34. Pesta Pernikahan

914 67 3
                                    

POV PAK JOHNNY


Kebohongan yang aku simpan selama ini ternyata hanya berbuah manis untuk Garnis saja. Aku Johnny Soeherman, tak pernah dan takan mengatakan kebenaran tentang penyebab perpisahan aku bersama Garnis. Ternyata pikiran aku tak sejalan dengan keadaan sekarang. Semakin lama aku pendam malah menyakiti aku dan istriku. Semua nazarku justru menimbulkan luka untuk orang yang kusayangi, istriku. Masalalu yang tak ingin aku ingat malah menjadi bumerang sendiri.

"Mah, udah berapa kali Jo bilang, Mama jangan ngomong aneh-aneh ke Avin."

Muka Mama seakan merah padam. Mama memang tak pernah merestui aku menikah dengan anak Om Kenan-anak tetangga Eyang dulu di Semarang. Satu lagi rahasia yang belum diketahui oleh Avin jika kami dulu pernah sedekat nadi.

"Kenapa lagi Jo? Avin ngadu apa sama kamu? Perasaan Mama nggak ngapa-ngapain."

Aku mengusap wajah kasar. Begitulah Mama. Ia tak pernah membenci Avin, tetapi kehadiran menantunya belum ia terima seutuhnya. Semua karena masih berada dibayang-bayang Garnis yang mereka anggap sempurna. Bukankah di dunia tak ada makhluk yang sempurna.

"Seburuk apapun, Mama memperlakukan Avin. Dia enggak pernah mengadu apa-apa ke Jo."

Jo, begitulah Avin dulu memanggilku. Sampai sekarang aku masih menyukainya. Avin tak pernah mengatakan apapun kejelekan Mama di depan gue. Namun, sikapnya akhir-akhir ini aneh semenjak ia pergi berdua dengan Mama.

Avin lebih banyak menyendiri dan banyak diamnya. Tak pernah memulai pembicaraan kecuali jika sangat-sangat kepepet, seperti minta diambilkan handuk jika ia sudah terlanjur masuk kamar mandi.

Aku tak tahu lagi apa yang akan ia minta untuk membentengi dirinya dariku.

"Mama cuma cerita tentang Garnis. Cuma itu. Apa salahnya mengingat masalalu."

Memang tak salah. Namun, yang aku tahu Avin agak sensitif jika bersinggungan dengan Garnis. Aku pun tak tahu mengapa. Padahal aku sudah bercerita sedikit tentang perempuan itu ke dia-bukan cerita sesungguhnya.

"Mah, kan bisa bahas hal lain. Garnis itu masalalu." Dan Garnis bukan perempuan baik seperti yang Mama kira. Ada rahasia besar yang tak bisa kuceritakan ke keluarga. Ini aib dan aku tak bisa mengumbar aib sembarangan.

"Benarkan, Avin tuh kekanakan. Masa bahas Garnis saja dia cemburu. Kamu sudah cerita kan, kalau Garnis mantan tunangan kamu?"

"Mah, Avin tak seperti yang Mama kira. Dan Garnis tak sebaik yang Mama kira."

Mama terdiam cukup lama. Ini pertama kalinya aku berdebat hebat dengan Mama setelah melewati masa ketika aku meminta meminang Avin. Mereka cukup terkejut dengan keputusanku. Namun, inilah takdir yang lucu. Setelah sekian lamanya tak berjumpa, kini kami berakhir dalam satu kampus dan aku memberanikan diri mendekatinya disaat dia masih punya kekasih.

Om Kenan bukan orang asing untuk keluarga kami. Namun, rasa-rasanya meyakinkan keluarga bahwa keluarga Om Kenan lebih baik dari keluargaku, sangat susah.

Dari kelas satu SMP, aku dititipkan di Eyang. Kedua orangtuaku tinggal di luar Jawa dengan usahanya yang jaya. Namun, uang mereka tak pernah memberi kebahagian untukku. Bertemu orangtua cuma satu kali setiap tahunnya membuat aku merasa sendiri.

Hari-hariku hanya ditemani Eyang yang hidup sendirian. Tibalah Om Kenan yang biasa bertamu di rumah Eyang setiap hari minggu. Tak cuma Om Kenan, gadis kecilnya juga ia ajak dan sering mencuri permen milikku yang kusimpan di meja belajar.

Dia, Avinza yang mengajariku betapa indahnya kebersamaan dengan keluarga. Aku bisa merasa gentle ketika melihat dia di-bully teman-teman SD-nya karena ia pintar. Ia juga mengajarkan aku arti tanggungjawab, aku bertanggungjawab ketika Avin menganggap aku sebagai kakak laki-lakinya. Namun, semua hanya sekejap dan menjadi kenangan karena saat aku akan naik kelas tiga SMP eyang dipanggil Tuhan dan aku harus kembali ke Jakarta.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang