3. Miss-kom

2.8K 84 0
                                    

Selamat membaca

___________


Badan gue rasanya remuk redam. Jam berapa gue samalam tidur. Pak Johnny enggak tahu waktu, mana tugas gue belum tergarap sempurna.

Dug!

Tangan gue membentur sesuatu. Ujung hidung Pak Johnny yang lumayan lancip memerah karena tangan gue. Namun, tak menyadarkan sang empu yang masih tertidur pulas. Semalam ia bekerja terlalu keras.

Tangan gue meraba nakas sebagai persinggahan terakhir gawai gue. Gue cuma ingin memastikan sekarang jam berapa.

"Astagfirllah, Mas. Kamu enggak ngajar?" Gue memukul pelan lengan Pak Johnny.

Tidur dia cukup pulas karena aktivitas semalam. Dia yang lebih dominan karena permintannya. Pada akhirnya dia yang kelelahan sendiri dan berujung kesiangan kaya gini.

"Kebo banget, bangun, kamu ngajar enggak, ini mau jam delapan." Gue menggoyangkan tubuhnya dan berhasil menciptakan gumaman khas orang bangun tidur.

"Kenapa? Heboh banget." Percayalah suara baritonnya sangat seksi dan candu sekali.

"Mas ke kampus enggak?" Gue sebenarnya masih ngantuk sekali, tapi berhubung Pak Johnny masih enak-enakan tidur gue malah panik sendiri. Di sini gue panik karena dalam sejarah perkampusan Pak Johnny enggak pernah terlambat masuk tanpa alasan.

"Jam ber ..."

"Delapan, Mas terlambat."

"Subhanallah, Vin."

Tanpa aba-aba apapun, dia bergegas masuk kamar mandi. Panik banget pasti karena Pak Johnny si paling displin soal waktu mendadak kesiangan tanpa alasan yang tak jelas nanti di kampus. Enggak mungkin dia beralasan karena perbuatan semalam.

"Saya bikinin bekal ya."

Cuma lembaran roti tawar dan selai kacang kesukaan Pak Johnny, susu putih, dan air putih yang tidak pernah ketinggalan.

"Taruh tepak saja, biar saya makan di kampus."

Pertama, gue harus siapin sarapan buat di jalan. Ke dua, dia pasang jadwal di meja belajar gue jadi gue yang harus menyiapkan.

"Mas, BA-nya taruh mana?"

"Kamu sudah setrika kemeja saya?"

"Duh, lupa. Ambil yang ada di lemari aja yang sudah disetrika deh, Mas."

Dia menurut dan mencari kemeja yang gue maksud. Gue mana sempat menyetrika kemarin, habis mandi saja langsung dipalak jatah.

"BA-nya mana?" tanya gue lagi yang belum nemu bahan ajar miliknya.

"Di rak nomor dua, paling kiri warna kuning."

Gue mencoba mencari apa yang dimaksud olehnya. Gue sama ribetnya, padahal yang kesiangan Pak Johnny saja karena gue cuma ada jam sore hari ini.

Final, keriwehan kami berakhir dalam beberapa menit. Bekal Pak Johnny sudah di dalam mobil dan waktunya pamitan dengan terkejar waktu.

"Enggak usah diberesin kamarnya, biar saya saja nanti. Kamu ngerjain tugas, santai-santai saja dulu." Dan dia mengecup kening gue.

"Iya," balas gue.

Ini konsekuensi yang membuat ulah. Gue hari ini dijadikan ratu dalam sehari, masak pun bakalan dilarang karena bakal ada jasa pengirim makanan yang mengetuk pintu. Menyapu pun tidak boleh, kecuali ruang tamu yang harus bersih setiap saat.

"Dadah."

Kepergian Pak Johnny membangun sunyi di dalam rumah ini.

Air putih menyelimuti tenggorokan gue. Lega sekaligus lucu jika membayangkan Pak Johnny terlambat gara-gara masalah ranjang. Heboh pasti kalau kampus tahu Pak Johnny terlambat gara-gara gue. Gue enggak bisa bayangin semisal pagi ini juga jadwal gue di kelas paginya.

Okey, gue harus ngejar buat tugas sore yang belum sempurna. Apel dan air putih sebagai penawar lapar, kalau masih lapar bisa diganjal dengan selembar roti tawar dan segelas susu.

Tempat ternyaman ya di kamar buat nugas, tapi pasti akan berakhir malas-malasan dan bisa jadi tidur pulas kembali karena gue benar-benar masih cape. Gue memilih menata tempat di ruang tv. Senyaman itu rumah yang dibangun Pak Johnny.

________________

Gue enggak bisa mengabaikan telepon dari Mama mertua. Ada hal penting apa sampai dia menelepon begini. Enggak mungkin kalau cuma mau bilang kangen sama gue.

"Assalamu'alaikum, Vin."

"Wa'alaklikumussalam, Mah."

Gue harap enggak ada teman-teman gue yang menghampiri gue sekarang, because, gue bingung mau jawab apa kalau ada introgasi dadakan dari mereka.

Sekarang, gue lagi menuju kelas untuk kuliah sore.

"Sabtu, ke rumah sama Johnny yah, Mama mau buat acara kecil-kecilan." Mama Pak Johnny tak suka berbasa-basi, ia akan langsung ke poin yang akan dibicarakan. Bukan berarti ia tak menyukaiku, sungguh sejak awal gue dipertemukan dengan Mama Pak Johnny kami sangat akur sampai sekarang, bahkan dialah salah satu alasan yang membuat gue bertahan.

"Iya, Ma. Avin nanti sampaikan ke Mas Johnny."

"Ya sudah, Mama matiin dulu ya."

Gue harap Pak Johnny sibuk banget sampai dia enggak bisa pergi. Jahat sekali kedengarannya, tapi itu lebih baik daripada gue harus berhadapan dengan sepupu-sepupu Pak Johnny dan keluarga besarnya. Gue enggak pernah nyaman berada di lingkaran mereka yang selalu menganggap gue remeh karena status gue dan umur gue yang dibilang enggak sebanding dengan Pak Johnny. Gue juga enggak tahu jelas alasan mereka tak menyukai gue.

Belum sempat gue memasukkan gawai di dalam tas, ada panggilan masuk lagi dan gue lihat itu dari Pak Johnny. Untung kelas masih lima belas menit lagi, gue bisa cari tempat aman buat menerima panggilan darinya.

Cari kursi paling sepi dan jarang dijangkau mahasiswa. Gue duduk di sana yang kalau Melisa atau Jamal kalau mau ke arah kelas enggak bakal lihat gue.

"Mas," panggil gue pelan takut ada yang dengar.

"Halo, assalamu'alaikum."

"Ishh, iya waalaikumussalam."

"Kamu jawab apa sama Mama?"

Beberapa detik gue berpikir untuk mensinkronkan konteks pertanyaan dari Pak Johnny. Oh, pasti ini masalah acara keluarga yang disampai oleh Mama tadi. Berarti, Mama menelepon Pak Johnny terlebih dahulu dibanding gue.

"Nunggu keputusan, Mas. Kamu sibuk ya, nanti?"

"Bukan gitu, Vin," katanya. Kayanya sih, Pak Johnny juga berjaga-jaga di dalam ruangannya. "Saya tadi sudah bilang enggak bisa sama Mama."

"Kenapa?" tanya gue.

"Keluarga besar pasti ngumpul. Saya enggak mau kamu kenapa-napa."

Gue terdiam cukup dalam untuk sesaat. Hubungan kami berestu, tetapi mengapa harus ada cobaan seperti ini dalam hubungan kami. Entah seburuk apa gue di depan keluarga besar Pak Johnny.

"Saya ngikut kamu aja, Mas."

Ingatan gue kembali berputar ketika salah seorang sepupu Pak Johnny menuduh gue hamil duluan, menuduh gue matre, menuduh gue menerima Pak Johnny karena sudah mapan. Itu yang bikin gue down sesaat dan Pak Johnny tak tahu soal ini awalnya, tetapi karena gue bukan orang yang bisa mengemban masalah sendirian, curhatan hati gue ditampung oleh Pak Johnny.

Bukannya gue may mengadu domba, tetapi Pak Johnny sepertinya lebih tahu soal perkara ini. Namun, gue enggak pernah bertanya lebih dalam alasan mereka tak menyukai gue karena gue tahu jawabannya. Gue labil dan tak sebanding dengan Pak Johnny.

Our Merriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang