Setelah pembicaraan dengan Kyle, Talia pun kembali ke dengan ditemani oleh pemuda tersebut. Talia sudah menceritakan tentang seluruh penglihatannya terkait rencana-rencana Ludwig. Kini Talia mengerti alasan Kyle yang selalu berusaha menjauh dari orang lain. Kakak tirinya itu sepertinya terobsesi untuk menyingkirkan siapa pun yang dekat dengannya. Dan karena Talia sudah terlanjur menjadi target Ludwig selanjutnya, maka Kyle memutuskan untuk tetap bersama gadis itu setiap waktu.
Sesampainya di asrama, Kyle berpesan agar Talia menghindari tempat yang sepi dan sebisa mungkin bersama orang lain saat harus kemana-mana. Talia tentu saja setuju dengan saran Kyle. Ia terus merasa waspada setiap waktu. Bahkan malamnya ia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
“Sebaiknya kita adukan masalah ini pada profesor,” usul Talia esok paginya saat ia dan Kyle sudah berada di kelas.
“Kau pikir para guru tidak tahu siapa pelaku sebenarnya?” sahut Kyle yang berbicara dengan bisikan agar tidak menarik perhatian Profesor Li yang tengah mengajar tentang Teori Sihir Dasar. Talia yang sudah menguasai materi itu sejak lama, merasa tidak perlu terlalu menaruh perhatian pada pelajaran.
“Apa maksudmu? Jadi para guru sudah tahu siapa pelakunya tapi mereka justru menghukum orang-orang yang tidak bersalah?” tanya Talia tidak terima.
“Tidak ada yang berani mengganggu keluargaku. Apa pun yang skandal yang dilakukan Ludwig, sekolah pasti memilih untuk menutupinya karena posisi ayahku yang sangat berkuasa. Bahkan keluarga kerajaan pun tidak akan turun tangan untuk masalah sepele seperti ini.”
“Masalah sepele? Seorang siswa terluka parah sampai keluar dari Akademi. Dan sekarang Ludwig berencana untuk membunuhku,” desis Talia tak habis pikir.
“Kurasa alasan orang tua Leo menarik putra mereka dari Akademi adalah karena tekanan dari keluargaku. Seperti biasa, ibu tiriku bergerak dengan cepat menutupi masalah yang ditimbulkan Ludwig,” terang Kyle sambil mencatat pelajaran.
Talia mendesah kesal. Diletakkannya pena bulu yang sedari tadi dia gunakan untuk berpura-pura menulis. Padahal Talia hanya menggambar coretan-coretan abstrak yang lebih menyerupai mantra kutukan daripada catatan pelajaran.
“Jadi aku harus diam saja padahal nyawaku ada di ujung tanduk?” desah gadis itu putus asa.
Kyle menghentikan aktivitas menulisnya lantas memerhatikan Talia dengan tatapan serius. “Kau tinggal menghindari masa depan yang kau lihat itu. Kapan itu akan terjadi?”
“Itu masalahnya. Aku hanya bisa melihat masa depan, tapi tidak tahu kapan persisnya peristiwa itu akan terjadi. Mungkin hari ini, atau besok, lusa. Bisa juga satu bulan atau bahkan bertahun-tahun mendatang,” ungkap Talia sembari mengingat kelebatan masa depan Kyle yang menjadi jahat. Itu jelas tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Sepertinya begitu.
Kyle terlihat berpikir selama beberapa saat. “Kalau begitu, kita coba saja pancing kejadian itu. Lalu kita menghadapinya bersama, dengan lebih siap,” usul pemuda itu kemudian.
Talia tetap tidak suka ide bahwa dia harus menjadi umpan bagi Dirlagraun. Kenyataan bahwa hewan buas itu jauh lebih kuat darinya membuat Talia bergidik. Ia tidak mungkin bisa mengalahkan seekor Dirlagraun yang memang berniat untuk melumatnya hidup-hidup.
“Kau mungkin selalu meremehkanku. Tapi setidaknya kau harus tahu kalau aku juga seorang Gothe. Aku punya darah ayahku dan meski ibuku hanyalah orang biasa, tapi itu tidak mengurangi bakat sihirku. Aku bisa mengalahkan monster apa pun yang dikirim oleh Ludwig. Terima kasih padanya karena aku sudah terlatih sejak kecil untuk menghadapi monster-monster itu berkat ambisinya untuk membunuhku.
“Jadi kau tidak perlu khawatir. Mengalahkan satu atau dua ekor Dirlagraun bukan hal yang sulit untukku. Karena itulah Ludwig tidak pernah mengincarku lagi,” kata Kyle mencoba meyakinkan.
Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Kyle ucapkan pada Talia. Sepertinya pemuda itu sungguh-sungguh. Meskipun terlihat tak acuh, rupanya Kyle cukup peduli padanya. Akan tetapi kepedulian saja tidak bisa menjamin keselamatan Talia. Ia tidak meragukan kekuatan Kyle, mengingat di masa depan pemuda itu mungkin akan menghancurkan Kerajaan sendirian. Namun Talia tetap merasa rencana Kyle itu terlalu tergopoh-gopoh. Bagaimanapun yang dipertaruhkan di sini adalah nyawa Talia.
“Anggaplah serangan Dirlagraun itu bisa digagalkan. Tapi setelah itu Ludwig mungkin akan membuat rencana-rencana lainnya lagi yang lebih berbahaya. Apalagi kalau dia tahu bahwa kau berusaha melindungiku. Bukannya itu hanya akan memancing ambisinya untuk membunuhku semakin kuat?” sergah Talia dengan pikiran logisnya.
“Kau tinggal membaca masa depannya lagi,” sahut Kyle tanpa beban.
“Tidak semudah itu, Kyle. Perlu momentum yang tepat untuk melihat masa depan tanpa menyentuh orang yang bersangkutan. Itu bukan hal yang bisa kuatur semauku.”
“Kau bisa menyentuhnya saja kalau begitu,” timpal Kyle lagi.
Talia menghela napas lelah. “Sebenarnya kau itu peduli padaku atau tidak?” desah gadis itu tak berdaya.
“Aku mengusulkan hal ini justru karena aku peduli padamu. Kau punya kemampuan yang hebat sebenarnya. Hanya saja nyalimu terlalu kecil untuk memanfaatkan kekuatan itu, Ortega,” komentar Kyle pedas.
“Apa kau bilang?” sergah Talia yang tanpa sadar mengeluarkan suara yang sedikit terlalu keras.
Sayangnya Profesor Li mendengar pekikan Talia tersebut. Sang profesor yang sudah lanjut usia itu lantas melotot menatap Talia dengan tajam. Pena bulunya yang sedari tadi menulis sendiri di papan perkamen segera berhenti bergerak.
“Kau suka sekali membuat masalah, Lady Ortega. Kepandaian memang tidak selalu tegak lurus dengan perilaku yang baik. Kalau kau tidak berniat belajar di sini, sebaiknya keluar saja,” gertak sang profesor dengan galak.
Talia terkesiap dan hanya bisa duduk kaku tanpa menjawab apa-apa. Ia melirik Kyle yang kini kembali berkutat dengan buku catatannya. Anak-anak lain yang ada di kelas sudah menoleh ke arah Talia dengan tatapan prihatin. Bahkan Tina, Clara dan Misa hanya bisa menyemangatinya dalam hati. Tidak ada yang bisa menyelamatkan Talia bila Profesor Li sudah kesal. Beliau terkenal tegas dan galak terutama pada murid perempuan.
“Apa yang kau lakukan di situ, Lady Ortega. Aku sudah menyuruhmu untuk keluar. Apa kau tidak dengar?” kata Profesor Li sekali lagi.
Talia menyenggol siku Kyle diam-diam. Ia tidak terima karena hanya dirinya yang kena omel. Padahal Kyle bicara lebih banyak, tapi Profesor Li sama sekali tidak menyebut nama pemuda itu.
“Sudah kubilang, Ortega. Aku juga adalah putra Duke Gothe,” bisik Kyle yang langsung memahami suara hati Talia yang memprotes.
“Apakah aku harus menggunakan cara kasar, Lady Ortega?” gertak Profesor Li untuk terakhir kalinya.
“Tidak perlu, Profesor. Saya bisa berjalan keluar sendiri,” ucap Talia cepat-cepat. Ia tidak ingin mempermalukan diri lagi dengan membiarkan tubuhnya diterbangkan keluar kelas oleh Profesor Li.
Dengan gontai, Talia pun membereskan mejanya lantas berjalan keluar kelas dan berdiri di depan jendela. Semua siswa yang ada di sana menatapnya dengan beragam ekspresi. Ada yang merasa kasihan, tetapi tidak sedikit yang terang-terangan menertawakannya. Talia sekali lagi melirik tajam ke arah Kyle sebelum benar-benar melewati pintu keluar. Sepertinya dia memang tidak cocok dengan putra-putra keluarga Gothe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sight of Future
FantasiNomor Peserta : 088 Tema yang diambil : Campus Universe Blurp Talia Ortega, siswi baru di Akademi Sihir Ramona, Kerajaan Barat, adalah seorang oracle dengan kemampuan melihat masa depan seseorang yang disentuhnya. Saat upacara penerimaan siswa baru...