Toilet, disinilah Jaemin berada. Berdiri dihadapan wastafel dengan mengamati wajahnya yang semakin memucat lewat pantulan kaca. Dengan tubuh yang masih gemetar dan darah yang tak henti-hentinya mengalir tanpa tanda akan berhenti, tangannya terangkat menyentuh cermin tepat bagian wajahnya. Diusapnya penuh sayang seolah-olah yang sangat menyayanginya.
"Ngakhiri semuanya sendirian sama aja gue pengecut tapi bertahan lebih lama juga gak ada gunanya."
"Kasian tubuh gue harus ngerasain banyak rasa sakit lagi."
"Tapi disisi lain, gue mau banggain ayah."
"Mungkin dengan keberhasilan gue suatu hari nanti, ayah bakal sayang lagi ke gue sama seperti masa kecil gue yang penuh kebahagiaan."
"Apa sesulit itu bahagia?."
"Apa gue emang gak ditakdirin buat bahagia?."
🐰🐰🐰
Jaemin kini tengah menelusuri koridor yang sangat sepi sendirian. Seluruh siswa telah pulang kini tinggal dirinya seorang. Ia terlambat keluar kelas karna harus mencatat materi di papan tulis yang belum terhapus. Sesekali ia mengusap lengannya sebab bulu kuduk yang meremang akibat terpaan angin. Langit tengah merajuk muram, itu tandanya hujan akan segera mengguyur bumi.
Motornya melesat meninggalkan area sekolahan atau lebih tepatnya neraka dunia untuknya. Mengendarainya diatas kecepatan rata-rata agar tak terguyur hujan sebab suhu tubuhnya yang sama sekali tidak menurun meski telah meminum obat. Sialnya, ia terjebak lampu merah. Tepat saat itu juga, guyuran air menerpanya serta suara khas air jatuh dari langit mengindahkan indera pendengarannya.
Menunggu lampu itu berubah menjadi hijau, Jaemin memandang kosong lurus ke depan. Kalimat demi kalimat yang Renjun ucapkan terus terngiang-ngiang dalam pikirannya. Kejadiannya sudah berlalu kemarin namun rasanya masih sama, sangat sakit. Layaknya terluka namun tak berdarah. Apalagi ketika Renjun berkata ogah membelanya. Rasanya Jaemin benar-benar dilempari ribuan bebatuan.
Lamunannya terbuyarkan ketika ia mendapati seekor anak kucing dengan tubuh menggigil hendak menyebrang. Berulang-ulang kali ia selalu melihat anak kucing yang selalu saja berada di tengah-tengah jalan raya membuatnya sangat-sangat kesulitan untuk melupakan kejadian mengerikan di masa lalunya.
Lampu lalu lintas yang tak kunjung berubah, Jaemin memilih menepikan motornya. Meski terbesit rasa takut akan trauma, lelaki itu dengan berat hati memberanikan diri untuk ke tengah jalanan. Mumpung jalanan sepi, Jaemin menuruni motornya lalu berlari untuk menolong anak kucing itu.
"Kasian, kamu kedinginan." Ucap Jaemin merengkuh anak kucing itu dalam dekapannya kemudian ingin membawanya ke pinggir jalan.
Terus melangkah dengan kepala tertunduk hingga tak menyadari dari arah lain, pengendara motor melintas dengan kebut-kebutan. Suara kendaraan dan suara hujan beradu namun samar-samar Jaemin mampu menangkap suara itu dan dengan segera menoleh. Tepat saat itu juga, tubuhnya seketika terpental beberapa meter tanpa melepaskan anak kucing itu dari dekapannya.
Terhenti kala punggungnya menghantam kerasnya tiang halte. Dengan kesadaran dan tenaga yang masih ia miliki, ia tersenyum melihat anak kucing yang ditolongnya tadi tak terluka malah sekarang anak kucing itu berdiri tepat di dekat wajahnya dengan satu kaki depannya mengusap wajah Jaemin meski pelipis lelaki itu bercucuran darah.
"Ne-neduh ci-ng." Ucapnya dengan nada pelan dan terbata-bata sebab rasa sakit yang menjalar dalam tubuhnya. Sangat sakit bahkan untuk bergerak saja rasanya Jaemin tak mampu.
Sedangkan pelaku yang menabrak Jaemin dengan tidak berdosanya menghampirinya lalu berjongkok. "Sialan lo, Na Jaemin. Gegara lo, gue bisa terjerumus di jeruji besi." Ketusnya menjambak rambut Jaemin. Benar-benar tak memiliki hati nurani.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.