti sekarang sebab ini memang kesalahannya. Harusnya ia mendengarkan Renjun dan tetap duduk di samping makam bundanya, mengabaikan sosok itu. Membiarkan Renjun terus memarahinya, Jaemin membalas pelukan Renjun tak kalah eratnya, menyembunyikan wajahnya di pundak sahabatnya dan menangis. Membiarkan Renjun mendengar isakannya. Isakan yang selalu ia tahan kala Lee Doyoung memukulnya tanpa iba. Keduanya berpelukan dibawah guyuran air hujan yang begitu deras.
Renjun yang tadinya ingin memarahi Jaemin hingga tenggorokannya kering lenyap seketika kala mendengar isakan pedih dari Jaemin. Mengurai pelukannya, Renjun menatap wajah Jaemin dengan sorot bersalah karna telah memarahi sahabat kecilnya. "Kita ke makam bunda kamu, kita pamit pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Novela JuvenilKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.