QUENZA|34

799 42 5
                                    


HAI,.. HAI,...
BAGAIMANA KABAR KALIAN? SEMOGA BAIK.

SEBELUMNYA AKU MAU NGUCAPIN BANYAK TERIMAKASIH UNTUK PARA PEMBACA SETIA QUENZA. THANK YOU GUYS..
TOLONG UNTUK DIMAKLUMI JIKA TULISAN ATAU EJAANNYA BELUM BENAR, JIKALAU ADA TOLONG DIINGATKAN.

JIKA ADA KESAMAAN NAMA TOKOH, TEMPAT, DLL. MOHON DIMAAFKAN.

OKE, LANJUT,...

---✧---✧---

Quenza menatap sekeliling pemakaman setelah keluar dari mobil. Tempat yang sama, dimana sembilan tahun lalu ia datang mengantarkan kembarannya ke peristirahatan terakhirnya. Quenzel Putra Alexander, anak sulung Alexander yang tidak pernah diketahui oleh publik, ia meninggal karena kecelakaan maut.

Quenza meremas lengan Devan dengan kuat, entah kenapa tiba-tiba kepalanya berdenyut beriringan dengan potongan-potongan memori kecil saat kecelakaan. Air mata mulai mengalir keluar tanpa seizinnya.

"Za, kamu kenapa?" tanya Devan khawatir melihat perubahan ekspresi di wajah Quenza. Dari yang awalnya fresh sekarang pucat. Tangannya terulur menangkup pipi gembul Quenza.

"Perutnya sakit?" lanjutnya kemudian berjongkok di depan perut Quenza.

Quenza menggeleng pelan, "Enggak."

"Ayo. Kasihan teman kamu nungguin." Ajak Quenza menarik pelan tangan Devan. Ini bukan saatnya untuk kambuh lagipula di sini ada Devan, ia tidak ingin Devan cemas.

"Kita pulang aja." ujar Devan masih mematung pada tempatnya. Quenza menoleh lalu mengernyitkan dahi.

"Loh, kok pulang?" Devan menangkup pipi Quenza dengan gemas.

"Iya, kita pulang. Aku enggak mau kamu kenapa-napa."

"Aku nggak papa, percaya deh."

"Pulang yuk. Kalo misalnya kamu kenapa-napa gimana, aku enggak mau kamu kenapa-napa." kata Devan.

Quenza memutar bola matanya, sejak kapan seorang Devan menjadi manis seperti ini. Berharap seorang Quenza leleh dengan perkataannya? Oh tentu tidak. Selama menjadi istri Devan, ia jarang keluar dari rumah tidak seperti dulu yang sangat bebas pergi kesana-kemari. So, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini keluar dari rumah. Bisa dibilang, dia hanya beralasan untuk ikut ziarah padahal niatnya juga sekalian pergi main.

"Enggak mau,.. aku bosan terus di rumah." ujar Quenza dengan rengekan kecilnya.

Devan terdiam hanya menunjukkan wajahnya yang datar. Memiliki istri seperti anak kecil, sangat merepotkan sebab terus merengek jika keinginannya tidak dituruti. Terlebih lagi Quenza sedang hamil, secara tidak langsung

"Ya, enggak gini Za." balas Devan.

"Kalo gitu habis ini aku mau ke rumah Sisil."

Devan membulat sempurna. "Nggak!"

"Bos!!" teriak seseorang mengalihkan pandangan keduanya.

Terlihat sekumpulan remaja laki-laki berjalan mendekat kearahnya. Remaja yang sehari-harinya tampak sangar dengan pakaian serba hitam kini menjadi remaja alim dengan baju Koko putih.

Quenza mengerjapkan matanya berulangkali. Inikah anak geng motor yang terkenal dingin dan menyeramkan itu, yang biasa membuat resah warga sekolah. Pasalnya, mereka tampak bersinar dengan setelan baju Koko putih itu.

"Hai, Za." sapa Fian seraya mengedipkan sebelah mata. Bukannya membalasnya dengan baik, Quenza malah bergidik.

"Mata lo. Mau gue congkel?!"

QUENZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang