Menangis dalam diam, itu yang sedang Jaemin lakukan. Insiden dimana Jeno membentaknya membuat hatinya terasa amat sakit dan kini, anak itu duduk sembari memeluk lututnya di depan kamar Jeno.
Mark, lelaki itu menyaksikannya dari kejauhan. Dirinya sangat lelah namun terbesit rasa kasihan melihat adek kecilnya menangis seperti itu apalagi melihat Jeno menyeretnya keluar. Mark melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Ia melangkah menghampiri Jaemin lalu menarik tangan mungil anak kecil itu, seketika Jaemin berdiri tentunya. Dengan kepala tertunduk, Jaemin mengikuti langkah Mark kemana abang pertamanya itu akan membawanya. Perubahan sikap Mark sama seperti sikap Jeno, sama-sama dingin kepadanya.
Dalam kamar Jaemin, Mark mengangkat tubuh Jaemin lalu mendudukkannya di sisi kasur kemudian duduk di hadapan Jaemin. Mengusap air mata Jaemin yang dengan berani membasahi pipi Na Jaemin lalu menggenggam tangannya. "Kenapa nangis hm?." Sekedar basa-basi padahal dirinya tau alasan mengapa Jaemin menangis sampai sesenggukan dan dibalas gelengan kepala yang masih tertunduk oleh Jaemin.
"Makanya di kamar aja, belajar. Jeno pasti capek jadi Nana jangan gangguin Jeno belajar. Lagian bisa kan belajar sendiri?." Omel Mark kemudian bangkit dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan Jaemin yang masih meneteskan air matanya.
Langkah Mark terhenti saat telah berada di ambang pintu, ia menoleh menatap Jaemin yang juga menatapnya. "Jadi cowok jangan cengeng, gitu aja nangis jadi cewek aja sekalian." Setelahnya, ia menutup pintu kamar Jaemin. Dari lubuk hati yang paling dalam, ia kasihan tapi disisi lain, ia merasa marah kepada Jaemin karna anak kecil itu, bundanya menjadi korban kecelakaan tabrak lari hingga tewas.
🐰🐰🐰
Lee Doyoung dan tiga putranya tengah makan malam bersama. Hening, tak ada yang memulai obrolan hanya terdengar dentuman sendok dan garpu diatas piring. Diam-diam, Jaemin melirik Jeno yang makan dengan tenang hingga saat Jeno menyadarinya, ia langsung buang muka.
"Apa liat-liat?!." Ketus Jeno menatap Jaemin tajam. Lee Doyoung dibuat kaget dengan perubahan sikap Jeno ke Jaemin padahal dulu Jeno sangat sayang kepada Jaemin bahkan ketika Jaemin terluka sedikit saja, Jeno akan mengobatinya dengan telaten. Sering kali ia berkata saat Jaemin terluka aku gak mau adek ngerasain sakit.
"Ada apa ini?." Tanya Lee Doyoung.
Jeno meneguk air minumnya hingga tandas, "Jeno gak nafsu makan liat Nana." Ketusnya kemudian melenggang pergi menuju kamarnya.
Sedangkan Jaemin, selera makannya seketika lenyap digantikan dengan rasa sedih. Dengan bersusah payah menahan bendungan air matanya, Jaemin memainkan sendoknya sembari menatap makan malamnya dengan tatapan ngeblur karna air mata. Mengingat ucapan Mark tadi di kamarnya, ia akan berusaha untuk tidak menangis agar tidak dianggap cengeng dan lemah.
"Kamu apain abang kamu, Na?." Suara Lee Doyoung terdengar tegas membuat Jaemin takut-takut.
"Nana gak apa-apain abang, ayah." Lirihnya tanpa berani menatap ayahnya.
"Kalo gak diapa-apain gak mungkin Jeno marah. Kamu ini bisa gak sih gak bandel?!. Kamu itu udah besar, pake otak kamu buat mikir mana yang baik, mana yang nggak." Tadi Jeno membentaknya, Mark mengatakan bahwa dirinya cengeng, dan sekarang Lee Doyoung mengomelinya.
"Dengerin kata ayah, kurang-kurangin bandelnya." Timpal Mark mengacir pergi disusul oleh Lee Doyoung.
Kini tinggal Na Jaemin seorang diri di meja makan, disaat itu juga air matanya kembali menetes tanpa sepengetahuan keluarganya. Dunianya berubah setelah kepergian Na Mi Young. Meninggalkan kenangan yang tertata rapi dalam benak Na Jaemin. Salah satunya, dimana kejadian mengerikan merenggut nyawa sang bunda.
Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes, Jaemin bangkit dari duduknya, mengambil piring kotor untuk dibawa ke wastafel dan membersihkan dapur. Bundanya sudah tiada, jika dirinya tidak belajar mandiri dari sekarang siapa yang akan membereskan rumah. Kediaman Lee Doyoung tak memperkerjakan seorang asisten rumah tangga karna permintaan Na Mi Young. Buat apa memperkerjakan asisten jika dirinya sanggup melayani suami serta ketiga putranya.
Namun kini sosok lembut dan penuh kasih sayang itu telah meninggal dunia, terkubur oleh tanah. Karna itu, Jaemin bertekad akan belajar mandiri sebab Lee Doyoung tidak mungkin membereskan rumah sebab lelaki setengah baya itu memiliki tanggung jawab di perusahaannya. Begitupun dengan Jeno, Na Mi Young selalu melarang Jeno melakukan apapun yang berkaitan dengan beberes rumah sebab lelaki itu sedikit ceroboh dan Mark, Mark selalu menghabiskan waktunya untuk belajar. Sudah pasti ketiga lelaki itu tidak memiliki waktu mengurus rumah.
Kakinya yang mungil melangkah ke wastafel untuk menyimpan piring kotor lalu mengambil kain kemudian ia basahkan untuk melap meja makan. Makanan yang tersisa ia simpan di lemari agar tidak mubazir. Toh, makanan itu masih bisa di panaskan besok jika tidak basi.
Tak hanya melap meja makan, Jaemin juga mencuci piring, menyapu, dan mengepel. Saat mencuci piring cukup memakan waktu lama sebab dirinya harus menahan diri untuk jinjit dan dengan pelan ia mencucinya agar tak jatuh dan pecah. Cukup melelahkan namun tak masalah, ini semua awal usaha untuk mandiri. Ia ingat bagaimana cara Na Mi Young membuatkannya susu, setelah kegiatannya selesai ia akan belajar membuat susu.
Mengusap peluh di pelipisnya, Jaemin kembali ke wastafel untuk mencuci tangannya. "Jadi gini ya rasanya jadi bunda, ternyata bunda selalu ngerasa capek setiap hari. Maafin Nana ya bunda tapi Nana janji bakal mandiri."
Lantai sangat basah karna memang ini pertama kalinya Jaemin mengepel. Karna kurang berhati-hati, Jaemin terpeleset saat mengambil gelas. Alhasil, gelas yang ia ambil terjatuh dan pecah. Persetan dengan lengannya yang terasa nyeri, yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara membersihkan bening kaca itu.
Pemikirannya masih sangat minim. Tanpa pikir panjang, Jaemin mengambil bening itu untuk dibuang di tempat sampah namun lagi-lagi ia terluka. Bening yang ia ambil melukai jari telunjuknya menciptakan darah segar yang mengalir bahkan menetes. Jaemin tak menangis, hanya terdengar ringisan saat rasa perih mulai terasa.
Sela-sela kegiatannya, Lee Doyoung datang. "NANA."
Jaemin kaget, ia mendongak menatap wajah sang ayah. Sebelum dirinya bangkit, ayahnya terlebih dulu menarik lengannya yang terluka. "Sakit ayah." Cicitnya.
Lee Doyoung meraih sapu yang tak jauh darinya lalu mendaratkannya di betis Na Jaemin. Memukul putra bungsunya tanpa rasa kasihan bahkan pukulannya menimbulkan kemerahan membuat Jaemin kembali menangis. "BANDEL BANGET YA KAMU." Kedua kalinya, Lee Doyoung memukul Jaemin di bagian pahanya. Sakit, sangat sakit hingga kini anak kecil itu terduduk.
Setelahnya, Lee Doyoung menarik tangan Jaemin lalu membawanya ke kamar. Tak ada sedikitpun terbesit rasa kasihan kepada putra bungsunya. Ia bahkan mendudukkan Jaemin dengan paksa di kursi meja belajar. "Diem disini, belajar biar pinter. Malam ini gak usah minum susu." Ucap Lee Doyoung dengan tegas kemudian melenggang pergi.
Jaemin mengangkat celananya untuk melihat betisnya yang kena pukul tadi. Rasanya sangat sakit dan sialnya Jaemin tak mengerti bagaimana cara mengobatinya. "Ingat kamu itu laki-laki Nana, jangan nangis." Tangannya mengusap air matanya kasar lalu mengambil bukunya mengingat siang tadi ia diberikan tugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Fiksi RemajaKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.