Malam pun tiba. Susan memutuskan untuk menginap di kamar Talia. Mereka berdua berjaga-jaga sampai larut malam. Talia tidak bisa tidur karena gelisah. Ini kali keduanya harus berhadapan dengan seekor hewan buas setelah pernah diterkam dirlagraun. Pengalaman tersebut sama sekali tidak menyenangkan.
Susan menghibur Talia dengan mengajaknya mengobrol tentang banyak hal. Talia bahkan memperlihatkan spirit apinya, Smoke, pada Susan. Sahabatnya itu benar-benar terpukau saat melihat burung api Talia. Sayangnya Smoke tidak bisa bicara pada orang lain selain Talia. Susan hanya bisa melihatnya terbang berkeliling kamar selama beberapa kali. Smoke akhirnya kembali ke dunia spirit setelah bersungut-sungut karena hanya dipanggil untuk pamer.
Suasana hati Talia sedikit lebih ringan saat larut malam. Alat pendeteksi makhluk sihir dari Leo terpasang rapi di meja kecil sebelah tempat tidur Talia. Benda itu berbentuk seperti logam pipih berwarana hitam. Sebuah alarm kecil dirakit di dalam piringan logam tersebut, yang – kata Leo – akan berbunyi jika menerima sinyal energi dari makhluk sihir. Sejauh ini alat tersebut belum menunjukkan reaksi apa pun. Talia mengasumsikan bahwa itu artinya kondisi di luar sana masih aman.
Tepat tengah malam, Talia dan Susan sudah benar-benar mengantuk. Mata mereka berdua sangat berat, seolah disihir dengan ramuan tidur. Talia memaksa diri untuk tetap terjaga, tetapi beberapa kali kepalanya tertunduk tanpa sadar. Susan juga mengalami hal yang sama.
“Tidurlah lebih dulu, Talia. Aku akan berjaga-jaga selama beberapa jam. Saat aku sudah tidak kuat lagi, nanti akan kubangunkan kau. Kita bergantian,” usul Susan kemudian.
“Apa kau yakin masih kuat bertahan? Lebih baik kau tidur lebih dulu,” sahut Talia.
Susan menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku akan mencuci muka agar lebih segar,” ujarnya sembari bangkit dari ranjang.
Talia pun akhirnya menyetujui usul tersebut. Toh tidak ada gunanya jika mereka berdua sama-sama kurang tidur di saat seperti ini. Sebaliknya, begantian jaga akan lebih efektif. Akan tetapi, tepat setelah Talia bergelung nyaman di balik selimutnya, mendadak alat pendeteksi dari Leo berbunyi nyaring, seperti suara dering yang memekakkan telinga.
Sontah, Talia pun bangun dari tempat tidurnya. Disusul Susan yang datang dari balik pintu kamar mandi. Wajah gadis itu bahkan masih basah karena belum sempat diseka dengan handuk kering.
“Dia datang?” tanya Susan masih agak linglung.
Talia mengangguk pelan lantas kembali memanggil Smoke dari dimensi spirit.
“Kenapa memanggilku lagi? Jangan gunakan aku untuk melakukan hal-hal tidak berguna,” gerutu smoke kesal.
“Aku perlu kekuatanmu, Smoke. Kita akan menghadapi seekor pterotos,” gumam Talia sembari bersiap. Ia dan susan kini berdiri di dekat pintu keluar dengan waspada. Suara lengkingan alat pendeteksi sudah mereda. Talia berani bertaruh kalau suara tersebut pasti membangunkan beberapa anak yang kamarnya berdekatan dengan mereka.
“Pterotos? Ular sihir itu? Wah, kau memberiku makan malam yang nikmat, Kontraktor,” ucap Smoke terdengar girang.
Talia tidak pernah tahu bahwa ternyata para spirit elemen mengonsumsi hewan sihir sebagai makanan mereka. Namun bukan itu yang penting sekarang. Jantungnya berdebar-debar menanti kedatangan sang makhluk sihir tersebut.
Beberapa menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda munculnya hewan tersebut. Sepertinya alat pendeteksi yang dibuat oleh Riko memang bisa memindai area dengan jangkauan luas. Meski begitu, Talia tetap waspada. Rasa kantuk sudah hilang sepenuhnya. Ia kini mencengkeram gagang pintu, bersiap untuk kabur jika serangan Smoke tidak bisa mengalahkan pterotos.
“Ini menegangkan. Aku benci menunggu datangnya bahaya,” komentar Susan dengan ekspresi serius.
Talia merasakan ketegangan yang sama, hingga tak lama kemudian, suara desis ular samar-samar terdengar dari luar. Monster itu sudah datang!
“Smoke, berubahlah menjadi wujud phoenix,” perintah Talia dengan segera.
“Baik, Kontrraktor. Aku juga sudah mencium aroma daging yang lezat,” sahut Smoke lantas terbang berputar satu kali. Api di tubuh spirit itu membesar lantas dalam satu kedipan mata, ia pun berubah menjadi burung phoenix yang gagah.
Susan tidak punya waktu untuk kagum karena detik berikutnya, seekor ular bertubuh licin muncul dari kisi-kisi jendela kamar Talia. Ular itu mendesis marah saat melihat mangsanya ternyata sudah menyambut kedatangannya dengan garang. Sang pterotos membuka sayapnya lantas terbang ke arah dua gadis itu.
“Serang sekarang, Smoke!” seru Talia diikuti lesatan api dari burung phoenixnya.
Susan turut mengerahkan sihir apinya ke arah sang ular bersayap. Namun ular tersebut berhasil berkelit dari kedua serangan mereka. Pterotos itu terbang berputar di langit-langit sambil mendesis dan memamerkan gigi taringnya yang mengancam. Panjang monster itu kurang lebih setengah tubuh Talia, dengan dua sayap besar berbulu hitam.
Smoke mengejar pterotos tersebut selama beberapa saat sembari menyembur-nyemburkan api. Sang ular bersayap turut menyemburkan bisanya, yang mana sebenarnya sia-sia karena spirit api tidak bisa diracuni.
Secara instingtif, pterotos tersebut lantas terbang ke arah Talia, sang pemilik spirit. Sayap kanannya sudah sedikit hangus karena terkena semburan api dari Smoke. Namun demikian, ia masih bisa terbang dengan lancar ke arah Talia.
Susan yang panik segera melemparkan sihir apinya dan mengenai bagian perut pterotos. Sayangnya api Susan tidak cukup untuk membakar tubuh monster itu yang terbalut sisik logam keras. Talia mengerti sekarang kenapa Kyle menyuruhnya melelehkan logam untuk mengalahkan ular bersayap tersebut. Gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa karena tangannya masih terulur untuk mengirimkan energi sihir pada Smoke. Gadis itu hanya bisa memekik ngeri dan menutup wajahnya dengan satu tangan lainnya.
Moncong pterotos sudah nyaris mengenai lengan Talia. Namun di saat yang tepat, Susan melemparkan tubuhnya untuk melindungi sahabatnya. Talia yang terkejut hampir melepaskan energi sihirnya dari Smoke. Namun dengan kecepatan kilat, Smoke akhirnya berhasil menangkap sang ular api dan melumatnya hidup-hidup hingga hangus menjadi abu.
“Susan!” pekik Talia terkejut.
Susan sudah jatuh bersimpuh di lantai kamar sambil memegangi lengannya sendiri, tampak kesakitan. Talia segera berlutut untuk memeriksa kondisi sahabatnya itu.
“Susan, apa kau baik-baik saja?” tanya Talia khawatir.
Susan tidak langsung menjawab dan hanya terus merintih kesakitan. Talia pun menyadari bahwa ternyata lengan Susan kini sudah dipenuhi dengan luka-luka borok yang parah.
“Kau terkena racun pterotos!” seru Talia panik. “Kita harus segera pergi ke tempat Madam Hudges untuk mengobatinya,” lanjut gadis itu sembari memapah Susan berdiri.
Susan tampak kesakitan. Racun pterotos akan menimbulkan luka borok parah yang terasa panas membakar kulit manusia. Talia tidak menahan air matanya melihat sahabatnya begitu kesakitan. Setelah mengembalikan Smoke ke dimensi spirit, Talia pun keluar dari kamarnya bersama Susan.
Ternyata di koridor lantai tiga, tempat kamar Talia berada, anak-anak dari kamar sebelah sudah keluar dan melongok ingin tahu. Keributan di kamar Talia pasti telah menarik perhatian mereka semua. Seluruh siswi yang tadinya tampak masih mengantuk itu langsung terkejut ketika melihat kondisi Susan yang sudah berdarah-darah kesakitan. Mereka semua pun berbondong-bondong mengikuti Talia menuju ruangan kamar Madam Hudges di lantai satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sight of Future
FantasiNomor Peserta : 088 Tema yang diambil : Campus Universe Blurp Talia Ortega, siswi baru di Akademi Sihir Ramona, Kerajaan Barat, adalah seorang oracle dengan kemampuan melihat masa depan seseorang yang disentuhnya. Saat upacara penerimaan siswa baru...