53. Pengakuan

22 7 0
                                    

Setelah kejadian di ruang kesehatan itu, sikap Kyle berubah lagi. Ia kembali ke sifatnya sebelumnya: dingin dan berjarak. Meski mereka berempat masih makan bersama – Talia, Kyle, Susan dan Leo – tetapi Kyle sekarang menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Pemuda itu bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun seharian.

Sebenarnya sedari awal tujuan Talia memang bukan untuk bertemn dengan Kyle. Dan sikap Kyle yang sekarang justru mendukung keputusan tersebut. Akan tetapi, karena mereka sudah sempat dekat beberapa hari yang lalu, keadaan tersebut justru berubah menjadi canggung. Talia sepertinya bisa mati tercekik kalau seharian harus berhadapan dengan Kyle yang mendiamkannya sekaligus mengawasi dengan penuh kecurigaan.

“Tidak bisa begini. Aku harus mengambil sikap,” gumam Talia saat pelajaran sedang berlangsung. Ia lantas melirik Kyle yang mengabaikannya.

Teman sebangkunya itu terlihat sibuk mencatat pelajaran dengan tulisan yang rapi. Namun kemudian, ketika Talia tidak memperhatikannya lagi, mendadak bulu kuduk Talia meremang, seolah ada yang sedang menatapnya dengan tajam hingga nyaris membuat kepalanya berlubang. Seperti itulah sikap Kyle beberapa hari setelah Talia terkena flu.

Talia sebenarnya ingin balas mengabaikan Kyle. Namun ada rasa bersalah yang menelusup dalam hati gadis itu, membuatnya merasa semakin tidak nyaman berada di dekat Kyle. Padahal kondisi tersebut sama sekali tidak bisa dia cegah. Lebih dari itu, insiden penyerangan Leo juga semakin dekat. Talia harus mempersiapkan diri untuk menyelamatkan temannya itu.

Pada akhirnya, karena sudah tidak tahan lagi, Talia pun menyeret Kyle setelah jam pelajaran usai. Awalnya Kyle menolak dan menepis tangan Talia beberapa kali. Namun Talia tidak menyerah.

“Kita harus bicara, Kyle. Aku berjanji kali ini aku akan menceritakan semuanya,” bujuk Talia dengan senjata terakhirnya: kejujuran.

Akhirnya Kyle pun terbujuk. Ia menurut saja saat Talia menggandengnya pergi ke sudut kastil Akademi yang sepi.

“Jadi bisakah kau berhenti bersikap aneh terhadapku, Kyle,” ucap Talia memulai percakapan.

“Bagaimana mungkin aku bisa tetap tenang setelah kejadian kemarin? Benda-benda itu mengonfirmasi kedekatanmu dengan Ludwig. Kau … apa sebenarnya yang kalian rencanakan?” jawab Kyle tampak frustrasi.

“Tidak ada, Kyle. Tidak ada. Kalau kau memang sebenci itu, kenapa kau tidak benar-benar mengabaikanku saja? Kenapa kau malah terus mengikutiku dan bersikap menyebalkan?” sergah Talia.

“Menye .. .” Kyle tidak melanjutkan kata-katanya karena terlalu kesal.

“Sejak awal kita memang tidak berteman. Kau sendiri yang terus mendekatiku dengan alasan tidak masuk akal. Sekarang tiba-tiba kau marah karena berpikir yang tidak-tidak. Sebenarnya apa pedulimu kalau aku dekat dengan orang lain?” Talia terus mengomel dan meluapkan isi hatinya.

“Sialan!” pekik Kyle tiba-tiba, mengejutkan Talia hingga berhenti bicara. “Kau pikir aku mau merasa menderita seperti ini. Kau bilang kau tidak meracuniku, atau memantraiku, tapi kenapa aku terus memikirkanmu? Kenapa aku selalu khawatir akan kehilanganmu kalau sebentar saja aku lalai? Talia Ortega, apa kau tahu betapa menyiksanya perasaan aneh itu? Kita baru bertemu tapi kenapa perasaan ini muncul? Bahkan pikiranku sendiri pun tidak bisa memahami kenapa aku menjadi begitu bergantung padamu,” ucap Kyle frustrasi.

Pemuda itu lantas berjongkok di tanah dan menutup wajahnya dengan lengan. “Sial! Ini benar-benar memalukan!” rutuknya sembari menundukkan wajahnya di atas lutut.

Sementara itu Talia hanya bisa membeku. Selama beberapa saat gadis itu tertegun dengan pengakuan Kyle barusan. Ia tidak tahu bahwa ternyata ikatan Kyle dengan kehidupan masa lalu mereka sudah sekuat itu.

Gadis itu lantas menunduk mengamati punggung Kyle yang membungkuk sedih. Talia ikut sedih. Rasa pilu merayapi hatinya. Mengingat kenangannya bersama Kyle di keidupan yang lalu saja sudah terasa menyakitkan untuk Talia. Latas bagaimana dengan Kyle yang sudah menanggung beban perasaan itu tanpa bisa mengat apa-apa.

Talia pun lantas berlutut di hadapan Kyle lalu meraih tangannya. Ia menggenggam tangan Kyle erat-erat dan mencoba menghiburnya. Akan tetapi kata-kata tidak bisa keluar dari mulut Talia. Alih-alih ia ingin memeluk tubuh Kyle yang tengah meringkuk putus asa itu. Pelukan yang tidak pernah bisa Talia lakukan di kehidupan sebelumnya.

Maka, tanpa berpikir lagi, Talia pun merengkuh tubuh Kyle ke dalam pelukannya. Aroma tubuh Kyle yang harum menyapa penciuman Talia. Hangat tubuh pemuda itu mengalir ke seluruh tubuh Talia melalui sentuhan. Ternyata sebuah pelukan itu terasa sangat nyaman.

Di sisi lain, Kyle langsung terkejut ketika Talia tiba-tiba memeluknya. Napas hangat gadis itu mengenai tengkuknya, membuat Kyle merasa aneh. Rasa geli yang menggelitik. Meski begitu Kyle tidak membencinya. Alih-alih ia merasa sangat lega ketika Talia memberinya sebuah pelukan.

“Maafkan aku, Kyle, karena sudah membuatmu menderita seperti ini. Kupikir dengan menjaga jarak, aku bisa menyelamatkanmu. Tapi rupanya aku justru melukaimu. Maaf, Kyle,” ucap Talia sembari menitikkan air matanya. Hati Talia kelu. Ia ingin menghibur Kyle, tetapi ia sendiri merasa begitu kesepian.

Kyle pun akhirnya membalas pelukan Talia.”Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanyanya kemudian.

“Aku akan menceritakan semuanya dengan jujur, Kyle,” kata Talia membulatkan tekat.

Setelah sudah lebih tenang, Talia pun memulai kisahnya. Ia mengawalinya dengan pertemuan mereka yang tidak disengaja saat hendak mengikuti upacara penerimaan siswa baru. Dari sana Talia melanjutkan kisahnya tentang kemampuannya melihat masa depan, semuanya dia ceritakan tanpa ditutup-tutupi lagi.

Talia sudah tidak peduli apakah Kyle akan mempercayai ceritanya itu atau tidak. Talia hanya tidak ingin menyembunyikan sesuatu lagi. Ia butuh teman untuk berbagi.

“Jadi kita sebenarnya berteman dekat, kau diincar Ludwig hingga nyaris mati. Tapi akhrnya kau mati dibunuh naga dan kembali ke masa saat kita pertama bertemu?” ringkas Kyle dalam dua kalimat.

“Ya, benar. dan kekuatanku untuk melihat masa depan pun hilang begitu saja,” tambah Talia.

“Lalu sekarang kau justru menjadi junio Ludwig di Perkumpulan?”

Talia mengangguk pelan. Bagian tersebut terlalu sensitive untuk dibahas, mengingat betapa saling membencinya kakak adik Gothe itu.

“Tapi kenapa? Dari semua orang di akademi ini, kenapa dia harus tertarik padamu?” sergah Kyle tidak terima.

Ia kemudian melepaskan pelukannya lalu menatap Talia lekat-lekat. “Kau benar-benar tidak berbonong?” lanjut Kyle bertanya.

Talia mengangguk sekali lagi. Kyle lantas memeluk Talia kembali dengan erat. “Jadi karena itu aku begitu terganggu dengan kehadiranmu? Aku senang karena ternyata kita memang dekat sejak dulu. Mulai sekarang aku akan melindungimu lebih baik lagi,” ucap Kyle lega.

Air mata Talia tidak bisa terbendung lagi. Gadis itu mulai menangis dalam pelukan Kyle. Semua beban rahasianya akhirnya bisa dia lepaskan. Talia merasa begitu ringan sekarang, meski air mata masih terus mengalir di wajahnya dengan deras.

“Terima kasih sudah mempercayaiku, Kyle,” ungkap Talia penuh syukur. 

Sight of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang