4. Ronde Kedua

3.7K 84 0
                                    

"Vin, oke lo?"

Satu sentuhan dari Melisa membawa gue ke alam sadar. Gue enggak sadar kalau dari tadi yang ada di otak gue cuma masalah nanti pas gue kumpul bareng keluarga besar Pak Johnny, bukan matkul yang sedang dijelaskan oleh dosen di depan.

"Kenapa, Mel?"

"Lo kenapa, dari tadi pikirannya ilang? Baru nyahut lo, pas gue senggol."

Senyum tipis akibat tindakan bodoh gue yang tak bisa berkonsetrasi dan malah mendapat pertanyaan yang enggak bakal dijawab jujur oleh gue. "Jam segini puncaknya orang bengong akibat ngantuk, keles." Kuliah sore memang harus konsentrasi karena puncak dari segala puncak adalah pada sore hari. Lelahnya, ngantuknya, dan bosan bersatu padu di sore hari. Semua itu gue jadikan alibi karena Melisa sudah termakan teori lelah kuliah gue.

"Lo kuliah, tapi otak lo kaya mikirin hutang negara, tahu enggak," cibir Melisa. Beruntung sekarang bukan mata kuliah Pak Johnny, kalau iya gue sama Melisa enggak bakal bisa ngobrol lirih begini, soalnya telinga dia hampir mirip kelinci.

Seriweh itu pikiran gue sampai pulang kuliah kaya anak ilang. Untung anak-anak hari ini enggak ngajak nongkrong jadi enggak ada introgasi susulan dari Melisa yang melihat wajah gue penuh beban.

Sesampainya di rumah, gue menemukan Pak Johnny yang tengah menonton televisi. Gue melemparkan tas ke sembarang tempat dan menenggelamkan diri ke Pak Johnny. Gue terdengar sangat berat untuk mengiyakan acara keluarga Pak Johnny. Gue sudah malas berurusan dengan mereka yang tak pernah menghargai keberadaan gue.

"Pulang-pulang enggak salam, malah kaya gini, kenapa?" tanya Pak Johnny yang tengah membelai rambut gue. Jarang sekali gue melihat Pak Johnny santai seperti ini.

"Cape tahu Mas," keluh gue. "Mas masak enggak?"

"Saya kan punya istri, masa saya masak."

"Ih, ngeselin. Baiknya kalau udah ada maunya."

Dia menenggelamkan tubuh gue ke dalam dekapannya lebih dalam. "Kok tumben, pulang lebih awal, sakit?" tanya gue khawatir.

"Rapatnya diundur, jadi saya lebih pilih pulang."

Pak Johnny menyingkirkan tubuh gue. Sadar diri sih gue, badan lumayan berisi mana bisa ditampung Pak Johnny lama-lama. Gue duduk di sampingnya dan bergelayut manja di lengannya.

"Kamu kenapa, masalah tadi?"

Gue mengangguk cepat. Enggak ada yang harus gue tutup-tutupi sama Pak Johnny, dia juga orangnya terbuka dengan masalah apapun. Tapi, ya dia paling malas bahas mantan, katanya bakal berujung ribut kalau hati gue enggak siap.

"Saya tadi mau telepon kamu. Eh malah udah enggak bisa."

"Terus, kita berangkat?"

"Kamu siap enggak?"

"Ya gimana, saya sih kayanya bakal kebal dengan julidan sepupu kamu," kata gue. "mereka itu gambaran Mas pas awal-awal ketemu sama Saya."

"Masa sih?"

"Iyalah, Mas bisa banyak ngomong, bisa ketawa-ketiwi, bisa ngelawak kan gara-gara kena virus happy saya. Ingat coba, pas awal nikah, mas saja mukanya tegang, galak terus. Untung saya sabar."

Kayanya kalau diingat lagi, pasti kalian akan berpikir bagaimana gue menjalin rumah tangga dengan manusia triplek kaya Pak Johnny. Semuanya gue jalani dengan senang hati dan dengan kehidupan kami yang selalu terbukalah kunci dari semuanya. Pak Johnny dulu sampai mengingatkan gue terus menerus soal komunikasi, meskipun gue kadang suka bandel sendiri dan nerobos main tanpa sepengetahuan Pak Johnny, tetapi sebelum orang lain yang lapor, gue sudah minta maaf duluan. Begitupun dengan Pak Johnny yang sudah mulai bisa ketawa dengan suaranya, enggak cuma modal bibir nungging saja.

"Saya dulu segitunya? Perasaan saya murah senyum, suka ngomong, dan ganteng." Selalu dengan gaya narsistiknya di depan gue.

"Senyum apaan, Bunda saja pas awal ketemu Mas, dikira mau dipalak preman."

"Terus saja dibahas." Gue suka kalau Pak Johnny mulai kesal. Kapan lagi gue ngusilin dosen sendiri, kalau enggak di rumah.

Perut gue menjadi penolong pertama dari amukan gemas Pak Johnny. Gue enggak pernah bisa berhenti jantungan setiap dekat sama Pak Johnny. Dari perut gue yang dangdutan, dijadikan momen keromantisan. Pak Johnny mencium perut gue yang terhalang baju, bukan sekali mencium, dia berkali-kali menciumi perut gue.

"Yang bunyi masih cacing, sometimes bakal bayi yang bikin perut kamu rame."

"Pengin banget punya bayi," kata gue dengan memegang kedua pipi Pak Johnny.

Matanya yang dibuat manja menvalidasi perkataan gue. "Banget."

"Makanya, bantuin saya skripsian nanti."

"Modus kamu, Vin." Dia tahu saja maksud gue gimana.

Gue terkekeh karena Pak Johnny yang malah masuk dalam pelukan gue. Gue mulai geli dengan perbuatan Pak Johnny yang enggak bisa diam kepalanya di perut gue.

"Ayo," kata Pak Johnny yang penuh ambiguitas.

"Ayo apa?" Otak gue udah kemana-mana gara-gara Pak Johnny yang sudah membahas masalah bayi.

"Maunya apa?" Sumpah gue takut kalau wajah mesum dan menggodanya Pak Johnny juga diumbar di luar, gue sebagai istrinya saja kadang suka enggak bisa nolak dan sering khilaf kalau paginya ada kelas pagi.

Tidak perlu khawatir di manapun kami main. Di rumah ini cuma hanya ada kami berdua, tapi Pak Johnny lebih suka di kamar lebih leluasa katanya. Gue cape pulang kuliah, tetapi kalau masalah ini bisa dibicarakan baik-baik sama tubuh. Toh, nantinya gue bakal jadi ratu sekejap setiap habis main. Eh enggak, setiap waktu dia selalu memperlakukan gue bak ratu.

AC kamar selalu tak mempan mendinginkan keadaan kami yang amburadul. Kali ini, Pak Johnny tak puas dalam satu ronde. Lihat saja sekarang jam berapa sampai gue benar-benar kelaparan.

"Laper tahu, Mas." Gue bisa melihat peluh Pak Johnny dari atas.

"Kamu mancing saya sih," jawabnya dengan membelai pinggang gue. Gue harap ia tak mau gue gerak manja di atasnya.

"Mancing gimana?"

"Saya tadi ngajak kamu cari makan, bukan ini."

"Kok enggak nolak!"

"Ya, kucing mana nolak dikasih ikan."

"Dasar kucing garong." Gue memukul dadanya dan dengan mudah Pak Johnny menangkisnya.

"Tapi suka?"

Lah dia tanya. Gue mana bisa jawab jujur soal rasa. Mana bisa gue bilang tidak ketika semua yang diberikan Pak Johnny adalah hal-hal indah.

"Kalo gitu, kita udahan. Cari makan, saya laper."

Gue hendak beranjak sampai penyatuan kami hampir terlepas, tapi Pak Johnny dengan gampangnya menarik pinggang gue.

"One more time, dan saya janji bakal udahan."

Kali ini, Pak Johnny yang bekerja keras seperti semalam. Gue sudah kehabisan tenaga gara-gara belum istirahat dari pulang kuliah. Kayanya gue butuh servis pijat dari Pak Johnny nantinya.

Padahal semalam kami sudah menghabiskan waktu sampai dia masuk kesiangan, tetapi sorenya dia minta jatah lagi. Memang pria dewasa yang hampir kepala tiga ini hormonnya lagi naik-naiknya.

Our Merriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang