Pim melewati mereka berdua begitu saja. Talia dan Kyle menempel rapat ke tembok agar faun itu tidak menyadari keberadaan mereka berdua. Akhirnya, setelah sosok Pim menghilang sempurna di balik tikungan, Talia pun melepaskan sihir kristalnya.
“Kau ternyata punya Kristal menghilang.” Kyle berkomentar.
“Ayahku memberikannya saat datang kemari,” sahut Talia lemah. Energinya benar-benar terkuras. Dalam sehari dia melakukan perjalanan masa depan sebanyak tiga kali. Tubuhnya terasa sangat lemas sekarang, kakinya seolah berubah menjadi jelly yang sangat lembek.
Kyle dengan sigap menangkap tubuh Talia yang sudah hampir merosot ke lantai. Beruntung gadis itu belum melepaskan pelukannya dari lengan Kyle. Ia tidak perlu melihat visualisasi masa depan lagi.
“Apa kau baik-baik saja? Apa sebaiknya kita pergi ke ruang kesehatan saja?” tanya Kyle khawatir.
Talia menggeleng pelan. “Aku tidak apa-apa. Hanya lelah. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan ke tempat yang kau bilang itu.”
Karena Talia bersikeras, akhirnya Kyle pun menurut. Mereka kembali berjalan menuju gedung Departemen Alkimia. Kyle memapah Talia dengan hati-hati. Untungnya sisa perjalanan mereka sejauh ini cukup lancar.
Gedung Alkimia memiliki corak dan suasana yang berbeda daripada Departemen Enchanter. Gedung itu dibangun menyerupai kastil batu tua yang misterius. Ada banyak ruangan bawah tanah atau bahkan menara-menara tempat para alkemis melakukan percobaan. Tempat itu sangat sepi, berbeda dengan ruang-ruang kelas Departemen Enchanteryang selalu ramai. Alih-alih lampu Kristal, para alkemis ini justru menggunakan obor sebagai penerangan. Koridor dengan lantai dan dinding batu ditemukan hampir di semua tempat.
Talia dan Kyle menyusuri koridor demi koridor, menuruni tangga batu yang sedikit lembab, hingga akhirnya sampai di sebuah persimpangan tiga arah. Kyle berhenti tepat di titik pusat persimpangan. Pemuda itu lantas menaruh tangannya salah satu sisi dinding batu lembab tersebut. seketika, sebuah pola sihir menyala redup dengan cahaya biru yang samar-samar.
“Ini, lingkaran transmutasi?” Talia menggumam takjub.
Selama ini ia hanya pernah melihat pola sihir semacam itu dari buku-buku saja. Ayahnya memang seorang alkemis, tetapi ia tidak memiliki bakat alkimia sama sekali. Talia perah mencoba membuat salah satu lingkaran transmutasi untuk melakukan pemanggilan spirit. Namun, pola sihirnya itu sama sekali tidak bereaksi.
“Leo yang memberitahuku tentang ruangan rahasia ini. Katanya seorang senior Alkemislah yang membuat ruangan ini untuk digunakan sebagai tempat melakukan percobaan terlarang.” Kyle menjelaskan sambil masih berusaha mengalirkan energi sihirnya melalui telapak tangan. Cahaya dari lingkaran transmutasi itu semakin terang.
“Orang itu pasti sangat berbakat. Membuat pola sihir serumit ini, hingga menghasilkan sebuah ruangan rahasia sama sekali tidak mudah,” komentar Talia yang sudah sejak lama memupuskan harapan menjadi seorang alkemis.
Tak berapa lama kemudian, dinding batu di hadapan mereka bergetar pelan. Debu dan batu-batu kecil berjatuhan dari atas karena getaran tersebut. Kyle melepaskan telapak tangannya dari lingkaran transmutasi, lalu membiarkan dinding batu tersebut bergeser ke samping secara perlahan. Sebuah pintu!
“Tidak semua orang bisa membuka pintu ini. Hanya energi sihir yang sudah dikenali yang bisa membukanya. Leo memasukkan esensi sihirku ke dalam lingkaran transmutasi, dan itu menjadi semacam kunci untuk membuka pintu ini,” terang Kyle sembari mempersilakan Talia masuk ke dalam.
Sebuah ruangan sebesar ruang kelas menyambut mereka berdua. Ruangan tersebut dipenuhi meja-meja dengan beragam peralatan alkemis yang sangat lengkap. Tungku batu, kuali besi, bahkan hingga gelas ukur dan Kristal-kristal sihir. Ruangan itu sudah mirip dengan ruang kerja ayah Talia di rumah.
Pintu batu di belakang mereka menutup secara perlahan. Getarannya kembali membuat debu dan kerikil kecil-kecil berjatuhan. Ruangan itu serupa gua bawah tanah dengan dua corong pipa besar menempel di langit-langit sebagai alat sirkulasi udara.
Kyle menjentikkan jarinya. Sejurus kemudian percikan api biru muncul dari ujung tangannya. Dengan cekatan pemuda itu melemparkan lidah-lidah api kecil ke enam penjuru ruangan. Obor-obor di sepenjuru ruangan tersebut pun seketika menyala berkobar-kobar menerangi seluruh pandangan.
“Duduk dan beristirahatlah dulu. Kau tampak kacau,” usul Kyle sembari memapah Talia di sofa kecil bersandaran empuk
Talia menurut. Gadis itu pun merebahkan punggungnya yang lemas di sandaran sofa itu. Tulang-tulangnya serasa berubah menjadi marshmallow, lembek dan tak kuat menopang berat tubuhnya.
“Kyle, bisakah kau berjanji padaku?” ujar Talia yang sudah bergelung nyaman di sofa warna merah marun.
“Apa?” tanya Kyle yang lantas duduk di hadapan Talia, menatap gadis itu dengan serius.
“Jangan coba-coba memprovokasi Ludwig.”
“Apa itu yang kau lihat barusan?”
Talia mengangguk singkat. “Dalam penglihatanku itu, kau menyerang Ludwig di kamarnya. Tapi Ludwig sepertinya belum mengirimpterotos padaku. Dia bilang saat itu adalah tiga hari sejak aku menyentuhnya. Itu artinya tiga hari dari sekarang, Ludwig belum menjalankan rencananya,” terang Talia panjang lebar.
“Kalau begitu, artinya aku masih punya waktu untuk memberi dia pelajaran,” geram Kyle dengan mata berkilat-kilat.
“Sudah kubilang untuk tidak memprovokasinya. Kalau kau melakukan itu, Ludwig akan curiga karena kau seperti bisa mengetahui rencananya. Itu akan membawanya pada peristiwa saat … eh, aku menyentuhnya secara tidak sengaja,” gumam Talia salah tingkah. Ia belum menceritakan secara rinci bagaimana cara gadis itu menyentuh Ludwig.
“Hal itu tidak akan membuatnya langsung berpikir kalau kau punya kemampuan istimewa,” sergah Kyle berkilah.
“Aku tidak ingin masalah semakin besar Kyle. Satu-satunya jalan adalah untuk melatih kemampuanku menghadapi hewan buas itu,” tekan Talia keras kepala.
Kyle menarik napas panjang dengan lelah. “Aku juga tidak berpikir kalau itu adalah tindakan yang aman dilakukan,” gumamnya sembari menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Dan sekarang kau sudah kelelahan karena terlalu banyak bersentuhan dengan orang lain. Apa tidak ada cara untuk mengatasinya?”
Talia mendesah murung. “Besok akan kucoba memakai sarung tangan. Tapi pasti akan sangat mencolok,” keluhnya.
“Itu lebih baik daripada terus-terusan melihat masa depan orang lain sampai energi sihirmu terkuras habis begitu.”
“Kau benar. Kurasa kita tidak bisa memulai latihannya hari ini. Setidaknya masih ada waktu tiga hari untukku melakukan latihan.” Talia mencoba memikirkan kalau dia berlatih sendirian di kamar asramanya. Namun, dengan kemampuan pengendalian apinya yang belum stabil, ia mungkin bisa membakar separuh isi kamarnya sebelum matahari terbit. Talia membutuhkan seseorang untuk melatihnya.
“Jadi kau mau membolos kelas selama tiga hari penuh? Ptofesor Theia jelas akan memberi kita hukuman berat. Mungkin mencabuti akar tanaman Mandragona, sebuah tanaman yang selalu berteriak setiap disentuh.
“Kita bisa melakukannya saat jam istirahat dan setelah selesai jam pelajaran,” sahut Talia kemudian.
“Dan kau akan melewatkan makan siang? Makan malam? Tidakkah waktunya terlalu pendek untuk mencoba menguasai elemen api?” cecar Kyle terus-terusan cemas.
“Percaya saja pada kemampuanku, Kyle,” timpal Talia meski dia sendiri sebenarnya juga ragu. Akan tetapi, saat ini hanya itu ide yang terlintas di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sight of Future
FantasyNomor Peserta : 088 Tema yang diambil : Campus Universe Blurp Talia Ortega, siswi baru di Akademi Sihir Ramona, Kerajaan Barat, adalah seorang oracle dengan kemampuan melihat masa depan seseorang yang disentuhnya. Saat upacara penerimaan siswa baru...