15. Kami memutuskan untuk

1K 64 0
                                    

S E L A M A T
M E M B A C A

__________________



Setelah mengantar bunda dan ayah, kami langsung mampir ke dokter Prima. Tempat praktiknya selalu ramai, makanya Pak Johnny sudah menghubunginya terlebih dahulu untuk mendapat antrean lebih awal.

"Nunggu satu pasien lagi." Gue mengangguk. Pak Johnny mengantongi gawainya dicelana bahannya.

"Mas," panggil gue. Kami di kursi tungu. Ramai, tetapi kami memilih di tempat yang berjarak dengan orang.

"Gimana? Haus?"

Gue menggeleng. "Enggak."

"Terus?"

"Gimana kalau kita memutuskan untuk punya anak."

Dia terdiam. Ini keputusan yang belum kami bahas sebelumnya. Sepanjang perjalanan, gue terus memikirkan hal ini. Semester depan gue bisa ambil skripsi karena hampir memenuhi syarat. Dan gue rasa dengan gue mengambil keputusan ini, gue bisa lebih semangat lagi dalam hal kuliah. Gue enggak bisa leha-leha sembari menunggu hasil kerja keras kami nanti.

"Karena sepupu-sepupu saya?"

"Bukan, Mas. Kan semester depan saya skripsi, kata Mas, kalau ngerjain sungguh-sungguh bisa cepat selesai. Toh, kita juga belum tentu dikasih langsung setelah ini."

"Saya enggak mau terburu-buru soal ini. Saya mau ini dari hati, bukan dari orang lain, Avinza."

"Mas, saya siap. Saya juga tahu resikonya nanti kalau nanti kita langsung dikasih momongan. Saya juga bisa cuti kuliah dulu."

"Kalau kamu cuti, tambah lama lagi kuliahnya. Saya enggak menuntut kamu untuk hamil sekarang, yang penting kamu lulus dulu. Soal anak itu rezeki."

Gue kicep. Harusnya bukan sekarang kita bahas ini. Panggilan dari ruang dokter menghentikan diskusi kami.

"Saya enggak mau, kamu terpengaruh sama sepupu saya."

Dia menggandeng tangan gue menuju ke dokter Prima.

Di dalam ruangan, seperti biasa kami membahas soal kesuburan dan kali ini ditambah dengan konsultasi keputusan gue. Gue lihat Pak Johnny sedikit kesal sama gue, tapi gue kayanya sudah siap untuk itu.

"Berarti ini berhenti kb?"

Gue mengangguk.

"Avin," kata Pak Johnny sedikit memperingatkan.

"Mas, kita dengerin dulu kata dokter Prima."

Untuk kali ini, gue mau egois. Gue beneran enggak tahu dapat bisikan apa sampai berani mengambil keputusan ini. Selama ini, kalau gue terlambat kb, kita bisa main aman.

Kami sedikit lega mendengar penjabaran dokter Prima. Gue berhenti kb juga belum dikasih secepatnya, anak itu urusan Tuhan. Pak Johnny menurut dengan keputusan gue.

"Terima kasih, dokter." Kami pamit.

Cukup menegangkan, tetapi merasakan Pak Johnny memeluk pinggang gue, rasanya aman-aman saja. Gue harap dia menerima keputusan konyol gue.

Kami memutuskan langsung pulang. Tugas banyak cuy.

Gue langsung menyambut tugas dan Pak Johnny memilih ke dapur untuk menyiapkan makan malam kami. Biarkan begini dulu, nanti juga akan mereda jika sudah diobrolkan dengan kepala dingin.

Baju rumahan sudah melekat ditubuh gue. Selamat bertugas Avinza.

Belum separuh menugas, Pak Johnny datang dengan segelas air putih dan apel yang sudah terpotong tanpa kulit. Dia tahu gue yang lupa segalanya kalau sudah menugas, jadi buah untuk cemilan. Dia menaruhnya di atas meja belajar gue tanpa suara.

"Makasih, Mas."

Gue pancing belum bersuara. "Mas marah?"

Dia malah membelai punggung gue. Gue enggak tahu apa maksudnya.

"Mas, ngomong dong," bujuk gue.

"Siapa yang marah, saya cuma masih belum percaya saja, kalau kamu kasih keputusan kaya tadi. Saya enggak mau kamu tertekan karena ini."

"Mas, ini kemauan saya. Saya enggak mau kesepian lagi kalau bunda sama ayah pulang. Saya enggak mau kesepian kalau mas sibuk di kampus."

"Mas ngertikan?" Gue meyakinkan dirinya.

Dia memeluk gue. "Iya."

"Berarti, setiap malam kita harus berusaha." Mata mesumnya bisa gue tebak. Kalau urusan begini saja dia cepat tanpa aba-aba juga.

"Enggak, sebelum tugas dari Mas selesai." Enak saja dia palak jatah terus tanpa lihat gue yang sengsara karena tugasnya.

"Melayani suami kan, kewajiban kamu, Avinza."

"Mas tuh, kalau soal kaya gini gercep. Enggak tahu istrinya kesiksa gara-gara tugas kamu."

"Gitu ya?"

Gue mengangguk menampilkan muka memelas. Sekali-kali kek dia ingat kalau mahasiswa juga punya tugas lain selain tugas darinya.

Keputusan gue sudah diterima Pak Johnny. Gue harus siap dengan segala konsekuensinya. Lelahnya skripsi dibarengi dengan ngidam atau skripsi direcoki suara tangis bayi. Gue harus siap semuanya.

"Saya masak dulu, nanti kalau saya panggil, kamu harus turun buat makan."

"Iya," jawab gue.

"Okey, saya tinggal." Dengan sapuan kecupan di pucuk kepala gue.

"Mas nanti sekalian diberesin ya dapurnya. Tolong. Saya sibuk nugas. Ya, ya," pinta gue sebelum dia benar-benar pergi.

"Iya. Tapi kalau kurang bersih, jangan ngomel ya."

"Iya, Mas."

Begitulah gue dengan keputusannya. Gue harap jalan yang baru gue buka akan sesuai dengan harapan.

Kayanya, kalau damai gini, keputusan apapun bakal bisa dibicarakan baik-baik deh.

Satu jam berlalu dan pak Johnny sudah memanggil gue. Waktunya makan malam. Gue udah janji bakal langsung turun kalau dipanggil.

Bau masakan Pak Johnny sangat wangi. Soal rasa enggak perlu diragukan lagi. Masakan gue saja kalah saing. Bisa bayangin bagaimana wanginya dapur kalau Pak Johnny dan Garnis berjodoh.

"Menugas juga butuh tenaga. Makan yang banyak." Dia menyentong nasi buat gue.

"Makasih, Mas."

"Sama-sama sayang."

"Makasih mas Johnny yang kiyowo," ucap gue menggoda.

Ah! Reaksinya sangat lucu sekali. Dia kaya anak perawan yang digoda pemuda ganteng. Salah tingkah dan pipinya sedikit memerah. Dia ini lebih lemah dari gue kalau digoda.

"Apaan sih, Avin."

"Belajar dari mana sih, bilang kiyowo gitu?" tanya gue menyendok nasi dan lawuk.

"Sudah Avin. Saya laper. Tugas kamu juga menunggu."

Enak juga menggoda pemuda ganteng yang satu ini. Kapan-kapan gue goda lagi biar dia enggak narsis keblabasan.

Our Merriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang