“Itu … hanya … karena aku membencimu. Aku sedang mengutukmu dengan tulisan. Gara-gara kau sekarang aku menjadi target Ludwig,” ujar Talia lagi-lagi melontarkan alasan konyol.
Kyle menarik napas panjang, tampak begitu bersalah. “Maafkan aku soal hal tersebut. Kau pasti merasa tidak nyaman. Aku akan bertanggung jawab karena sudah membuatmu kesulitan.”
Sejenak Talia tercekat dan kehilangan kata-kata. Ia tidak menduga kalau Kyle yang biasanya bersikap arogan, kini tiba-tiba menjadi begitu lembut di depannya.
“Bukan. Itu bukan salahmu. Maaf karena aku bicara sembarangan,” ujar Talia yang juga merasa bersalah.
Kyle tersenyum tipis menanggapi. “Kudengar kau tidak mengundurkan diri,” kata pemuda itu mengalihkan pembicaraan.
“Ayahku meyakinkan pihak Akademi. Tapi sepertinya mereka akan mengawasiku lebih ketat setelah ini. Kita harus tahu rencana Ludwig selanjutnya,” sahut Talia.
“Apa kau sudah punya ide untuk melihat masa depannya lagi?”
“Entahlah. Masih kupikirkan. Rasanya hidupku seperti cangkang telur di ujung tanduk. Bisa hancur kapan saja,” keluh Talia putus asa.
Kyle tiba-tiba mengusap kepala Talia dengan lembut. “Tenang saja. Aku akan melindungimu,” hibur pemuda itu dengan senyuman hangat.
Sontak Talia mengernyitkan dahi keheranan. Ia menatap pemuda itu sambil memastikan kalau pandangan dan pendengarannya tidak salah.
“Kenapa mendadak kau bersikap manis padaku?” tanya Talia curiga.
“Kau tidak suka?” Kyle balas bertanya.
“Bukan begitu. Aku hanya tidak terbiasa.”
Kyle menghela napas pendek. “Kau satu-satunya temanku sekarang. Tentu saja aku harus memperlakukanmu dengan baik,” jawabnya kemudian.
Talia tertegun selama beberapa saat. Kyle terlihat tulus mengatakannya. Hati Talia kembali tergerak. Bagaimana mungkin anak seperti Kyle bisa berubah menjadi penjahat yang membunuh banyak orang?
Lima hari berlalu sejak insiden penyerangan Dirlagraun terhadap Talia. Berhubung makhluk buas itu sudah berhasil dibunuh oleh Kyle, maka kewaspadaan para murid pun menurun. Mereka tidak lagi dipenuhi ketakutan setiap kali harus berjalan-jalan di sekitar Akademi. Meski begitu, bayang-bayang kejadian penyerangan itu terkadang masih menghantui Talia. Sudah dua malam gadis itu bermimpi buruk. Ia selalu terlihat lemas saat berangkat sekolah.
Akan tetapi Kyle menepati janjinya. Setiap pagi ia menjemput Talia di depan asrama putri. Seharian pemuda itu akan selalu menempel pada Talia bahkan menungguinya saat ke toilet. Lalu Kye juga akan mengantarnya kembali ke asrama setelah makan malam.
Rutinitas itu membuat rumor kedekatan mereka merebak di Akademi. Talia dan Kyle selalu mendapat tatapan penasaran dari anak-anak lain kemana pun mereka pergi. Talia tidak terbiasa dengan perhatian semacam itu. Kyle juga terlihat tidak nyaman. Namun mereka berdua menahannya demi keamanan Talia.
Beberapa kali gadis itu melihat Ludwig dan teman-temannya dari Departemen Beast Tamer. Mereka berpapasan, dan Ludwig hanya tersenyum dari kejauhan. Kyle mengepalkan tangannya dengan kesal setiap kali matanya bertemu dengan sosok kakak tirinya tersebut. Kedua bersaudara Gothe itu jelas tampak tidak akur.
“Rasanya tidak nyaman setiap kali melihat Ludwig. Apa mungkin dia tahu kalau kita memainkan scenario di belakangnya?” tanya Talia saat jam makan siang. Ia dan Kyle duduk di sudut ruagan. Hanya berdua, karena tidak ada anak yang cukup berani duduk di dekat Kyle.
“Kurasa tidak. Ludwig pasti berpikir kalau kejadian itu hanya kebetulan,” jawab Kyle sambil menyodok pie buah berrynya.
“Begitukah? Tapi rasanya aku tetap tidak bisa tenang sebelum memastikan apakah dia akan berulah lagi atau tidak.”
Kyle memotong pienya dalam ukuran sekali suap lantas mengulurkannya kepada Talia. “Makanlah dulu. Kau sepertinya perlu banyak makan makanan manis. Lihat kantung matamu. Jangan terlalu cemas dan perhatikan kesehatanmu juga.”
Talia menerima suapan pie dari Kyle dengan mulutnya. “Sudah dua malam aku bermimpi buruk. Jam tidurku berkurang gara-gara itu,” ujar gadis itu sembari mengunyah.
“Apa perlu kucarikan ramuan tidur agar kau bisa beristirahat dengan nyenyak?” tawar Kyle sembari menyuapi Talia lagi.
Gadis itu menggeleng sambil menerima suapan Kyle. “Tidak perlu. Mungkin kau benar. Aku cuma terlalu stress dan perlu makan makanan manis,” sahutnya dengan mulut penuh. “Ngomong-ngomong kenapa akhir-akhir ini kau selalu menyuapiku makanan?”
Kyle tertawa geli. “Kau baru sadar setelah menghabiskan sepotong pie?”
“Berhenti memberiku makan. Aku bisa makan sendiri,” protes Talia kesal.
Kyle hanya tertawa menanggapi lantas berhenti menyuapi Talia. Tak berapa lama kemudian seorang anak perempuan mendatangi mereka dan duduk di hadapan Talia serta Kyle sambil membawa senampan makan siangnya sendiri. Talia dan Kyle sontak terpaku karena kejadian langka itu kini menghampiri mereka.
“Selamat siang pasangan paling fenomenal minggu ini. Apa kalian menikmati makan siang kalian?” tanya anak berambut merah dan kacamata tebal itu.
“Susan?” desah Talia lalu menghela napas lelah.
“Halo Talia, temanku. Beberapa hari ini aku sibuk mencari berita, jadi tidak bisa makan siang bersamamu. Hari ini aku tidak terlalu sibuk,” ujar Susan riang.
Talia kembali mengingat kejadian beberapa waktu lalu di gedung kesehatan. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menghela napas lelah karena sikap konyolnya yang justru mengajak Susan Muela menjadi temannya.
“Menyingkir, Muela. Berhenti mengganggu Talia dengan sihir anehmu itu,” gertak Kyle tampak terganggu.
“Aku tidak mengganggunya, Gothe. Kami sudah berteman sejak lima hari yang lalu. Bukan begitu, Talia?” sahut Susan memastikan.
Talia hanya bisa meringis canggung. “Biarkan saja Kyle,” gumamnya pada Kyle.
Kyle masih menggerutu, tetapi akhirnya menuruti ucapan Talia.
“Apa kau mendatangi kami untuk melakukan wawancara, Susan?” tanya Talia hati-hati.
Susan menggeleng pelan sambil mengunyah bacon. “Tidak. Sihir manipulasiku tidak bisa bekerja kalau aku mengajak bicara terlalu banyak orang. Untuk bisa mendapat hasil wawancara yang memuaskan, aku harus bicara empat mata dengan narasumberku. Tidak ada yang boleh mengganggu,” terang Susan.
“O, oh … begitu. Tapi kenapa kau menceritakan hal itu kepadaku?” tanya Talia tak yakin.
Susan tersenyum lebar sekali sambil menatap Talia. “Tentu saja karena kita ini teman,” ujar gadis itu terus terang.
Kyle berdecih kesal di sebelah Talia. “Apa kau kesepian? Kita bahkan berada di tingkat yang berbeda tapi kenapa kau harus berteman dengan Talia? Cari teman-teman dari angkatanmu sendiri, Muela,” ujar pemuda itu ketus.
Susan melirik Kyle dengan ekspresi tak kalah kesal. “Bercermin saja, Gothe. Kau sendiri justru membuat Talia terluka gara-gara pertengkaran saudara dengan kakak tirimu,” balas Susan tajam.
Kyle mengepalkan tangannya menahan amarah. Sementara Susan pun melotot tak mau kalah. Situasi Talia benar-benar tidak nyaman. Padahal dia hanya ingin makan siang dengan tenang.
“Cukup. Tolong jangan bertengkar. Bisakah kita makan siang dengan tenang,” kata Talia kemudian.
Kyle dan Susan pun akhirnya berhenti adu urat. Keduanya berdecih pendek dan menolak untuk saling bicara sepanjang jam makan siang. Entah bagaimana Talia kini harus terjebak di antara dua anak paling dihindari di Akademi. Hari-harinya di masa depan mungkin akan lebih rumit daripada yang dibayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sight of Future
FantasyNomor Peserta : 088 Tema yang diambil : Campus Universe Blurp Talia Ortega, siswi baru di Akademi Sihir Ramona, Kerajaan Barat, adalah seorang oracle dengan kemampuan melihat masa depan seseorang yang disentuhnya. Saat upacara penerimaan siswa baru...