Seperti biasa, Lee Doyoung mengantar ketiga putranya bersekolah. Setibanya di depan gerbang sekolah Jeno dan Jaemin, kedua anak lelaki itu turun dari mobil dan bergegas memasuki area sekolah. Keduanya disambut oleh banyaknya pasang mata yang menatapnya terang-terangan membuat Jeno mempercepat langkahnya, meninggalkan Jaemin yang menatap bingung teman sekolahannya.
"Kasian banget gak punya mama jiakh."
"Huuuu gak punya mama."
"Anak piatu."
"Denger-denger bundanya Nana meninggal gegara nolongin Nana."
"Gegara dia yang nakal, bundanya jadi mati."
"Kecil-kecil udah gak punya mama."
Telinga Jaemin memanas mendengar setiap makian yang dilemparkan untuknya. Anak itu berlari menelusuri koridor menuju kelasnya. Tak kuat menahan bendungan air matanya, Jaemin membiarkan cairan bening itu membasahi pipinya. Bukannya kasihan, teman sekolahannya malah semakin melemparkannya makian yang sangat tidak mengenakkan untuk di dengar.
Cekalan seseorang membuatnya berhenti, kepala tertunduk dan terisak. Ia tak tahu siapa yang mencekalnya.
"Nana, aku Njun."
Jaemin mengangkat pandangannya, benar saja Renjun yang ada di hadapannya. Sahabatnya. "Mereka jahat Njun." Jaemin semakin terisak membuat Renjun ikut menangis. Malang sekali nasib sahabatnya. Renjun memeluk Jaemin erat, membiarkan Jaemin menangis sejadi-jadinya.
Emosi tak hanya berupa kebahagiaan tapi juga dengan kesedihan. Kesedihan adalah alat pancing keluarnya air mata. Menangis bukan semata-mata adalah sebuah kelemahan. Terkadang, menangis dapat membuat hati menjadi lega. Karna itu, Renjun membiarkan sahabatnya menangis di pundaknya. Berharap, Jaemin akan merasa lega setelah ini.
Disisi lain, Jeno juga tak henti-hentinya dilemparkan makian yang sangatlah tidak mengenakan. Tidak masalah jika mereka memakinya sepuas mereka tapi tidak dengan mengikutsertakan bundanya yang sudah tiada. Kedua tangan Jeno terkepal kuat menatap satu siswa dihadapannya yang menatapnya remeh. Marah, Jeno sangat marah.
"Bunda lo mati ya? Kasian banget sih anak piatu." Taeyong tertawa, menertawakan nasib malang Jeno.
Tak kuasa nahan amarahnya, Jeno melayangkan kepalan tangannya tepat di rahang Taeyong membuat wajah sang empu tertoleh dengan paksa. Lee Doyoung pernah mengajarinya sedikit ilmu bela diri untuk melindungi Jaemin sewaktu-waktu ada yang mengusik ketenangan adeknya.
Taeyong tentu tak terima dan langsung membalas pukulan Jeno. Alhasil, keduanya bertengkar dengan saling membugem. Teman sekolahannya yang menyaksikan perkelahian itu tidak ada sedikitpun berniat untuk melerai Jeno dan Taeyong. Jeno tidak bugeg, teman sekolahannya lebih mendukung Taeyong daripada dirinya sendiri. Padahal dulu, ia memiliki banyak teman karna kepintarannya yang selalu mengikuti olimpiade.
Chenle berlari menghampiri Jeno yang terus memukul Taeyong membabi buta. Lelaki itu menarik lengan Jeno kuat-kuat agar pertengkaran itu terlerai. Untuk pertama kalinya, Chenle melihat Jeno semarah ini.
Apakah memiliki teman itu kita harus sempurna?. Memiliki kedua orang tua?. Untuk pertama kalinya, Jeno mendapat bullyan hanya karna bundanya telah tiada. Kolase kejadian mengerikan itu kembali berputar di otaknya. Dimana Na Mi Young tengah membenarkan tali sepatunya dan Jaemin dengan seenaknya berlari ke tengah jalan raya untuk menolong seekor kelinci.
Tangannya semakin terkepal, dapat ia simpulkan bahwa kematian sang bunda murni kesalahan Jaemin. Jaemin yang telah membunuh bundanya dan membuatnya mendapat bullyan yang tak sepantasnya ia dapatkan.
Chenle mengambil tas Jeno yang tergeletak lalu menarik lengan sahabatnya untuk meninggalkan Taeyong yang sudah babak belur. Persetan jika Taeyong melaporkannya dan berakhir Lee Doyoung dipanggil ke sekolah. Jeno benar-benar tidak peduli. Semua ini salah Jaemin.
Chenle menyimpan tas Jeno diatas meja kemudian mendudukkan sahabatnya itu dengan paksa di bangku. Menarik bangkunya untuk lebih dekat dengan Jeno. Nafas Jeno masih memburu, terlihat jelas dari dadanya yang naik turun. Sahabat Jeno itu mengambil botol minum Jeno lalu membukanya. Lelaki itu selalu meminum air putih ketika dirinya tak kuasa menahan amarahnya.
"Minum, tenangin diri lo." Chenle tersenyum tipis melihat Jeno meneguk air minumnya. "Sejak awal masuk sekolah, lo udah tau senakal apa Taeyong terus kenapa lo malah ngeladenin bocah tengil itu Lee Jeno?."
Jeno menutup botol minumnya sebelum menjawab pertanyaan Chenle. "Gue gak suka bunda diikutsertakan, Chenle. Gue mau bunda tenang di alam sana tapi mereka semua malah ngebully gue. Gak punya mamalah, mamanya matilah, anak piatulah. Kuping gue panas Le denger itu semua. Perihal gue nonjok muka Taeyong, itu bener-bener diluar kendali gue."
"Gue tau perasaan lo Jen, gue tau. Tapi dengan lo mukulin Taeyong kek tadi bisa bikin lo lega?, bisa bikin Taeyong gak ngebully lo lagi?, gue rasa nggak. Semakin lo kepancing, Taeyong bakal makin gencar ngebully lo karna emang tujuan dia adalah masukin lo ke perangkapnya. Ngerti maksud gue?."
Jeno mengangguk, "Maaf."
"No, gue gak butuh kata maaf lo. Yang gue butuh, lo janji ke gue gak bakal berantem kek tadi lagi. Kita masih sd kalo lo lupa, usia kita masih umur jagung."
🐰🐰🐰
Seorang anak kecil tengah duduk sendirian di balkon kamarnya dengan buku gambar dan alat tulis di hadapannya. Jaemin, anak itu sedang menggambar apa saja yang bisa ia gambar, salah satunya adalah pemandangan. Pensil yang ia pegang, menari indah diatas buku walaupun berkali-kali dirinya menghapus hasil gambarnya karna memang Jaemin tak ahli dalam menggambar.
Jaemin berdecak, hasil gambarnya tak sesuai harapannya. Terlihat mudah namun sangat sulit baginya. "Yakk susah banget." Omelnya membanting pensilnya kasar. "Minta tolong sama bang Jeno aja deh." Mengambil buku gambar, pensil, dan penghapus, anak itu bangkit dari duduknya. Berlari kecil menuju kamar Jeno yang berada di samping kamarnya.
Pintu kamar sang pemilik tak tertutup rapat. Dapat Jaemin lihat dari cela bahwa abangnya itu tengah duduk di meja belajar. Dapat dirinya tebak kalo Jeno pasti sedang mengerjakan tugas. Daripada menggambar sendirian, ada baiknya jika ia mengajak Jeno untuk belajar bersama.
Ketukan pintu membuat atensi Jeno teralihkan, "Masuk."
Mendapat izin dari sang pemilik, Jaemin memasuki kamar Jeno dan langsung disambut tatapan dingin dari abangnya. Langkah kecilnya membawanya untuk mendekati Jeno, "Nana mau belajar bareng abang, boleh?."
"Nggak." Balas Jeno ogah-ogahan.
"Tugas abang banyak ya?. Nana gak bakal gangguin abang kok, Nana bakal duduk di karpet sambil ngegam---
"DIEM."
Bentakan yang terlontar dari mulut Jeno membuat Jaemin terlonjak bahkan pensil anak itu terjatuh. Untuk pertama kalinya Jeno membentaknya, tangannya mulai berkeringat dan gemetar karna ketakutan. "A-abang marah sama Nana?." Bukan hanya tangannya, suaranya juga terdengar gemetar.
Lagi dan lagi, Jeno kembali marah. Lelaki itu berdiri lalu mendorong dada Jaemin hingga membuat anak kecil itu terjatuh dengan bokong yang menghantam kerasnya lantai. "PERGI LO."
Apa yang terjadi dengan Jeno, lelaki itu tak pernah menggunakan kata lo-gue kepadanya, termasuk Mark juga. Jaemin meneteskan air matanya, untuk kedua kalinya Jeno membentaknya. "Abang kenapa?." Lirihnya seraya bangkit ingin menggapai tangan Jeno namun langsung ditepis oleh sang empu.
Bukannya menjawab pertanyaan adek kecilnya, Jeno malah menarik lengan Jaemin bahkan mencengkramnya hingga menimbulkan kemerahan. Menyeret adek kecilnya keluar dari kamarnya tanpa sedikit perasaan tak tega mendengar ringisan Jaemin, Nana bundanya. Moodnya memburuk kala melihat Jaemin. Entahlah, mungkin efek kejadian di sekolah tadi.
Lee Jeno yang sayang dengan Na Jaemin, itu seperti lenyap begitu saja. Sebelumnya, Jeno tak pernah berbuat kasar padanya tapi sekarang, Jaemin dibuat bingung dengan tingkah abangnya. Jeno-nya yang sekarang bukan Jeno-nya yang dulu. Berusaha berpikir positif, mungkin saja Jeno tengah berpikir keras mengerjakan tugasnya dan Jaemin datang disaat yang tidak tepat. Alhasil, Jeno marah karna tanpa sengaja Jaemin mengganggu konsentrasinya. Itu yang ada di pikiran Na Jaemin.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Ficção AdolescenteKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.