75. Mediasi

17 5 0
                                    

Talia benar-benar lega setelah bisa berbaikan dengan Kyle. Drama panjang persahabatan mereka sepertinya tidak pernah usai karena sekarang Talia masih punya banyak agenda yang harus diselesaikan. Pertama-tama ia harus berusaha membuat Kyle dan Ludwig menjadi rukun kembali. Itu hal tersulit yang harus dilakukan Talia setelah pelajaran memanggil spirit. Meski begitu, Talia harus tetap melakukannya.

Idenya adalah mempertemukan mereka berdua dalam situasi yang kondusif. Talia mengambil waktu saat jam pelajaran sihir usai, tepat sebelum waktu makan malam. Perpustakaan adalah lokasi yang paling mendukung strateginya. Karena itu Talia segera membawa Kyle ke sana pada sore hari, berharap bertemu Ludwig yang memang selalu berkeliaran di tempat tersebut.

Akhirnya ketiga orang itu pun berhasil duduk tenang di sudut perpustakaan. Menit-menit pertama dihabiskan dengan kesunyian yang menegangkan. Kyle memancarkan hawa permusuhan yang sangat intens, sementara Ludwig hanya diam saja sambil melempar pandangan malas ke arah rak-rak buku yang berjajar tinggi.

"Jadi, mari kita mulai pembicaraan yang beradab dan baik-baik," buka Talia yang seolah berperan menjadi moderator perdebatan.

Kyle mendengkus pendek sembari melipat tangannya. Pemuda itu terang-terangan bersikap defensif. Sementara Ludwig tersenyum tipis menatap Talia yang duduk di sebelah Kyle.

"Topik apa yang akan diangkat untuk memulai pertemuan ini?" tanya Ludwig dengan seringai menyebalkan, seolah sedang menggoda Talia yang punya inisiatif tidak lazim.

"Tentu saja tentang hubungan kalian. Lu, kau harus menjelaskan kesalahpahaman dari tindakanmu yang buruk di masa lalu. Kau bukannya membenci Kyle, kan?" timpal Talia mencoba memancing percakapan.

Sontak Kyle menoleh ke arah Talia dengan tatapan terkejut. "Kau memanggilnya apa?" tanya pemuda itu dengan nada mencela.

Ludwig tersenyum menanggapi. "Itu panggilan sayang Talia untukku. Ya kan?" tukasnya sembari bertopang dagu dan menatap Talia dengan lembut.

Kyle memicingkan matanya dan meliat ke arah Talia serta Ludwig secara bergantian. "Benar-benar membuatku merinding," komentarnya sarkastik.

"Sudahlah. Itu tidak penting sekarang. Ludwig, ayo bicara," tekan Talia mengalihkan topik.

Ludwig menarik napas panjang lantas menyadarkan punggungnya ke kursi. "Baik, baik," ucapnya kemudian. "Intinya aku tidak berniat untuk mengacaukan hidupmu, adikku tersayang. Ini ketiga kalinya aku minta maaf padamu. Aku juga sudah menjelaskan alasanku mengirimkan hewan-hewan peliharaanku padamu. Kupikir itu bisa menjadi latihan untukmu, juga untuk menghindarkanmu dari emosi-emosi yang tidak penting terkait hubungan dengan manusia," ujar pemuda itu panjang lebar.

Kyle menatap kakaknya dengan penuh kebencian. Pemuda itu mendengkus lagi. "Kalau kejahatan bisa dianggap kesalahan sepele seperti itu, semua orang di dunia ini mungkin akan menjadi sama sesatnya sepertimu," hina Kyle dengan tajam.

Talia memukul pelan lengan Kyle. "Jangan berprasangka buruk terus pada kakakmu," nasehatnya. Gadis itu lantas beralih pada Ludwig. "Kau juga. Kata-katamu sama sekali tidak mencerminkan ketulusan," tuduh Talia serius.

"Hei, aku juga mengalami banyak kerugian. Ratusan hewanku mati di tangan bocah ini," kilah Ludwig membela diri.

Kyle tertawa mengejek. "Kau sendiri yang mengirimkan mereka untuk mati di tanganku. Kenapa jadi melempar kesalahan pada orang lain?"

"Mereka bahkan belum menyerangmu sama sekaali tapi kau sudah langsung membunuh begitu saja tanpa ampun," balas Ludwig.

"Haruskan aku menunggu pencuri mengambil barang baru menangkapnya? Sudah jelas hewan-hewan itu ingin melukaiku. Lantas kau berharap aku membiarkan mereka melakukannya?" Kyle kembali mendebat.

Ludwig sudah akan membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Talia buru-buru melerai mereka. "Sudah cukup. Lu, kau tidak boleh menganggap dirimu benar dalam kasus ini. Tindakanmu sangat tercela apa pun alasannya. Jadi kau tidak berhak untuk membela diri. Seharusnya kau merenungkan kesalahanmu," kecam Talia tegas.

Ludwig pun terdiam lalu menghela napas pasrah. Talia kemudian beralih pada Kyle.

"Dan Kyle, aku tahu ini sangat menyebalkan. Kalau aku menjadi dirimu, aku juga pasti tidak akan bisa secara sukarela menerima orang brengsek itu kembali ... ."

"Hei!" potong Ludwig. Namun Talia mengangkat satu tangannya untuk menghentikan protes tertahan Ludwig. Pemuda itu pun kembali berdiam dan menahan ketidakpuasannya terhadap sebutan 'brengsek' itu.

"Meski begitu, kuharap kau memaafkan Ludwig untuk dirimu sendiri. Luka dalam hatimu pasti sangat dalam, langkah pertama yang bisa kau lakukan untuk menyembuhkan penderitaanmu adalah dengan membiarkan masa lalu itu berlalu," lanjut Talia pada Kyle.

Kyle ikut berdecak tidak puas. Pemuda itu mengerling ke arah kakaknya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan.

"Lihat sikapnya itu. Tidak ada sejengkalpun dari dirinya yang benar-benar tulus mengakui kesalahan. Bahkan aku yakin kalau ia tidak memiliki rasa penyesalan meski seujung kukunya sekalipun," tukas Kyle menatap tajam ke arah Ludwig.

Talia mengikuti arah pandangan Kyle lantas melotot kepada Ludwig. Dengan terpaksa Ludwig pun memasang ekspresi bersalah yang menyedihkan.

"Aku keterlaluan. Harus berapa kali aku mengatakannya? Tapi sungguh, aku tidak membencimu, Kyle. Kau tahu di keluarga kita tidak ada satu orang pun yang normal. Jadi mungkin otakku sedikit bermasalah dan memikirkan cara-cara aneh untuk membuatmu bertahan hidup. Fokus saja pada hasilnya. Sekarang kau menjadi penyihir gelap yang kuat. Dan kau juga masih hidup. Anggap saja aku sedang melatihmu selama ini," tukas Ludwig masih bersikeras.

Talia melempar sebuah buku kecil ke arah Ludwig. "Aku heran pada diriku sendiri yang bisa bergaul dengan manusia menyebalkan sepertimu," komentar gadis itu kemudian.

Ludwig yang sudah sigap menangkap buku Talia justru tersenyum tanpa rasa bersalah. "Kalau begitu apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku? Kyle, katakana padaku, bagaimana caranya agar aku bisa membuatmu merasa lebih baik?" ujar pemuda itu sembari menatap adiknya dengan lebih lembut.

Kyle hanya berdecih. "Jangan mengusikku, jangan menemuiku, jangan bicara padaku, dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Selamanya. Itu cara terbaik yang bisa kau lakukan. Hiduplah seperti orang mati," geram pemuda itu.

Energi Talia seperti tersedot setelah berada di antara kakak beradik yang sama-sama keras kepala ini. Meski begitu, Talia tetap merasa kesempatan ini sudah memberikan sedikit progress yang berarti. Setidaknya mereka berdua sudah tidak saling baku hantam dengan kemampuan sihir masing-masing.

Tiba-tiba Kyle berdeham canggung. "Meski begitu aku berterima kasih karena kau sudah melindungi Talia dari serangan sihir gelapku saat aku tidak sadarkan diri kemarin. Dan aku juga sudah beberapa kali membuatmu nyaris mati saat aku kehilangan kendali," tambah Kyle tanpa menatap kakaknya.

Talia tercekat sejenak. Ia tidak menyangka akhirnya Kyle bersedia membuka hatinya walau sedikit. Kedua orang itu sebenarnya hanya saling mempertahankan gengsi mereka di hadapan satu sama lain. Talia lantas melirik Ludwig yang kini tersenyum simpul menatap adiknya. Mungkin memang masih ada harapan bagi mereka berdua untuk menjadi akrab di masa depan. Talia benar-benar menatikan saat-saat itu. 

Sight of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang