38. Kerinduan Mendalam

616 179 14
                                    

"Mimpi apa, Na?." Tanya Guanlin mencicit.

Jaemin menghela nafas kasar, meraih gelas berisikan air minum lalu kembali menegukkan hingga tandas. "Mimpi indah, Lin."

"Mimpi indah?." Beo Gualin. "Tapi kenapa sampe keringetan gini?."

"Gue mimpi ketemu bunda dan bang Mark. Mereka keliatan bahagia berada di suatu tempat yang indah dan nyaman banget. Gue mau tinggal disitu bareng mereka tapi mereka bilang jangan dulu." Jelas Jaemin kembali memeluk dirinya.

Terbesit rasa bahagia mendengarnya tapi disisi lain, ia merasa iba dengan sahabatnya. Saking rindunya, sampai terbawa mimpi. "Mereka bilang kek gitu karena masih banyak yang harus lo perjuangkan, salah satunya ngebuat om Doyoung bangga sama lo. Sehat-sehat ya, Na. Gue bener-bener gak mau kehilangan lo walaupun kita sahabatannya belum lama."

"Umur gue gak lama lagi, Lin. Di mimpi itu bunda janji mau jemput gue."

"Gak ada yang bisa nebak. Bisa aja ada keajaiban, tumor yang ada di otak lo lenyap seketika. Lo pasti bisa gapai cita-cita lo. Dan perihal mimpi, itu cuman bunga tidur, Na."

"Papa Hendery yang nabrak bunda. Dia udah meninggal karena kanker otak, penyakit yang sama dengan gue. Yang artinya gue juga bakal ma---

"Apa lo bilang, papa Hendery yang nabrak bunda lo?. Gue gak salah denger?. Bukannya lo ngobrol sama dia tadi, jangan bilang yang ngebuat lo babak belur kek gin itu ulahnya Hendery?." Cerocos Guanlin mendesak.

Jaemin hanya diam tetapi mengangguk pelan.

Sebuah fakta yang benar-benar mengejutkan bagi Guanlin sampai-sampai lelaki itu tercengang dan tak bisa berkata-kata. Dirinya tak habis pikir dengan jalan pikiran Hendery. Jelas-jelas papanya bersalah karena menabrak dan kabur tanpa bertanggung jawab. Bahkan menewaskan korban ditabraknya.

"Dia gak bilang sesuatu setelah nyerang lo?." Tanya Guanlin memainkan ponselnya tanpa menatap Jaemin.

Jaemin masih terdiam beberapa detik. "Dia bilang ke gue kalo keluarga gue bakal mati. Gue takut, gue  takut kalo dia beneran celakain keluarga gue. Gue bisa aja lindungin keluarga gue tapi tubuh gue makin hari makin gak bertenaga."

Guanlin mendengarkannya meski sibuk pada ponselnya, kedua ibu jarinya pun menari diatas layar menandakan lelaki itu tengah mengetik sesuatu. Entah siapa yang mengiriminya pesan atau entah siapa yang ia kirimkan pesan.

Setelahnya, Guanlin mematikan ponselnya. "Dia cuman ngancem, Na. Jangan terlalu dipikirin, lo fokus aja jaga kesehatan lo." Tuturnya seraya tersenyum simpul.

"Gue pastiin dia gak bisa nyentuh keluarga lo sedikit pun." Imbuh Guanlin membatin.

🐰🐰🐰

"Kayaknya ini udah bisa dimakan deh." Ujar Renjun yang sedaritadi mengipasi ekor ayam yang di tengah di bakarnya.

Disampingnya ada Haechan dan Guanlin yang juga tengah mengipasi seekor ayam. Mereka juga membakarnya. Hanya satu ayam namun yang mengipasinya dua orang. "Pelan-pelan woy ngipasinnya." Dumel Haechan menimpuk kepala Guanlin menggunakan alat kipasannya.

"Mata lo pelan. Lo yang ngipasinnya kek orang gak punya tenaga. Selemes mulut lo." Balas Guanlin dengan sengit.

"Dih bawa-bawa mulut gue, gue tak lo insecure dengan mulut gue." Balas Haechan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

Guanlin tercengang mendengarnya. "Apa yang harus diinsecurein di diri lo?."

Dengan dramatis, Haechan menjatuhkan kipasnya dan beralih memegang dadanya. "Kamu jahat sekali, mas. Kamu tega ngomong seperti itu ke aku?."

BITTER LIFE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang