41. Pamit yang Berbeda

812 221 69
                                    

"Tante, aku Guanlin. Sahabat Nana. Kedatangan aku kesini mau minta tolong ke tante. Tolong, jangan jemput Nana sekarang. Aku mohon tante, biarkan Nana hidup lebih lama lagi. Nana kepengen jadi dokter, pengen nyembuhin banyak orang, pengen buat om Doyoung bangga juga dengan pencapaiannya. Aku mohon, jangan jemput Nana."

"Nana pernah mimpi katanya tante mau jemput dia, gak masalah kalo emang tante mau bareng-bareng anak kesayangan tante lagi. Tapi tolong, jangan sekarang."

Di bawah langit sore namun tak berwarna jingga, seorang lelaki remaja yang tak lain adalah Guanlin. Duduk bersimpuh diatas tanah di samping makam seraya memeluk batu nisan Na Mi Young. Air matanya yang sedaritadi tak henti-hentinya menderai, selain itu hujan pun kian menderas mengguyur sebagian bumi. Air hujan maupun air mata menyatu menjadi sakit seolah merasakan rasa sakit akan ketakutan yang sama.

Guanlin tak pergi sendirian, ia ditemani empat bodyguardnya namun keempatnya menunggu Guanlin di mobil dan mengawasinya dari kejauhan meski agak kesulitan karena hujan yang kian menderas.

"Aku mohon jangan sekarang." Gumamnya dengan suara parau dan tubuh yang menggigil. Kalimat itu tak henti-hentinya terlontar dari bibirnya.

Cukup lama Guanlin memejamkan matanya serta terus memeluk batu nisan Na Mi Young. Dengan tubuh yang melemah karena kelamaan menangis dan menggigil, lelaki itu bangkit. Melangkah dengan terseok-seok menuju mobilnya terparkir. Pandangannya kosong seolah tak ada sedikit pun semangat untuk menjalani harinya.

🐰🐰🐰

"Keluarga pasien?."

Doyoung, Jeno, Renjun, dan Haechan bangkit bersamaan dan menghampiri dokter yang menangani Jaemin. "Bagaimana keadaan putra saya?." Desak Doyoung menyeka air matanya kasar.

Sang Dokter terdiam sejenak seraya menghela nafas kasar. "Kami pihak rumah sakit meminta maaf sebesar-besarnya, dengan berat hati kami menyampaikan tiga kabar buruk. Kabar buruk yang pertama, kami telah berusaha semaksimal mungkin namun Allah berkehendak lain. Tepat di jam 13:34, pasien atas nama Na Jaemin menghembuskan nafas terakhirnya."

"Kabar buruk kedua, penyakit yang di derita Jaemin telah memasuki stadium 4 atau stadium akhir. Sehingga gejala yang muncul pasti akan lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya karena perkembangan sel tumor yang sudah mengganas dan lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan, sel tumor sudah terlihat sangat berbeda jika memperhatikannya di bawah mikroskop. Tumor bisa lebih aktif dalam memproduksi sel sel abnormal."

"M-maksud dokter?."

"Pasien menderita kanker otak stadium 4."

Layaknya tersambar petir di siang bolong. Apa katanya, jadi selama ini Jaemin menderita tanpa diketahuinya. Yang seharusnya menyayangi putranya justru semakin menyiksa fisiknya. Jika ini mimpi, Doyoung dan Jeno berharap seseorang datang membangunkannya agar mimpi buruk ini berakhir. Namun nyatanya, ini bukan mimpi.

"Dan kabar buruk ketiga, cedera herniated disk atau Hernia nukleus pulposus. Dimana cakram tulang bawah menonjol keluar kini semakin memburuk akibat tumor ganas yang menjalar dan bersarang di tulang belakangnya."

Saat itu juga, tubuh Jeno merosot layaknya tak bertulang. Di kejadian yang sama namun di tempat yang berbeda. Dua orang yang sangat disayanginya direnggut oleh kepadatan jalan raya. Tangis yang terus berderai tiada henti kini semakin menjadi-jadi hingga terdengar begitu pilu dan rapuh. Sedangkan Doyoung, lelaki itu terhuyung beruntung Haechan dengan sigap menahannya.

Kesekian kalinya, pahitnya rasa kehilangan kembali di rasakannya. Jaemin--si bungsu yang di dewasakan oleh keadaan-- pergi untuk selama-lamanya. Terpental terlalu jauh hingga tak ada lagi yang mampu menggapainya dan menahannya agar tetap bersama-sama berada di alam yang sama. Tiada lagi kertas ucapan selamat malam diatas meja belajar, tiada lagi yang selalu mengatur waktu sedetail mungkin hanya untuk beberes rumah, tiada lagi yang membuatkannya makan malam maupun sarapan.

BITTER LIFE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang