32. Menuju Perpisahan

710 157 7
                                    

Setibanya di rumah, Jaemin membuka pintu utamanya dan bergegas ke kamar Lee Doyoung. Saat ingin membukanya, pintu itu terkunci membuatnya menggeram kesal. "AYAH, BUKA." Teriaknya menggedor pintu kamar sang ayah.

"AYAH, BUKA." Teriaknya. Amarah telah menguasainya membuatnya kesulitan mengontrolnya. "BUKA." Teriaknya terus menggedor hingga pintu itu terbuka.

Jeno pun ikut terbangun karena ulahnya dan memilih menghampiri Jaemin untuk memarahinya ataupun memberikannya pelajaran karena telah mengusik tidur nyenyak. "HE, NGAPAIN LO TERIAK-TERIAK GITU HAH?!." Bentaknya mencengkram kerah jaket Jaemin.

Dengan tidak sopannya, Jaemin mendorong Jeno hingga cengkraman itu terlepas. "Gue gak ada urusan sama lo." Sengitnya. Beralih menatap sang ayah. "ANDA MAU SAYA MATI?!." Tanyanya dengan suara tinggi disertai urat leher yang menonjol.

"Apa maksud kamu, Na Jaemin?." Tanya Lee Doyoung. Ia tak mengerti maksud putra bungsunya, ia bingung.

"SOPAN LO BEGITU?!."

Jaemin menoleh dan langsung membugem rahang Jeno, "GUE BILANG GAK USAH IKUT CAMPUR."

Jeno yang tak terima langsung membalas bugeman sodaranya, "SEJAK KAPAN LO BERANI NGELAWAN?!."

Jaemin pun tak tinggal diam, ia membalas serangan Jeno. Alhasil, tercipta pertengkaran hebat antarsodara itu.

"Anak-anak nakal." Gerutu Lee Doyoung berusaha melerai kedua putranya. "Apa-apaan kalian ini hah?!."

Keduanya mengatur nafas dan saling melempar tatapan sengit. "Anak sialan." Cibir Jeno menggumam.

Jaemin merapikan jaketnya lalu mengeluarkan ponselnya. Memutar rekaman percakapannya dengan Jee Yeon dan Jaehyun. "Dengerin baik-baik."

"Saya marah karena Lee Doyoung seenaknya membatalkan proyek yang telah kita sepakati."

"Hanya karena itu?. Anda tau putra sulung Lee Doyoung tewas tertembak karena ulah orang suruhan anda?."

"JAWAB."

"S-saya tau. Saya yang memerintahkannya untuk membunuhnya."

"Om Doyoung selalu nyuruh gue bully putra bungsunya. Gue selalu bully anaknya di sekolah dan pernah nyerang anaknya di tempat sepi."

"Kenapa lo mau disuruh ngelakuin itu?."

"Awalnya gue bully dia cuman buat seru-seruan. Tapi suatu malem saat hujan deras, gue gak sengaja nabrak anaknya. Om Doyoung tau gue pelakunya tapi dia gak mau lapor polisi asal gue mau ngelakuin apapun perintah dia. Gue gak bisa berfikir jernih, dipikiran gue cuman ada kalo gue singkirin Jaemin, tekanan om Doyoung bakal berakhir. Karena itu gue manfaatin pembatalan proyek itu dengan ngirim empat orang ke papa gue buat celakain Jaemin tapi salah sasaran."

"A-ayah?." Jeno menatap sang ayah dengan raut tak percaya.

Dengan susah payah Lee Doyoung menelan salivanya. Jadi selama Jaemin keluar malam, ia mencari tau siapa yang membunuh abangnya. Dirinya salut kepada putra bungsunya tapi disisi lain, ia menjadi merasa bersalah dan merasa bodoh karena telah memerintahkan orang lain yang jelas-jelas pelaku tabrak lari di insiden kecelakaan Jaemin.

Jaemin menghindari kontak mata sang ayah. Ia marah, ia kecewa, ia bahagia, ia down. Semuanya beradu menjadi satu. "Ayah gak perlu capek-capek nyuruh orang lain buat celakain aku, ayah juga gak perlu ngeluarin uang banyak buat ngebayar orang lain. Sebentar lagi kok, Yah." Lirih Jaemin seraya menggenggam ponselnya kuat.

Lee Doyoung sedih. Harusnya ia senang mendengarnya tetapi mengapa dirinya malah sedih. "N-nana, dengerin ayah." Ia mencoba menyentuh lengan Jaemin namun putranya mundur, enggan untuk disentuh.

BITTER LIFE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang