---✧---✧---
.
.
.
Ketiga orang yang sedari tadi berdiri di depan pintu, menoleh kala pintu tersebut terbuka. Oma Dewi dengan raut wajah yang cemas dan penasaran. Langsung melontarkan banyak pertanyaan hingga dokter itu gelagapan. Beda halnya, dengan kedua lelaki yang hanya menyimak dan tidak berani menyela atau sekedar membuka suara. Karena memang takut akan tatapan mematikan dari Dewi."Dokter gimana keadaan Quenza? Dia enggak kenapa-kenapa kan? Kalo misal harus di bawa ke rumahsakit enggak apa-apa."
"Bayinya gimana? Enggak papa kan?"
"Begini, Quenza hanya kecapekan dan syok sehingga mengakibatkan perutnya keram. Mengingat usianya yang masih muda dan terkadang dalam kasus anak muda yang hamil, kandungan cukup rentan karena rahimnya yang kurang kuat. Namun, syukurnya kandungan Quenza kuat dan sehat. Jadi tidak perlu di khawatirkan. Tetapi, ada satu hal yang perlu di ingat. Ia tidak boleh banyak pikiran itu bisa berdampak buruk pada janin yang ada di kandungnya. Kalo begitu saya permisi," jelas dokter, tersenyum ramah.
"Mari dok, saya antar ke depan." Kevin berjalan terlebih dahulu di susul dokter di belakangnya.
Oma Dewi langsung menyelonong masuk, melihat Siska yang melamun dan Quenza yang memejamkan mata. Ia mendudukkan diri di samping Siska, seperti biasa, bisa merasakan apa yang ada di benak anak satu-satunya itu.
"Kamu enggak salah," ujar Oma Dewi menatap lurus ke depan dengan mengulum senyuman tipis. Siska menoleh dengan ekspresi bingung.
"Maksud mama?" Siska kesulitan mencerna perkataan Dewi. wanita parubaya itu tersenyum lebar sembari menggenggam tangan anaknya.
"Mama tahu apa yang ada di pikiran kamu," kata Dewi mampu membuat Siska terdiam dengan kepala menunduk.
"Cobalah untuk tidak selalu menyalahkan diri kamu. Apa yang sudah di takdirkan oleh Allah, kita hanya bisa menerimanya. Kamu lihat betapa bahagianya Devan dengan Quenza begitu pula sebaliknya dengan Quenza, terpaksa menikah muda karena ketidaksengajaan mungkin salah. Terlebih jika keduanya masih mencari cara untuk mewujudkan impian di masa depan. Cita-cita. Semua orang memiliki cita-cita yang ingin dicapai, mereka bersekolah tinggi untuk mencapai cita-cita itu, namun tidak dengan takdir Quenza yang merelakan cita-cita demi anaknya yang akan hadir di dunia ini." Dewi memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Mama keluar dulu. Mau buatin bubur untuk Quenza. kasihan sudah 2 jam dia pingsan pasti lemas," Siska mengangguk dengan menatap ibunya yang keluar dari kamar.
Tak lama, Quenza membuka matanya seraya memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Ia melihat Siska yang terduduk di samping ranjang tidurnya.
"Mama kok di sini? Quenza kenapa?" tanyanya, lupa jika ia tadi tidak sadarkan diri. Wanita itu berusaha mendudukkan tubuhnya dengan bantuan Siska.
"Kamu tadi sakit perut hingga pingsan. Untungnya, bayi di kandungan kamu enggak apa-apa," dengan wajah polosnya wanita itu mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Syukurlah. Untung aja kamu enggak kenapa-kenapa ... ntah, apa yang terjadi jika kamu tadi kenapa-kenapa," Quenza mengelus perutnya yang mulai membuncit.
Quenza celingak-celinguk mencari seseorang yang tidak lain adalah Devan. Siska yang tadinya tampak khawatir kini tersenyum, namun ada rasa kesal terhadap Devan, anaknya. Secara tidak langsung, ia pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya dan sampai detik ini juga anak itu, tidak sekalipun menelfon nya untuk sekedar menanyakan bagaimana keadaan istri dan calon anaknya.
"Kenapa za? Butuh sesuatu?" Quenza menoleh, melihat Siska dengan matanya yang bulat.
"Devan. Quenza sedari tadi tidak melihat Devan. Kemana dia?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
QUENZA
Teen Fiction[SEBELUM MEMBACA DIHARAPKAN FOLLOW DULU, TERIMAKASIH] Quenza Putri Alexandra, siswi berambut panjang tergerai, berhidung mancung. Memiliki hobi membaca novel dengan genre yang berbeda-beda, terlebih cerita sedih. Namun, ia tak menyangka jika alur h...