"Skripsi kamu masih banyak revisi. Apa nggak mau membatalkan ajakan Mama?"
Gue mengecek pakaian di depan cermin besar. Rambut sudah gue gelombangin dan tancap make-up tipis-tipis. Pak Johnny dengan setelan rumahnya karena gue tolak untuk ikut. Gue enggak tahu apa yang bakal terjadi nanti, tetapi gue sudah siap jika terjadi hal yang menyakitkan.
"Bisa nanti kan, Mas. Lagian ini hari minggu."
"Jangan nanti-nanti."
"Mas, aku jalan sama Mama. Bukan sama siapa-siapa, dia Mama kamu, Mama aku juga."
Wajahnya diusap dengan kedua tangannya kasar. Gue tahu kenapa Pak Johnny begitu. Ia enggak mau gue terluka. Namun, jauh lebih menyakitkan jika Pak Johnny tak berterus terang tentang ini. Gue masih pura-pura bego di depan mereka.
"Iya, tapi ..."
"Tapi kenapa?"
Kami terdiam. Bibir gue bergetar menahan emosi. Dia pikir gue belum tahu semuanya. Kadang gue enggak mengerti dengan jalan pikiran Pak Johnny yang selalu seenaknya saja. Bilangnya harus cerita apapun masalahnya, tetapi ia memilih memendam semuanya sendirian. Jadi kali ini biarkan gue egois juga biar seimbang.
"Aku jalan dulu."
Mama sudah menunggu di bawah. Ini diluar perkiraan. Waktu tiba-tiba dimajukan begitu saja tanpa pemberitahuan.
Gue dan Mama keluar menunggu grab car pesanan kami. Supir Mama pulang sesuai instruksinya. Pak Johnny juga ikut nunggu di depan rumah. "Mah," ujar Pak Johnny sampai membuat kita menengok.
"Kenapa? Ini waktunya wanita memanjakan diri." Mama menatap Pak Johnny.
Gue mendekat dan mendekap tubuh Pak Johnny. "Mas, everything will be okey," bisik gue penuh penekanan. Kali ini gue meyakinkan ia kalau gue bakal baik-baik saja tanpa dirinya. Gue bakal baik-baik saja jika mama melakukan sesuatu yang bakal bikim gue kecewa sekaligus. "Kamu enggak usah khawatir, kita bakal waspada dari copet." Gue melepaskan pelukan Pak Johnny.
Mama tersenyum mendengar penuturan gue yang terakhir. "Benar. Kita bisa jaga diri. Iya kan, Vin."
"Mobilnya udah sampai. Kita pergi dulu, Jo."
"Mas, kalau mau apa-apa telepon aja ya." Gue saliman ke Pak Johnny sebelum gue meninggalkannya.
Jutaan tanya dan lara germuruh hebat di dalam hati. Sekuat-kuatnya gue menyembunyikan luka, tetap saja bakal terasa lagi karena lukanya belum sembuh sepenuhnya, lebih-lebih gue sedang berjejer dengan penyebab luka.
Sepanjang perjalanan, gue cuma menyandarkan tubuh dan sesekali merespon Mama meskipun kadang Mama harus menjelaskan dua kali untuk gue fokus mendengarkan.
Tempat Spa menjadi tujuan pertama kita. Mama bilang ini tempat Spa langganannya dari dulu. Dan dia dulu sering ke sini dengan Garnis.
Di sini gue tahu betul betapa dekatnya Garnis dengan keluarga Pak Johnny.
Kami memutuskan memakai jasa Grab car karena Mama benar-benar ingin kami berdua saja tanpa diganggu. Mama juga meminta gue untuk mematikan data internet. Mungkin, begini cara Mama menikmati hidupnya atau pikiran sadis gue; Mama bakal menghilangkan jejak gue dari Pak Johnny.
"Tubuh rileks, pikiran juga rileks. HP ini sumber pikiran Avin."
Gue menaruh gawai di dalam tas dan menerima sambutan dari mbak-mbak Spa. Mereka sangat ramah dan langsung menyambut kedatangan kami. Mungkin karena sudah menjadi langganan Mama, pikir gue.
