59. Terbakar

19 6 0
                                    

Pada akhirnya, Talia hanya bisa pasrah ketika Ludwig menyuruhnya mulai berlatih. Karena sudah kepalang basah, gadis iu pun sekalian saja melakukan sesuai rencana. Melalui latihan tersebut, Talia akan memanggil spirit airnya.

“Kalau begitu, aku akan meminta sesuatu,” ucap Talia kemudian.

Sontak Ludwig mendengkus. “Kau benar-benar punya banyak permintaan, ya, Ortega,” ucapnya mencela.

Akan tetapi Talia tidak peduli. Ia hanya ingin meraih tujuannya saja tanpa perlu memikirkan kata-kata tajam Ludwig. “Aku perlu monster yang berelemen api,” ucap Talia kemudian.

“Api? Kenapa? Kau mau melatih sihir airmu?” tanya Ludwig kemudian.

“Semacam itu,” sahut Talia ringan.

Ludwig hanya tersenyum simpul. “Baik. Akan kucarikan,” ujar Ludwig sembari turun dari tempat duduknya di batu besar. Pemuda itu lantas memejamkan mata dan mulai berbicara dengan bahasa aneh yang yang tidak bisa dimengerti oleh Talia. Selama beberapa saa Ludwig melakukan ritual tersebu hingga akhirnya sesuatu bergerak cepat ke arah mereka.

Bunyi keresak daun yang terinjak terdengar dari dalam kegelapan hutan. Talia segera berubah waspada dan langsung mengeluarkan air dari botol yang sengaja dibawanya. Tidak banyak, memang, tetapi cukup untuk membuat sebuah pedang es yang tajam.

Tak lama menunggu monster yang dipanggil Ludwig pun muncul. Seekor salamander api dengan tubuh berwarna merah hitam. Salamander itu cukup besar. Panjang tubuhnya sekitar tiga meter. Dengan mata merah yang nyalang, salamander itu pun berhenti tepat di depan Ludwig seperti binatang peliharaan yang penurut.

Ludwig lantas membuka matanya kembali. Ia pun mulai bercakap-cakap dengan salamander itu dengan suara mendesis yang aneh.

“Dia punya serangan semburan api. Berhati-hatilah agar tidak terkena api salamander, walaupun aku tidak bisa memastikan kalau kau bisa menghindarinya dengan pedang kecil itu. Meski begitu berusahalah untuk tidak terbunuh,” kata Ludwig pada Talia.

“Kau tidak keberatan kalau hewanmu mati?” tanya Talia.

Ludwig tertawa kecil. “Kau benar-benar percaya diri, Ortega. Yah, tidak masalah sih. Masih ada banyak salamander lain yang kupelihara. Kau pikir aku cuma punya satu dua hewan buas?”

“Bukan itu maksudku. Sudahlah, bagaimana bisa aku berharap pada orang yang berhati dingin sepertimu,” gumam Talia sembari berdecih ringan.

Ludwig hanya mendengkus kecil menanggapi. “Mulai saja kapanpun kau siap,” lanjutnya sembari berjalan mundur dan memberi ruang bagi Talia untuk bertarung.

Salamander itu pun bergerak perlahan menghadapi Talia. Matanya yang merah menatap Talia penuh permusuhan. Entah apa yang sudah diperintahkan oleh Ludwig. Talia tidak bisa menampik bahwa dirinya merasa sedikit terintimidasi. Namun ia tidak bisa mundur sekarang. Sebaiknya Talia menguatkan hati untuk melawan hewan buas tersebut.

Karena sang salamander tampaknya tidak berniat untuk menyerang lebih dulu, maka Talia pun berinisiatif untuk melakukan serangan pertama. Gadis itu memanggil angin untuk membuat tubuhnya melayang. Sembari terbang ia menyerbu ke arah sang salamander dengan pedang es yang terhunus. Serangan pertamanya berhasil dihindari salamander itu dengan gerakan cepat. Detik berikutnya, sebuah semburan api besar menyapa gadis itu. Talia kembali menggerakkan angin untuk menghindar.

Api salamander berhasil dia hindari dengan mengorbankan sedikit ujung jubahnya yang berasap karena tersambar api. Talia mengubah strategi. Kini ia membuat perisai dengan sisa air dari dalam botolnya, berharap api yang tersembur dari salamander itu bisa ditangkis. Menghadapi salamander itu memang sangat beresiko. Ia tidak bisa menyerang langsung ke depan dan berharap tidak terbakar sama sekali.

Gadis itu kemudian melancarkan serangan kedua. Lagi-lagi semburan api salamander menghadangnya. Perisai airnya tidak cukup kuat untuk menahan api tersebut dan Talia terpaksa terbang menghindar agar tidak terpanggang hidup-hidup.

Belum ada sepuluh menit pertarungan mereka berlangsung, tetapi Talia sudah mulai kelelahan dan terengah-engah. Aktifitas fisik sepertinya memang bukan keahliannya. Sia-sia saja menyerang salamander itu secara langsung. Beruntung salamander itu tidak terlalu agrasif. Selama ini monster tersebut hanya membalas serangan yang dilancarkan oleh Talia terlebih dahulu. Meski begitu, Talia tidak bisa terus-terusan melancarkan serangan tak berarti. Ia harus mencari cara.

Talia lantas ingat bagaimana seorang penyihir air mengumpulkan molekul-molekuk air dari udara. Saat itu sang penyihir air melakukannya untuk memadamkan kebakaran hutan yang disebabkan oleh Talia. Sepertinya cara itu patut dicoba karena dengan begitu, Talia bisa memiliki cukup banyak cairan untuk menenggelamkan sang salamander.

Gadis itu pun mulai berkonsentrasi. Dengan seluruh tubuhnya ia berusaha merasakan kelembaban udara dan mencari titik-titk air yang ada di sana. Talia merasakannya. Udara yang lembab itu dipenuhi molekul air yang mulai berubah menjadi embun. Seluruh tetes-tetes air itu ia kumpulkan dengan penuh konsentrasi.

Sedikit demi sedikit, gelembung air yang melayang di hadapannya pun semakin besar hingga akhirnya menjadi cukup banyak untuk dia lontarkan ke arah sang salamander. Dengan segenap kekuatan, Talia pun mengirimkan gelembung air tersebut ke tubuh monster yang sedang dia hadapi.

Salamander itu mencoba mengelak, berlari kesana kemari sembari menyemburkan api. Namun gelembung air Talia terus mengejar hingga akhirnya berhasil menangkap hewan buas itu. Talia berjalan mendekat untuk memperkuat kontrolnya terhadap air yang sedemikian besar. Sang salamander berusaha keluar dengan menggeliat-geliat hebat. Talia nyaris kewalahan, tetapi ia berusaha bertahan. Hingga akhirnya petaka pun terjadi.

Moncong salamander itu berhasil keluar dari gelembung air, tepa di depan wajah Talia. Detik berikutnya bola api yang luar biasa besar terlontar dari mulut salamander itu, tegak lurus ke arah tubuh Talia yang tidak siap menerima serangan. Gadis itu jelas akan hangus terbakar jika tidak menghindar. Waktunya sangat sempit dan bola api itu benar-benar sangat dekat. Talia tidak mungkin sempat menghindar.

Gadis itu hanya bisa menuup mata, pasrah pada apa pun yang terjadi. Namun tiba-tiba ia merasa tubuhnya disambar oleh seseorang hingga berguling jatuh ke tanah. Seluruh tubuh Talia langsung merasakan hantaman keras saat mencium tanah dan beberapa luka gores akibat batu-batu tajam. Meski begitu ia selamat.

Talia segera membuka matanya kembali dan kini melihat Ludwig yang mengerang kesakitan dengan tubuh terbakar. Gelembung airnya sudah pecah sementara salamander yang terkurung di dalamnya pun sudah rebah di atas tanah. Pingsan.

Sepersekian detik Talia belum menyadari apa yang terjadi. Namun kemudian seluruh jaringan tubuhnya berhasi mencerna. Ludwig telah menyelamatkannya dan kini pemuda itu sedang terbakar kesakitan.

Tanpa pikir panjang Talia segera menghampiri Ludwig yang seluruh tubuhnya dilalap api. Dengan panik Talia kembali mengumpulkan air yang pecah merembes di dalam tanah. Gadis itu mulai menangis ketakutan, khawatir jika ia telah melukai seseorang. Hal yang dia pikirkan sekarang hanyalah cara untuk menyelamatkan Ludwig.

Di tengah frustrasinya tersebut, mendadak Talia mendengar suara wanita yang lembut di dalam kepalanya.

“Apa kau ingin menyelamatkan anak ini?” tanya suara itu.

“Iya! Tolong! Tolong selamatkan dia!” seru Talia berurai air mata. 

Sight of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang