62. Bayaran

22 6 0
                                    

Sesuai janjinya, Talia tidak lagi mengungkit-ungkit masalah Ludwig lagi di depan Kyle. Mereka pun menjalani hari-hari yang lebih tenang daripada sebelumnya. Meski begitu, Talia harus berusaha keras untuk menekan rasa penasarannya yang mengganjal selama ini mengenai hubungan Kyle dan Ludwig. Entah kenapa ia merasa bahwa kerumitan hubungan kakak beradik itulah yang merupakan sumber masalah sebenarnya.

Akan tetapi ia sudah belajar dari pengalaman bahwa selama ini keinginannya untuk ikut campur biasanya malah menyeret lebih banyak masalah. Karena itu Talia berusaha tetap tenang dan tidak membiarkan rasa penasaran menguasainya.

Sayangnya, ketenangan sama sekali tidak ada dalam kamus hidup Talia. Hanya berselang beberapa hari setelah tragedi pertarungan dengan salamander api, kini Talia harus kembali berhadapan dengan Ludwig yang mengiriminya pesan melalui Pterotos.

Gadis itu baru saja kembali ke asramanya ketika seekor ular bersayap kembali menelusup masuk melalui celah di atas jendela kamarnya. Akhir-akhir ini Talia sudah bisa mengatasi rasa takutnya pada makhluk tersebut. Alih-alih, ia justru merasa kasihan karena hewan buas itu bolak-balik dimanfaatkan oleh Ludwig sebagai pengantar pesan.

Sang Pterotos melayang pelan menuju meja belajar Talia ketika gadis itu baru saja selesai mandi. Mata mereka bertatapan selama beberapa saat dan Talia menyadari kesedihan dalam mata ular kecil tersebut. Rasa iba pun muncul di hati gadis itu.

“Apa kau lelah dengan pekerjaanmu ular kecil?” tanyanya sembari berjalan mendekat tanpa rasa takut. Dengan jari-jarinya, Talia mencoba menyentuh puncak kepala sang ular. Rupanya Pterotos itu pun tidak mencoba mengelak atau pun marah. Ular itu justru terlihat nyaman ketika Talia mengusap kepalanya.

“Setelah dipikir-pikir kau rupanya cukup menggemaskan. Kalau saja kau tidak bersisik logam, atau mengeluarkan bisa mematikan. Dan air senimu itu menimbulkan penyakit yang merepotkan,” keluh Talia yang entah sedang berusaha memuji atau menghina makhluk tersebut. Kini jari-jari Talia mulai mengelus sayap reptil yang tidak berbulu.

Sang pterotos nampaknya memahami kata-kata Talia dan hanya mendesis pelan dengan kesal lalu berbalik pergi dan terbang melalui celah jendelanya.

“Wah, dia sangat mudah tersinggung,” gumam Talia sembari mengamati kepergian pterotos.

Talia akhirnya meraih surat Ludwig yang bersegel merah, seperti biasa. Dalam hati kecilnya, gadis itu memang berharap untuk bisa menemui Ludwig lagi. Ia ingin memastikan hubungan Ludwig dengan Kyle yang sebenarnya. Talia punya dugaan yang sedikit mengejutkan yang mungkin bisa menjadi solusi atas permasalahan mereka berdua selama ini. Karena itu, ia merasa cukup senang menerima surat Ludwig hari itu. Sungguh perasaan yang langka.

Akan tetapi, di dalam amplop coklat itu rupanya tidak ada surat sama sekali. Alih-alih, sebuah batu Kristal merah kecil menggelinding jatuh ke atas meja belajar Talia. Dengan heran gadis itu pun meraih batu yang terlihat familiar itu tanpa rasa curiga.

“Apa i– .” Kalimat Talia bahkan belum selesai ketika mendadak tubuhnya tersedot dalam pusaran sihir. Ia merasa seperti berputar-putar dengan sangat cepat hingga perutnya mual.

Beberapa detik kemudian kakinya kembali menginjak lantai kayu yang mengkilap sembari masih mengenakan piyama tidur bergambar labu.

“Pakaian yang menarik,” komentar sebuah suara yang terdengar akrab.

Talia buru-buru mendongak dan mendapati Ludwig duduk dengan santai di sofa panjang yang mewah. Dengan cepat Talia pun menyisir keadaan dan langsung mengenali tempat itu sebagai kamar pribadi milik Ludwig. Ia pernah berada di kamar mewah itu pada saat melihat masa depan Kyle di kehidupannya yang lalu.

Meski begitu ia tetap merasa kesal karena Ludwig lagi-lagi menggunakan Kristal teleportasi untuk membawanya secara paksa. “Tidak bisakah kau memberi tahuku lebih dulu kalau akan mengirim benda semacam itu?” protes Talia dengan tangan terlipat.

Ludwig hanya tertawa kecil. “Aku tidak bisa menemuimu di hutan terlarang. Tubuhku sekarang mudah kelelahan akibat serangan salamander tempo hari. Sesekali aku merasa seperti organ dalamku terbakar,” ucap pemuda itu.

Talia langsung berubah cemas. Gadis itu pun segera berjalan ke arah Ludwig dan duduk di sebelahnya. “Apa kau masih kesakitan? Apa aku perlu menyembuhkanmu lagi?” tanyanya sembari meraba seluruh tubuh Ludwig demi merasakan rasa panas membakar yang mungkin dirasakan pemuda itu.

Ludwig hanya mendengkus geli sembari menghentikan gerakan tangan Talia yang terus menggerayanginya. “Jangan menyentuhku seperti itu. Kau membuatku geli,” ucapnya dengan jemari menggenggam kedua pergelangan tangan Talia.

Mereka pun bertatapan sejenak. “Oh, maaf,” ujar Talia kemudian melepaskan diri dari genggaman Ludwig. “Kalau bukan karena itu, lantas kenapa kau memanggilku?”

Ludwig menyeringai sekilas lalu menuangkan dua gelas anggur untuk mereka berdua. “Tentu saja untuk mendapat bayaran darimu,” sahut pemuda tersebut sembari mengulurkan gelas berisi anggur.

Talia melirik ke dalam gelas itu dan aroma alkohol samar-samar tercium dari minuman tersebut. “Memangnya kita boleh minum minuman seperti ini di Akademi?” tanya gadis itu polos.

Ludwig menghela napas pelan dan menatap Talia dengan lelah. “Kau selalu punya cara aneh dalam melihat sebuah situasi,” komentar pemuda itu sembari menggoyang-goyangkan gelas yang dia ulurkan pada Talia. Seketika aroma alkoholnya sirna dan warna menuman itu pun menjadi lebih pekat.

“Kau mengubahnya menjadi jus anggur. Apa ini minuman buatan seorang Alkemis. Pasti harganya mahal sekali,” ujar Talia yang dengan bersemangat langsung menerima gelas minuman itu.

Ludwig kembali menarik napas panjang dengan sabar. “Apa itu penting sekarang? Aku sedang membicarakan tentang bayaran atas jerih payahku melatihmu kemarin. Kau tidak ingin tahu tentang itu?” sergahnya serius.

Talia hanya meringis kecil menanggapi. “Maafkan aku. Semua barangmu sangat berkualitas, jadi aku merasa sedikit kagum,” kilah gadis itu setelah mencicipi jus anggurnya yang nikmat.

Ludwig akhirnya tersenyum simpul sembari mengamati Talia yang dengan santai meminum anggur pemberiannya. “Kau sudah tidak membenciku? Atau takut padaku? Sikapmu hari ini benar-benar aneh. Aku tidak terbiasa melihatmu begitu santai saat ada di dekatku. Apa kau tidak takut kalau aku akan meracunimu?” tanya Ludwig kemudian.

Talia melirik sekilas ke arah Ludwig. “Kau terikat sumpah untuk melindungiku. Bagaimana mungkin kau bisa mencelakaiku. Dan setelah apa yang kau lakukan kemarin, mempertaruhkan nyawamu untuk melindungiku … terima kasih, Ludwig,” ucap Talia sembari menatap Ludwig dengan sungguh-sungguh.

Ludwig tertegun sejenak. Seulas senyum lantas terkembang di wajahnya. “Bagus kau tahu sekarang,” komentarnya dengan ekspresi yang lembut.

“Jadi apa bayaran yang harus kuberikan padamu?” tanya Talia kemudian.

“Akhirnya kau peduli juga soal itu,” sahut Ludwig lega. “Tidak sulit. Aku hanya ingin kau menjauhi adikku,” lanjutnya ringan.

Kini giliran Talia yang tertegun. “Kenapa kau tidak ingin aku dekat dengan Kyle? Apa kau … menyukaiku?” tanya gadis itu.

Sight of FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang