Dibawah ribuan bintang yang dihiasi dengan bulan purnama menjadi sanksi betapa pedihnya hidup seorang Na Jaemin. Dimasa remaja dimana anak-anak seumurannya menikmati masa remaja seolah tak memiliki beban tetapi tidak dengan Jaemin. Dimasa remajanya ia terus-terusan merasakan pedihnya kehidupan. Semenjak kepergian Na Mi Young, ia jadi lupa definisi kasih sayang orang tua itu seperti apa. Yang ia tau hanyalah rasa sakit yang datang sili berganti.
Semilir angin yang terus saja menerpa kulitnya semakin membuatnya kedinginan bahkan kini kepalanya sudah terasa pening mungkin efek dari kehujanan terlalu lama ditambah lagi hukuman yang ia dapatkan. Ia bersandar pada pintu seraya memeluk tubuhnya berharap ada kehangatan yang tercipta.
Perutnya yang tiba-tiba keroncongan membuatnya tertunduk, kedua tangannya beralih mengelus perutnya yang meminta untuk diberi makan. "Laper." Lirihnya dengan derai air mata yang kembali menetes. Meminta Lee Doyoung memberikannya makanan sangatlah mustahil.
Jaemin mengedarkan pandangannya hingga terhenti pada tong sampah. "Di tong sampah biasanya ada sisa-sisa makanan tapi kalopun ada pasti kotor."
"Gue gak mungkin makan makanan dari tong sampah, banyak kumannya."
Sedetik setelahnya, Jaemin berdecak. "Gapapa Na, kali ini aja."
Disisi lain, di kamar Mark. Lelaki itu tengah duduk di meja belajarnya dengan beberapa buku di hadapannya. Disela-sela kefokusannya, kejadian di masa lalu seketika berputar begitu saja pada otaknya dan mengganggu konsentrasinya. Berusaha mengabaikannya namun begitu sulit. Jika seperti ini, ia akan kesulitan mengerjakan tugas-tugasnya.
Diliriknya figura yang berada di meja yang sama dengan buku-bukunya yaitu meja belajar. Dalam figura itu, ada foto Na Mi Young yang menggendongnya kala ia masih berumur 1 tahun. "Bunda, bunda kangen Mark ya?."
Ia mengambil figura itu kemudian mencium tepat pada wajah sang bunda lalu memeluknya. Diwaktu yang sama, ia tiba-tiba mengingat pesan terakhir dari Na Mi Young dimana sang bunda menyuruhnya untuk menjaga Jaemin, saudara bungsunya. Mark mengingat sikapnya kepada Jaemin setelah kepergian Na Mi Young, sikap tegas dan obsesi sang ayah, dan sikap Jeno yang terang-terangan menunjukkan kebenciannya membuatnya seketika merasa bersalah pada Na Mi Young.
Mark membuka tirainya sebab meja belajarnya berada tepat di sampingnya dan sontak mendapati sosok Jaemin yang tengah menggeledah isi tong sampah. "Ngapain lagi sih tuh anak? Gak ada kerjaan banget." Monolognya seraya mencibir.
Kedua matanya seketika membulat kala melihat Jaemin memakan sesuatu yang ia temui di tong sampah bahkan figura yang dipeluknya terjatuh hingga pecah. Namun ia abaikan, buru-buru Mark berlari keluar kamar. Tujuannya adalah untuk menghampiri saudara bungsunya dan membuang makanan yang sudah kotor di tangan Jaemin.
"Mau kemana bang?." Tanya Jeno kala berduanya berpapasan pada anak tangga namun tak dijawab oleh Mark.
Saat ia akan membuka pintu, pintu itu terkunci. "Ayah, buka pintunya ayah." Pinta Mark menoleh kearah Lee Doyoung yang masih duduk anteng di sofa ruang tamu.
Bukannya menuruti permintaan putra sulungnya, lelaki setengah baya itu malah menatap Mark dengan datar. "Mau ngapain kamu? Balik ke kamar." Ucapnya tegas.
Mark menggeleng, untuk kali ini ia akan melawan. "Mark mohon ayah, buka pintunya."
"MARK LEE." Bentak Lee Doyoung.
Dengan nafas yang ngos-ngos, Mark memandang sang ayah dengan sorot tidak percaya. Tidak percaya Lee Doyoung membentaknya, "Mark mau ngelarang Nana makan sisa makanan yang ada di tong sampah, Ayah. Mark gak mau saudara Mark sakit, Mark gak mau kehilangan lagi. Tolong ayah, kali ini aja tolong bukain pintunya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.