Seusai mengerjakan soal-soal ujiannya, Jaemin beserta ketiga sahabatnya berpamitan untuk pulang. Dan kini, keempat lelaki berparas tampan itu tengah duduk di halte. Tentunya untuk menemani Jaemin menunggu sang ayah ataukah Jeno datang menjemputnya. Sejak keluarganya membaik, Doyoung maupun Jeno selalu meluangkan waktunya untuk mengantar dan menjemput Jaemin di sekolah. Bahkan untuk bepergian pun mereka selalu ingin mengantar Jaemin namun terkadang Jaemin menolak sebab di masa remajanya, karakternya untuk mandiri harus terbentuk walaupun sebenarnya sudah mandiri.
"Gak kerasa ya hari ini udah hari terakhir kita ujian. Rasanya beban yang ada di kepala seketika terangkat, kayaknya terhempas ke langit ke tujuh, menuju mars, mengelilingi mars, terus ke saturnus, mengelilingi saturnus, terus ke plu---
"Gak ke neraka aja sekalian?." Serobot Guanlin tak ingin mendengar ocehan Haechan yang hanya mengotori indera pendengarannya.
Renjun yang tadinya memainkan ponselnya beralih memasukkannya ke dalam saku seragamnya. "Gak kerasa, gak kerasa. Karepmu gak kerasa. Bagi lo emang gak kerasa karena yang ngerjain ujian lo semuanya Nana." Timpal Renjun.
Dimana-mana selalu saja adu mulut bahkan absen tiap hari. Membuat Jaemin yang duduk anteng berdampingan dengan Renjun memijat pangkal hidungnya. "Udah-udah ntar malah panjang adu mulutnya."
"Dengerin apa kata bestie terbaik gue." Imbuh Haechan bersidekap dada dengan tampang yang dibuat sesongong mungkin karena dibela oleh Jaemin.
"Gayaan lo bocah." Cibir Guanlin menoyor kepala Haechan. Kedua lelaki itu hanya berdiri, tak duduk seperti Jaemin dan Renjun.
"Ngomong-ngomong karena kita kan bentar lagi lulus, lo pada mau kuliah dimana?. Terus jurusan apa?." Tanya Haechan.
Renjun nampak berfikir sekilas seraya manggut-manggut. "Satu universitas aja gak sih?."
"Setuju, setuju banget gue. Kalo perlu satu jurusan aja." Seru Guanlin menimpali.
"Masalahnya otak Renjun isinya pelajaran semua, beda sama isi otak gue." Ujar Haechan agak curhat.
"Karepmu satu universitas. Sma dulu terus kuliah. Kuliah masih lama, masih ada masa sma untuk otak kita bertempur dengan nilai." Sahut Jaemin membuat ketiga temannya hanya bisa terkekeh.
"Gue lupa kita masih smp." Cibit Haechan cengengesan seraya mengaruk tengkuk Guanlin dan langsung ditepis oleh sang empu.
"Nt kadang-kadang." Imbuh Guanlin ikut mencicit.
Jaemin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah ketiga sahabatnya. "Kalian kalo mau pulang, pulang aja. Gue gak papa nunggu disini sendirian."
Haechan yang tengah memainkan lengan seragam Guanlin seketika menoleh kearah Jaemin. "Gue sih sebenernya ada urusan tapi ntar aja deh, gue nemenin lo aja disini. Menunggu itu membosankan tau, Na."
"Pulang aja Chan, paling ayah atau bang Jeno bentar lagi dateng. Udah gue chat juga, mereka bilang tunggu bentar lagi." Balas Jaemin.
Merasa tidak enak, Haechan mengaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Beneran gak papa?."
Jaemin mengangguk, "Iya gak papa. Kalian berdua kalo mau pulang juga, pulang aja."
"Yaudah kalo gitu, gue duluan ya Na." Ucap Renjun bangkit dari duduknya. Setelah Jaemin mengangguk, Renjun dan Haechan berjalan kembali ke sekolah untuk mengambil motornya.
Tinggal Guanlin yang hanya berdiam diri memandang jalan raya yang begitu banyak pengendara yang berlalu-lalang. "Gak pulang juga, Lin?." Tanya Jaemin menatap sahabatnya.
Guanlin menoleh kemudian menggeleng. "Gue mau nemenin lo, gue juga gak ada urusan jadi mau disini aja sampe om Doyoung atau bang Jeno dateng."
"Gak usah repot-repot nemenin gue, kalo mau pulang, pulang aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.