66. Kerjasama

17 3 0
                                    

“Bagaimana aku bisa mempercayaimu?” tanya Ludwig kemudian.

“Aku mengatakan yang sebenarnya. Terserah kau mau mempercayainya atau tidak,” tukas Talia tanpa ragu. Talia memang menceritakan tentang masa depan Kyle yang telah beberapa kali ia lihat. Meski begitu, Talia memilih untuk tidak memberitahu Ludwig tentang dirinya yang mengulang kehidupan.

Kini Ludwig tampak terdiam beberapa saat. “Bagaimana caramu melihat masa depan orang lain?” tanya pemuda itu kemudian.

“Dengan menyentuhnya,” ucap Talia jujur.

Sontak Kyle mengernyit. Alisnya bertaut seolah menyadari sesuatu. “Kalau begitu kau juga bisa melihat masa depanku. Kita sering bersentuhan,” ucapnya kemudian.

Talia menggeleng pelan. “Kekuatanku menghilang beberapa waktu yang lalu. Hal yang sempat kulihat hanyalah masa depan Kyle saja,” ungkap gadis itu tidak sepenuhnya berbohong. Ia tidak harus mengungkapkan hal-hal yang pernah dia lihat tentang Ludwig. Semua itu terjadi saat ia berada di kehidupan sebelumnya.

Kyle tampak menarik napas panjang sembari mengamati Talia dengan seksama. Sepertinya pemuda itu sedang mempertimbangkan untuk percaya pada ucapan Talia atau tidak. Talia tidak bisa memaksanya untuk percaya. Kini ia juga tidak bisa membuktikan apa-apa. Meski begitu, masa depan Kyle yang pernah dilihatnya dulu selalu sama. Talia sangsi kalau masa depan itu bisa berubah dengan mudah sekarang.

“Anggaplah aku mempercayaimu. Kalau memang di masa depan adikku benar-benar akan menghancurkan kerajaan, memangnya apa yang bisa kau lakukan untuk mencegahnya?” Ludwig lantas bertanya.

“Kita. Bukan hanya aku. Tapi kita. Kau juga punya andil hingga membuat Kyle menjadi seperti itu. salah satu pemicunya adalah karena ka uterus-terusan menargetkan orang yang ada di dekat Kyle. Karena itu kau harus berhenti melakukannya. Cara berpikirmu yang konyol itu harus diubah,” tukat Talia serius.

Ludwig hanya mendengkus pelan. “Memangnya hal itu saja cukup? Kyle, anak itu sangat rapuh. Sedikit saja ia terluka, maka kesadarannya langsung diambil alih oleh kegelapan. Sejak awal seharusnya ia memang tidak perlu bergaul dengan siapa pun agar tidak melekatkan perasaannya pada orang lain,” timpal pemuda itu bersikeras.

Talia berdecak keras. Ia benar-benar bisa kehilangan kesabaran menghadapi orang seperti Ludwig. “Kenapa kau keras kepala sekali? Setidaknya kau harus mencoba saranku dulu baru kau bisa menyimpulkan demikian. Dari yang kulihat di masa depan, caramu mendidik Kyle jelas-jelas salah. Aku sendiri sudah menyaksikan hasilnya. Jadi aku bisa menarik kesimpulan berdasarkan fakta yang benar-benar akan terjadi. Bukan sekedar dugaan,” cecar Talia panjang lebar.

“Bukankah masa depan yang kau lihat juga belum pasti terjadi. Lagipula aku juga tidak bisa mempercayaimu begitu saja, sementara kau tidak bisa membuktikan kemampuanmu itu sekarang,” tukas Ludwig tak mau kalah.

Talia menarik napas panjang demi menjaga kesabarannya. Sifat keras kepala Ludwig rasanya benar-benar mirip dengan Kyle. Rupanya mereka memang kakak beradik, sekalipun berbeda ibu.

“Begini saja. Kalau kau mau menuruti permintaanku ini, aku akan mengabulkan permintaanmu juga,” tawar Talia kemudian.

Ludwig justru mendengkus geli. “Kau memang harus menurutiku sejak kau bersumpah di bawah api unggun Perkumpulan Taleodore,” sahutnya cepat.

Talia lantas mendesis kesal. Bujukannya dimentahkan begitu saja oleh Ludwig. “Tidak bisakah kau mendengarkanku sekali ini saja?” pintah gadis itu putus asa.

“Kenapa aku harus melakukannya?” sahut Ludwig tanpa beban.

“Haish! Kau benar-benar orang yang sangat menyebalkan, Ludwig Gothe!” kecam Talia dengan sangat kesal.

Ludwig tertawa ringan. “Aku sudah sering mendengarnya,” ujar pemuda itu menanggapi. Ia tampak menikmati ekspresi Talia yang frustrasi. Reaksi gadis itu entah bagaimana seperti membuat Ludwig terhibur.

“Kau hanya memintaku untuk berhenti mengurusi Kyle?” tanya Ludwig kemudian.

Talia yang sedari tadi sudah mengusap-usap rambutnya dengan kesal kini akhirnya mendongak menatap Ludwig dengan mata penuh harap.

“Akhirnya kita bisa bicara dalam bahasa yang sama,” komentar gadis itu dengan ujung bibir yang terangkat.

Ludwig mendengkus kecil sembari tersenyum simpul. “Kau selalu membuatku melakukan keinginanmu, Talia Ortega,” gumam Ludwig sembari menghela napas.

Talia ikut tersenyum. “Kau benar-benar akan melakukannya?” tanya gadis itu memastikan.

“Memangnya aku bisa menolak kalau kau merengek seperti ini? Meskipun sebenarnya cukup menyenangkan melihatmu kesal seperti itu,” goda Ludwig kemudian.

Talia hanya memicingkan matanya ke arah Ludwig sembari mendesis pelan. “Dasar psikopat,” gumam gadis itu.

Ludwig bergerak mendekat lantas mengusap puncak kepala Talia yang rambutnya sudah berantakan. “Psikopat ini sekarang ada di bawah kendalimu. Apa kau senang?” ucap pemuda itu sembari menatap Talia.

“Harusnya kau menyetujuinya sejak awal. Kita tidak perlu menghabiskan banyak energi untuk cekcok selama itu,” protes Talia kemudian.

Ludwig tersenyum tipis sembari menarik tangannya dari atas kepala Talia. Rambut berantakan gadis itu kini sudah sedikit lebih rapi berkat usapan Ludwig.

“Apa pun yang kulakukan bersamamu memang menghabiskan banyak energi. Meski begitu aku menikmatinya,” ujar Ludwig sembari meregangkan tubuhnya dari kursi.

“Baguslah. Kalau begitu, mulai sekarang kau harus mengikuti semua rencanaku, Ludwig,” timpal Talia berubah serius.

Sontak ekspresi wajah Ludwih berubah heran. “Bukannya kau hanya menyuruhku untuk berhenti mengganggu adikku?” tanyanya bingung.

Talia mengangguk setuju. “Itu salah satunya. Selain itu kita juga harus mencari cara untuk memperbaiki hubungan kalian. Kau bisa mulai dengan minta maaf pada Kyle. Biar bagaimanapun, tindakanmu selama ini memang salah, kan?” tutur gadis itu dengan naïf.

Ludwig memasang ekspresi wajah tak percaya. “Kau … benar-benar tidak ada puasnya,” ujar Ludwig nyaris kehilangan kata-kata

Talia hanya terus memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata gadis itu tampak penuh harap. Ludwig akhirnya hanya bisa berdecih pelan.

“Memangnya anak itu akan langsung menerimaku kalau aku minta maaf. Masalah kami tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf,” ucap Ludwig kemudian.

“Karena itu aku bilang kau harus memulainya dengan kata maaf. Itu baru permulaan. Setelah itu aku akan memikirkan cara agar kalian bisa dekat lagi. Kau tinggal percaya saja padaku. Oke, Lu?” sahut Talia sembari membereskan buku-bukunya. Sudah waktunya bagi gadis itu untuk kembali ke asarama.

Sementara itu Ludwig mengernyitkan dahi dengan kaget. “Kau memanggilku apa?” sergahnya tak percaya.

“Lu. Itu panggilan yang lebih nyaman dari pada Ludwig. Mulai sekarang kau juga bisa memanggil nama depanku dengan nyaman, Lu. Jangan terus-terusan memanggil nama keluargaku. Sekarang kita ada di perahu yang sama,” tukas Talia sembari bangkit berdiri.

“Hei, aku ini masih seniormu. Bagaimana bisa … .”

“Dalam kerjasama, tidak ada senioritas. Sejak kau setuju menjalankan rencana bersamaku, kita sudah setara. Ngomong-ngomong aku harus pergi sekarang. Aku akan menemuimu lagi dalam waktu dekat. Sampai jumpa, kalau begitu,” tutup Talia sembari berlari pergi meninggalkan Ludwig sendirian.

Pemuda itu tampak melongo melihat kepergian Talia yang tidak bisa ia cegah. “Aku bahkan tidak ingat kalau sudah setuju menjalankan rencana anehnya itu,” gumam Ludwig pada dirinya sendiri. 

Sight of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang