10. Kejujuran

37 11 1
                                    

Rasa gugup terus menghantui Talia sepanjang jalannya menuju asrama putra. Gedung asrama itu menempel dengan gedung akademi, sehingga Talia tidak perlu meyeberangi lapangan atau pun melewati danau. Gadis itu hanya perlu keluar dari menara perpustakaan dan menyusuri lorong yang membelah akademi.

Gedung Asrama putra berada di sayap utara, sementara gedung perpustakaan ada di sayap selatan. Perlu waktu kurang lebih lima belas menit hingga sampai di depan pintu masuk asrama yang terlihat lengang. Hanya ada beberapa anak laki-laki yang berdiri bergerombol di depan pintu masuk. Talia segera menghampiri rombongan itu untuk bertanya letak kamar Kyle.

Salah satu dari mereka memberi tahu Talia. Mereka tampak keheranan karena ada sisiwi perempuan yang mencari Kyle, pemuda penyendiri yang sulit didekati. Namun, Talia tidak sempat memusingkan pendapat orang lain. Gadis itu segera meluncur ke lantai tiga, sesuai dengan arahan anak laki-laki tadi.

“Kamar kedua dari ujung lorong,” gumam Talia sembari menyusuri lorong lantai tiga.

Begitu sampai di pintu yang dimaksud, Talia segera mengetuknya beberapa kali. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi dengan lebih keras. Mungkin Kyle sedang di kamar mandi. Namun detik berikutnya, pintu kamar itu menjeblak terbuka dengan kasar.

“Siapa yang berani-beraninya menggangguku,” bentak Kyle begitu membuka pintu. Akan tetapi ekspresinya segera berubah ketika melihat Talia berdiri gugup di hadapannya. “Kau? Ada apa?” tanyanya kebingungan.

“Boleh aku masuk? Ada yang ingin kubicarakan. Ini penting,” desak Talia tanpa membuang waktu.

Kyle tampak terganggu. Namun sepertinya kejadian langka itu terlalu di luar dugaan. Mau tidak mau Kyle pun merasa penasaran tentang alasan Talia yang datang tiba-tiba ke kamarnya. Pemuda itu membukakan pintu dan membiarkan Talia masuk begitu saja.

“Ada apa?” tanyanya setelah Talia duduk manis di kursi meja belajarnya.

“Ini tentang kakakmu,” ucap Talia membuka pembicaraan.

Kyle menghela napas kesal lalu duduk di ranjangnya. “Sudah kubilang aku tidak ingin membicarakan tentang dia,” ujarnya dengan nada kasar.

“Dengar dulu. Sepertinya Ludwig sedang berusaha membunuhku. Aku bertemu dengannya saat di perpustakaan tadi,” terang Talia tak sabar.

Raut wajah Kyle segera mengeras. “Tidak kusangka dia akan bergerak secepat ini,” geramnya gusar.

Talia cukup terkejut mendengar komentar Kyle itu. “Apa itu artinya kau juga tahu kalau dia sedang merencanakan pembunuhan terhadapku?”

Kyle tidak segera menjawab. Pemuda itu justru menautkan kedua tangannya dan duduk dengan bertopang dagu.

“Apa yang sudah dia lakukan padamu?” tanya Kyle kemudian.

“Eh, itu … sejauh ini belum ada, sih. Dia hanya mengajakku berkenalan tadi, lalu menyuruhku untuk berbaik-baik padamu,” lanjut Talia apa adanya.

“Apa kau diancam?”

Talia menggeleng singkat.

“Lalu?”

“Itu … .” Talia menimbang-nimbang untuk memberi tahu Kyle tentang kemampuan tersembunyinya yang bisa melihat masa depan. Namun, selama ini Talia tidak pernah membicarakan hal itu pada siapa pun, kecuali Shopie. Ia tidak yakin kalau Kyle cukup bisa dipercaya untuk menerima informasi penting itu.

Kyle tampaknya merasakan keraguan Talia. Pemuda itu kembali menarik napas panjang untuk menenangkan keadaan.

“Kalau kau sudah tahu tentang hal itu, kurasa sudah cukup. Kau mengerti sekarang kenapa aku menjauhimu? Kalau kau berada di dekatku, maka keselamatanmu akan menjadi taruhannya,” ungkap Kyle kemudian.

Talia justru kebingungan mendengar jawaban Kyle. “Apa kaitannya kedekatan kita dengan rencana jahat Ludwig?” tanyanya.

“Bukankah sudah jelas. Orang itu hanya ingin menyiksaku dengan menjauhkan orang-orang yang dekat denganku. Alasan apa lagi yang dia butuhkan untuk menyerang orang-orang yang tidak bersalah seperti kau dan Leo? Dia hanya ingin membuat pelajaran denganku,” jelas Kyle jelas tampak kesal.

Rasa simpati mendadak merayapi hati Talia. Jadi karena ini Kyle mati-matian membuat jarak dengan siapa pun. Kakaknya yang jahat itu selalu mengganggunya dengan cara kejam ini, entah apa pun alasannya.

“Kenapa Ludwig begitu ingin mengganggumu? Bahkan sampai ingin membunuhku?”

Kyle memalingkan wajahnya ke arah jendela kamarnya yang memperlihatkan lapangan dan danau sekolah. Tatapannya tampak sendu dan kesepian.

“Itu karena dia membenciku. Dia pikir aku mungkin akan merebut posisinya sebagai penerus keluarga Gothe, menggantikan ayah kami. Karena itu dia tidak akan membiarkan aku bergaul dengan anak-anak dari keluarga bangsawan lain. Dia kira aku bisa mendapat kekuatan dari para keluarga bangsawan untuk melawannya kelak,” terang Kyle panjang lebar.

Rasa simpati Talia semakin membesar. Betapa kesepiannya hidup Kyle selama ini. Bagaimana bisa dia hidup bersama saudara yang begitu membencinya, bahkan sampai melakukan cara keji untuk mengganggunya. Talia yang tidak punya saudara tahu persis bagaimana menderitanya rasa kesepian itu. Menyesakkan.

Mungkin atas alasan tersebutlah cerita Kyle justru membangkitkan rasa senasib di hati Talia. Gadis itu menarik napas panjang dan memutuskan hal paling krusial dalam hidupnya saat ini: ia ingin tetap berada di sisi Kyle.

“Kyle, aku ingin mengakui sesuatu padamu. Sejujurnya ini adalah rahasia yang sudah kusimpan seumur hidupku. Tapi kurasa aku ingin membaginya bersamamu sekarang. Ini mungkin bisa jadi jalan keluar bagi kita agar bisa menghindari apa pun rencana jahat kakakmu,” kata Talia kemudian.

Klye menoleh menatap Talia masih dengan wajah muram. Meski begitu Kyle tetap diam dan menunggu Talia melanjutkan kata-katanya.

“Sebenarnya … aku punya kemampuan lain selain sebagaienchanter. Aku adalah seorang oracle yang bisa melihat masa depan seseorang melalui sentuhan,” ungkap Talia kemudian.

Kedua alis Kyle bertaut, menuntut penjelasan lebih lanjut. “Jadi maksudmu, kau melihat masa depan Ludwig?” tanya Kyle segera menangkap maksud Talia.

Gadis itu mengangguk singkat. “Di masa depan yang kulihat, Ludwig dengan sengaja melepas Dirlagraun di lapangan sekolah saat aku hendak kembali ke asrama. Hewan buas itu dia perintahkan untuk menyerangku dan mungkin sampai … mati,” ucap Talia dengan suara bergetar. Kemungkinan akan kematian tetap membuatnya bergidik. Rasanya tidak nyaman melihat dirinya sendiri mati dilumat oleh makhluk sihir buas.

“Kau tidak sedang bercanda kan?” tanya Kyle masih setengah percaya.

“Tentu saja tidak. Kau pikir kenapa aku buru-buru kemari setelah bertemu dengan Ludwig. Tadi adalah kali kedua aku melihatnya di masa depan. Sebelumnya aku memimpikan tentang Ludwig yang tengah berbicara dengan Dirlagraun itu di hutan milik Departemen Beast Tamer,” kata Talia jujur.

Kyle tampak berpikir sejenak. Ia lantas menatap tajam Talia, seolah menyadari sesuatu.

“Lalu apa yang kau lihat di masa depanku? Aku yakin kau mendekatiku karena alasan tertentu. Selama ini aku tidak bisa memperkirakan tujuan seorang siswi asing yang tidak kukenal mendadak mencoba berteman denganku tanpa ada maksud tertentu,” tanya Kyle lugas.

Talia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tak salah kalau Kyle selalu menempati peringkat pertama di setiap pelajaran sihir. Pemuda itu benar-benar cerdas menganalisis situasi. Meski begitu, bagaimana mungkin Talia mengutarakan penglihatannya tentang Kyle yang akan menjadi penjahat dan menghancurkan kekaisaran? Itu terlalu berbahaya.

“Aku … hanya melihat kalau kau selalu jadi juara kelas di masa depan. Kau tahu jiwa kompetitifku sangat tinggi. Aku tidak mau kalah darimu. Jadi kupikir sebaiknya aku mendekatimu agar bisa melihat lebih dekat caramu belajar,” kilah Talia dengan alasan konyol yang bisa dia pikirkan dalam waktu singkat.

Ajaibnya, Kyle justru mempercayai alasan itu dan hanya mendengkus geli mendengarnya. “Kau benar-benar anak yang aneh, Talia Ortega,” katanya sembari tersenyum simpul. Senyuman yang baru pertama kali dilihat oleh Talia dan membuat jantung gadis itu berdegup aneh. 

Sight of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang