“Oke, apa rencanamu?” tanya Talia pada Kyle sambil menyodok daging kalkun yang dimasak mentega. Setelah berdiri di lorong selama dua jam pelajaran, seluruh energi Talia rasanya seperti disedot habis. Rasa kesalnya pada Kyle juga belum sepenuhnya mereda.
“Kita ciptakan suasana dimana kau terlihat lemah dan sendirian agar Ludwig segera memerintahkan hewan peliharaannya untuk menyerang,” jelas Kyle yang piringnya sudah dipenuhi tumpukan daging panggang.
“Dimana sebenarnya kakakmu menyimpan hewan buas itu? Kabarnya Dirlagraun itu juga sudah menghilang dari hutan sejak kejadian penyerangan pada Leo. Tapi saat aku melihatnya dalam mimpi, jelas-jelas Ludwig sedang berbicara dengan Dirlagraun itu di tengah hutan,” tanya Talia penasaran.
“Dia pasti punya wilayah sendiri di hutan terlarang. Area yang enggan didatangi oleh para penjaga. Hanya Profesor Ursula yang bisa memberi izin semacam itu kepada murid biasa,” jawab Kyle dengan nada penuh kebencian.
“Wah, keluargamu memang berada di level yang berbeda. Apa itu artinya kau juga anak emas para guru? Kurasa Kepala Departemen kita juga memberikan perlakuan khusus padamu. Kau punya kamar yang lebih bagus dari murid-murid lain. Dan bahkan tadi pagi, Profesor Li sama sekali tidak menegurmu. Hanya aku yang dihukum! Bukankah itu tidak adil,” protes Talia terus bersungut-sungut.
Kyle mendengkus kecil lalu tertawa geli. “Bukan salahku kalau mereka memperlakukanku dengan segan. Aku tidak minta dispesialkan,” kilah Kyle sembari duduk di sebelah Talia dengan sepiring besar daging panggang dan segelas anggur non-alkohol.
“Setidaknya kau bisa membelaku kan. Hampir dua jam penuh aku berdiri di lorong. Rasanya otot-otot betisku seperti terbakar sekarang,” omel Talia tanpa terputus.
“Seharusnya kau menggunakan sihir meringankan tubuh. Kau kan sudah menguasai keempat elemen dasar sihir.”
“Kalau dari awal aku bisa menggunakan sihir sesuka hati di sekolah, aku tidak perlu repot-repot menggerakkan tangan dan kakiku untuk mengambil makanan ini,” geram Talia sambil melotot.
Masalahnya, di Akademi tersebut para guru sudah memasang kristal sihir untuk mendeteksi penggunaan sihir tidak pada tempatnya. Para murid nakal yang menggunakan kekuatan mereka di luar jam pelajaran akan terdeteksi dengan cepat dan mendapat hukuman. Rata-rata hukumannya sangat tidak menyenangkan seperti membersihkan gudang peralatan sihir, atau memberi makan griffin.
“Kalau begitu lain kali kau harus menutup mulutmu selama pelajaran berlangsung,” ulas Kyle kemudian.
Talia mendesis kesal dengan mulut penuh daging kalkun. “Aku tidak mengerti kenapa aku harus terlibat dengan orang sepertimu,” kata gadis itu sarkastik.
Kyle justru tertawa saat mendengar keluhan Talia tersebut. “Kau sendiri yang berbuat, sekarang kau juga yang mengeluh. Dasar anak aneh.”
Talia melanjutkan makan siangnya dengan masih bersungut-sungut. Kyle tidak mencoba memperbaiki suasana hati Talia, tetapi pemuda itu justru membeberkan rencananya untuk menempatkan Talia sebagai umpan. Rencana yang mudah dan lugas untuk dibicarakan, tetapi sulit untuk dihadapi.
Sore harinya, setelah pelajaran selesai, Talia dan Kyle menunggu sampai sekolah cukup sepi. Mereka berencana untuk membuat situasi di mana Talia berjalan sendirian melewati lapangan Akademi, sesuai dengan penglihatan gadis itu sebelumnya. Kyle akan berpura-pura kembali lebih dulu ke asramanya, lalu diam-diam keluar dan bersembunyi di dekat sana.
Ludwig akan memerhatikan Talia dari lantai tiga gedung departemennya. Dari jarak sejauh itu, seharusnya ia tidak akan menyadari kalau Kyle sudah ada di dekat Talia dan melindunginya dalam jarak aman. Rencana itu memang terdengar sempurna. Meski begitu kegugupan Talia tidak bisa disembunyikan. Gadis itu berjalan membelah lapangan dengan tangan dan kaki gemetar dan berkeringat dingin. Kedua matanya waspada melihat ke sekeliling, dan terkejut hanya karena suara atau gerakan kecil. Ia berjalan dengan cepat, setengah berlari, berharap kalau serangan Dirlagraun tidak terjadi hari itu juga. Talia butuh persiapan lebih lama.
Sayangnya, harapannya terkubur begitu saja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam, dengan langit yang mulai gelap dan bertabur bintang, Talia mendengar suara itu. Suara geraman hewan buas yang begitu dekat dan mengerikan. Tidak ada siapa pun di lapangan saat itu. Talia sepenuhnya sendirian dan harus menghadapi hewan buas itu.
Karena merasa tidak ada gunanya melarikan diri, gadis itu pun akhirnya berhenti berlari. Dengan mengerahkan semua keberaniannya, Talia berbalik dan menghadapi sepasang mata merah yang menatapnya nyalang. Hewan itu persis seperti yang dilihatnya dalam mimpi, besar, buas, dan mengintimidasi. Dua tentakel yang tumbuh di punggung hewan itu bergerak-gerak dengan liar sambil mengarahkan serangan mereka pada Talia.
Gadis itu segera memasang kuda-kuda dan mengangkat kedua tangannya untuk mulai melakukan sihir elemen. Sang Dirlagraun berjalan pelan sambil menggeram ke arahnya dengan hawa membunuh yang kuat. Talia sedikit gentar. Namun dengan seluruh kemampuannya, gadis itu pun melancarkan serangan pertama. Sebuah bola angin besar berwarna putih berpusar di telapak tangan kanannya, semakin lama semakin besar hingga sekepala orang dewasa. Rambut, jubah dan rok Talia berkibar-kibar karena hempasan angin yang dia kumpulkan.
Dirlagraun itu sudah hendak menerjang ketika akhirnya Talia melontarkan bola angin tersebut ke arah hewan buas itu. Namun sesuai dugaan, serangan bola angin itu sama sekali tidak berdampak pada sang Dirlagraun. Alih-alih, hewan buas itu justru menelan bola angin Talia bulat-bulat sambil melompat ke arahnya.
Talia memekik keras lantas tersungkur ke belakang karena tidak siap dengan serangan tersebut. Jaraknya dengan Dirlagraun itu kurang dari semeter. Detik berikutnya, seberkas aura gelap serupa kabut pekat berwarna hitam, muncul dari balik punggung hewan buas itu. Aura gelap itu menahan serangan sang Dirlagraun dan membuatnya tercekik di udara. Talia yang terkejut menatap Dirlagraun yang kini meronta-ronta kehabisan napas. Aura gelap it uterus menyelubungi tubuh hewan buas tersebut hingga tak terlihat lagi.
“Kau baik-baik saja?” Suara Kyle mendadak terdengar dari sisi kanan Talia.
Gadis itu menoleh dan mendapati Kyle tengah mengangkat satu tangannya dan mengeluarkan kemampuan sihirnya yang mampu mengontrol elemen gelap.
“K, Kyle … ,” desah Talia dengan mata berkaca-kaca.
Kyle meremas kepalan tangannya yang terulur lantas terdengar suara raungan Dirlagraun yang terdengar sangat tersiksa. Beberapa saat kemudian, Dirlagraun tersebut tidak lagi meronta atau pun mengerang kesakitan. Kyle menarik kembali kekuatan gelapnya lantas membuat tubuh Dirlagraun yang sudah lemas itu terjatu di tanah.
“A, apa dia sudah mati?” tanya Talia masih tersungkur di atas tanah.
Kyle melempar pandangannya ke arah gedung departemen Beast Tamer. Ia menatap tajam orang yang tengah berdiri di balik jendela lantai tiga, Ludwig.
“Tidak ada yang pernah hidup setelah menerima serangan kegelapanku,” desis Kyle dengan nada penuh kebencian.
Talia masih gemetaran di atas tanah. Tubuhnya benar-benar lemas hingga tak sanggup lagi untuk berdiri. Beberapa saat kemudian orang-orang yang mendengar teriakannya dan raungan Dirlagraun pun mulai keluar dan menghampiri mereka, termasuk para guru dan bahkan Profesor Theia, Kepala Departemen Enchanter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sight of Future
FantasyNomor Peserta : 088 Tema yang diambil : Campus Universe Blurp Talia Ortega, siswi baru di Akademi Sihir Ramona, Kerajaan Barat, adalah seorang oracle dengan kemampuan melihat masa depan seseorang yang disentuhnya. Saat upacara penerimaan siswa baru...