Aroma wangi menyeruak. Tempat ini beneran membuat kita lupa kalau gue tinggal di Jakarta. Konsep Spa yang langka dijumpai kini gue singgahi. Serba alami karena tempat ini banyak sekali tanaman hidup dan cahaya matahari yang masuk tak membuat panas. Udara yang pas dan terasa alami.
Tempat seperti ini pasti mahal. Lihat saja, ini bahkan tak mirip seperti tempat Spa pada umumnya.
"Avin, ayo ganti baju."
Gue cukup terkejut dengan Mama yang tiba-tiba menggandeng gue.
Seberapa besar Pak Johnny membujuk mama supaya memperlakukan gue dengan baik. Sebagai tokoh, gue cuma bisa mengikuti alur yang mereka skenariokan. Di sini gue cuma bisa berjalan sesuai kehendak mereka, yakni pura-pura bego.
Mata gue terpejam saat dipijat. Gue ingin merasakan tubuh dan pikiran rileks sesaat. Sumber pikiran di era sekarang memang digital, tetapi ada sumber pikiran yang lebih bikin pusing yakni orang-orang di sekitar.
"Mama dulu sering ke sini kalau Garnis ada waktu."
Awalnya gue langsung membuka mata dan melihat ke arah Mama di samping. Namun, gue kembali memejamkan mata ketika melihat Mama tak membuka kelopak matanya meski mulutnya bercerita.
"Garnis itu dekat banget sama Mama. Sampai Mama sudah menganggap dia seperti anak Mama."
Gue menelan ludah terasa tercekat. Mungkin, mbak-mbak yang sedang memijat tubuh gue juga merasakan ketegangan di tubuh gue.
"Johnny sudah cerita tentang hubungan mereka?"
Kali ini gue memiringkan kepala untuk melihat Mama. Ternyata kami saling pandang satu sama lain. Mama melihat gue lekat seperti menuntut gue bilang iya. "Iya, Ma."
Kemudian, wajah perempuan paruh baya itu kembali mendangak ke atas. "Johnny memilih pergi dari hidupnya dan mencapakkan Garnis tanpa alasan."
Mata gue memanas. Siapa yang harus gue percaya, Pak Johnny atau Mama? Garnis yang ditinggalkan atau Garnis yang meninggalkan.
Mengapa teka-teki ini kembali terulang. Mengapa kali ini lebih menyakitkan di telinga gue, apa karena Mama yang menceritkana masalalu mereka.
"Mbak, balik badan."
Seandainya Mbak-mbak ini tak mengalihkan, gue pasti sudah ketahuan menangis. Sama halnya dengan gue, Mama juga tengkurap dan memunggungi gue. Gue pun melakukan hal sama, bedanya gue sambil nangis Mama tidak.
"Avin ..."
Air mata gue banjir. Kata-kata dari mama tak lagi bisa kudengar seksama. Semua yang keluar dari Mama terasa menyakitkan semua.
"Mama kecewa sama keputusan Johnny. Tapi ya gitu, Johnny enggak suka kalau Garnis lanjut sekolah lagi."
Pijatan-pijatan di punggung gue tak bisa merilekskan ketegangan ini. Mama tak tahu jika gue terluka karenanya.
Wajah gue menghadap Mama. Lagi, ternyata kami saling berhadapan dengan mata Mama terpejam.
Gue enggak tahu Mama tidur atau tidak. Gue cuma ingin menatapnya lama dan ingin memberitahukannya jika gue, "menyerah."
"Mah, aku kalah sebelum berperang."
Mata kami beradu pandang dan berada di dalam pikiran kalut kami masing-masing. Ternyata gue enggak bisa setegar dan sekuat wanita di luar sana.
Gue belum bisa sedewasa seperti yang kalian inginkan. Gue belum bisa menyeimbangi antara rasa dan logika.
Gue memilih menyerah memperjuangkan pernikahan ini. Apa artinya sebuah hubungan pernikahan jika terus begini.
Luv
Jangan lupa vote dan komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Merriage
RomanceCERITA LENGKAP!!! Kisah picisan antara mahasiswi dan dosennya. Avinza yang harus beradaptasi dengan kondisi barunya yang menyandang sebagai istri muda dari dosennya sendiri. Belum lagi menghadapi masa mudanya yang dikerumungi dengan kesenangan belak...