Tiga Hari Kemudian
Freya mengeringkan rambut basahnya menggunakan handuk, dilanjutkan dengan menyisir dan mengikatnya menjadi satu.
Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian pendarahan yang membuat Freya harus dirawat di rumah sakit, Freya mulai merasa, Pedro menghindari Freya.
Pedro tidak pernah mengunjungi Freya di kamarnya, di malam hari seperti biasa. Jika kebetulan berpas pasan di mansion, Pedro hanya menyapa, sekedar basa basi. Sejujurnya, Freya sedikit lega dengan kondisi tersebut, karena itu artinya, dirinya tidak perlu menghadapi kebuasan Pedro di atas ranjang. Tapi di sisi lain, kekhawatiran menghampiri sudut hati kecilnya. Ia khawatir jika Pedro mulai bosan dengan dirinya dan mungkin berniat membuangnya. Freya belum memikirkan apa yang akan dilakukannya jika Pedro benar benar membuangnya dan sekaligus melepaskan dirinya. Tapi satu hal yang sudah menjadi tekad Freya, ia tidak akan kembali bekerja di restoran cepat saji milik Baim. Freya akan pindah ke kota lain, memulai kehidupan di tempat baru, di mana tidak ada seseorang pun yang mengenalinya dan ia juga sudah memutuskan tidak akan menjalin hubungan dengan pria manapun. Pria baik baik mana yang mau menjalin hubungan dengan wanita kotor dan bekas pria lain.
Freya menghela nafas kasar, menatap pantulan dirinya di depan cermin. Freya mengusap sudut matanya yang tampak basah. Freya tampak tertegun, menatap ibu jarinya yang tampak sedikit membiru.
"Ini kena apa ya? Tapi gak ada yang luntur..." Freya menuangkan sabun di tangannya dan mulai menggosok ibu jarinya, mencoba menghilangkan noda kebiruan di sana.
"Aya, kau lama sekali. Tuan sudah hampir selesai sarapan." Emma memekik di depan pintu kamar mandi.
Freya membuka pintu kamar mandi, mengacungkan jempolnya ke arah Emma "Emma, jempolku kebiruan, kayak kena tinta atau ada cat yang luntur."
"Kamu tadi ngapain?" Emma tampak berpikir "Sepertinya ini memang bekas tinta, tapi udah samar juga. Ayo turun Aya, jangan sampai tuan ngomel lagi." Emma membantu Freya mengeringkan tangannya sebelum menarik Freya keluar dari kamar, menuruni tangga, menuju ke ruang makan utama.
"Well, bunnyku sangat terlambat." Pedro menaikkan alisnya, menatap Freya yang menarik kursi dan duduk di seberang Pedro.
"Maaf...." Freya berbisik lirih, menunduk menatap mangkok bubur ayam di hadapannya.
"Sarapan dan bersenang senanglah. Aku harus bekerja." Pedro bangkit dari kursi, mengecup pucuk kepala Freya dan meninggalkan ruang makan.
Freya menatap punggung Pedro hingga menghilang dari ruang makan. Freya menatap ke arah piring Pedro, tampak masih tersisa potongan roti bakar. Pedro bukan tipe orang yang suka meninggalkan sisa makanan di piringnya.
"Sepertinya ia memang menghindariku." Freya mendesah lirih, ada rasa sesak di dadanya. Freya mulai menyendokkan bubur ke dalam mulutnya, makan dalam kesendirian.
***********
Freya menghela nafas, menatap ke arah taman yang berada di balik jendela kaca ruang perpustakaan. Freya menerawang jauh ke arah taman, mengabaikan buku yang berada di pangkuannya.
Freya memalingkan wajahnya dengan cepat ketika mendengar suara pintu terbuka.
"Pedro?" Freya mencicit pelan, menatap Pedro yang memasuki perpustakaan dengan langkah lebar, menuju ke salah satu rak.
"Sudah makan siang, bunny?" Pedro membawa sebuah buku tebal di tangannya.
"Sudah..." Freya bergumam pelan.
"Good, bunny. Makan yang teratur. Jika kau butuh sesuatu, minta pada Emma." Pedro mengacak rambut Freya, berjalan meninggalkan perpustakaan dengan buku di tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
No Escape (Tamat)
RomansaSemua orang mengenal Pedro Ramiro, pengusaha drone dan pemilik real estate dengan wajah tampan dan tubuh kekar. Tapi tidak banyak yang tau, siapa sebenarnya sosok Pedro, bagaimana masa lalunya, termasuk bisnis gelap yang dijalankannya. Freya Damaris...