20. Tanam dan Siram

726 161 5
                                    

Jaemin duduk termenung diatas kursi roda dalam ruang rawatnya dekat jendela. Memandang keindahan bintang di kejauhan sana. Dia sendirian karena Mark izin pulang untuk mengambil pakaian sekaligus memberitahu sang ayah dan Jeno. Jujur saja, ada sesuatu yang menjanggal. Bagaimana jika Lee Doyoung dan Jeno tak datang?, tidak diperlakukan dengan baik setiap hari tidak masalah bagi Jaemin. Jaemin anak bungsu Lee Doyoung, setidaknya sang ayah meluangkan waktu untuk datang menjenguknya.

Terdengar ketukan pintu, Jaemin menoleh berharap sang ayah dan Jeno datang. "Masuk."

Setelah pintu terbuka, hanya ada Mark seorang diri. Jaemin tersenyum kecut lalu kembali memandang bintang-bintang. Mark yang mengerti, meletakkan tasnya di meja lalu menghampiri adik kecilnya. Menggerakkan kursi roda Jaemin menghadapnya lalu menyetarakan tingginya dengan Jaemin, dengan lutut yang sebagai tumpuan.

"Kita ketemu ayah dan Jeno di rumah ya?, mereka gak bisa dateng dulu. Ada abang disini, jangan sedih." Jaemin tak menatap kedua matanya, atensi lelaki itu sama sekali tak teralihkan dari ribuan bintang yang bertaburan di langit malam.

"Na, punggung kamu sakit?." Tanya Mark mengalihkan pembicaraan.

Sang pemilik nama menoleh namun hanya sekilas lalu mengangguk, "Nana, liat abang. Abang mau ngomong sesuatu sama kamu."

"Na, tadi dokter bilang ke abang. Katanya ...." Mark tak bermaksud menggantung ucapannya hanya saja tenggorokannya terasa tercekat.

Jaemin menaikkan sebelah alisnya mengisyaratkan agar Mark melanjuti ucapannya. "Kata dokter kamu divonis Hernia nukleus pulposus. Hernia nukleus pulposus itu adanya cakram tulang bawah yang menonjol keluar. Karena itu kamu akan sering ngerasa nyeri di punggung kamu." Jelas Mark dengan suara bergetar.

Bukannya meratapi nasibnya, Jaemin malah menyengir dengan sorot mata teduh. "Beban emang." Cibirnya kembali memandang keindahan diluar sana.

"Gak boleh ngomong gitu. Andai aja bisa memilih, mending abang yang ngerasain sakit itu daripada kamu, Na."

"Abang kejar aja cita-cita abang, Nana udah terbiasa."

Mark yang tadinya menatap Jaemin seketika mengalihkan atensinya padahal Jaemin tak menatapnya. Kalimat yang terlontar itu serasa mencekik Mark, begitu sesak dadanya mendengar penuturan menyakitkan itu. "Abang disini, di samping kamu." Ucapnya, menggerakkan kedua tangannya untuk memeluk Jaemin erat seolah-olah Jaemin akan menghilang jika ia mengurai pelukannya.

Jaemin membalas pelukan itu, rasanya begitu nyaman.

Kembali terdengar ketukan pintu, dengan berat hati Mark mengurai pelukannya. Kedua lelaki itu menoleh bersamaan. Karena pintu tak tertutup jadi keduanya dengan mudah tau siapa yang datang. Diambang pintu, ada Renjun dan juga Jisung. Mark tidak kenal Jisung, yang ia kenal hanya Renjun.

Masih teringat jelas apa yang Renjun katakan di kelas. Tak ingin terlalu lama berkontak mata dengan Renjun, Jaemin memutuskan kontak itu dan memilih menggerakkan kursi rodanya seperti semula untuk kembali memandang keindahan langit malam.

"Masuk, Njun." Ucap Mark berdiri. Keduanya melangkah menghampiri Jaemin namun yang dihampiri sama sekali tak menoleh.

Lagi-lagi Mark menggerakkan kursi roda Jaemin, membungkukkan badannya lalu memegang pundak Jaemin, "Abang beliin kamu makanan bentar."

"Nana ngantuk, mau tidur." Jaemin hendak berdiri namun Mark menahannya. Jaemin masih bisa berjalan meski pincang akibat terseret. Dan kursi roda ini, Mark-lah yang menyuruh pihak rumah sakit agar Jaemin gunakan benda itu jika bosan berbaring.

"Ada temen kamu, Na. Mereka dateng buat jengukin kamu, masa kamu tinggal tidur. Abang pergi bentar, kalo ada masalah selesaiin baik-baik, pake kepala dingin." Nasihat Mark seraya menepuk pelan pundak Jaemin. Sebelum pergi, ia menyempatkan untuk mengecup kening adik kecilnya sama seperti yang sering dilakukannya semasa kecilnya.

BITTER LIFE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang