18. Ujian dari mantan

1K 52 2
                                    

SELAMAT MEMBACA
_______________


"Jangan kemalaman pulangnya, ya." Akhirnya, Pak Johnny merelakan gue nongkrong sendirian.

Tak segampang itu gue bisa lolos. Gue harus memastikan kalau gue bisa diantar pulang Jamal pulang nongkrong dan kondisi gue harus sadar. Jaminan nilai kali ini tak main-main.

Gue sudah pesan kopi hitam yang sebenarnya kurang gue suka. Ketika dilihat dari sini, mereka sedang asyik ngobrol, Mas Tyok dan Haekal ini kenapa ya mereka ini kalau melirik satu sama lain sinis-sinisan gitu. Apa ada masalah diantara mereka.

Langkah gue mendekati mereka. Pesanan Mas Tyok dan Haekal sudah tiba ternyata.

"Jadi, kalian bisa skripsian bareng dong?" Mas Tyok menatap gue yang baru gabung lagi.

"Ya gitu deh," balas Melisa.

Obrolan mereka semakin melarutkan. Namun, gue dari tadi cuma diam memainkan gelas dan sesekali menanggapi mereka dengan senyum. Satu hal yang bikin gue kaget, ternyata Haekal dari tadi memperhatikan gue. Bukan dari ekor mata, tapi gue melihat jelas ketika mata gue enggak sengaja melihatnya.

Gue menghiraukan dia. Meskipun lama kami enggak bertemu bahkan ngobrol, tapi gue masih bisa mengartikan tatapan dia. Please, gue sudah mencoba move-on darinya dan enggak mau ada ujian dari mantan cuma dari cara dia menatap gue.

"Mbak kopinya."

Gue sedikit tersentak akan kedatangan pelayan di samping gue. "Iya, Mas. Makasih."

Haekal yang menggeser cangkir kopi ke gue. Namun, ia kemudian menggeser kopi pesanan gue ke hadapannya.

"Punya gue," cicit gue.

Dia cuma diam dan menyesap kopi gue seenak jidat. Apaan sih maksud dia. "Red velvet bikin kamu sakit gigi. Kopi hitam bikin kamu insomnia. Jangan siksa diri kamu, Shita."

Gue mendelik. Peduli apa dia sama gue. Bukannya kita sudah enggak ada hubungan apa-apa lagi. Kenapa dia masih mau ikut campur sampai sejauh ini.

"Bukan hak lo ngatur-ngatur!" Gue kesal karena kopi pesanan gue direbut.

"Sorry. Tapi, memang kamu enggak bisa minum ini."

"Setiap orang bisa berubah seleranya. Kenapa kamu enggak bisa menghargai itu." Kini Mas Tyok menimpalinya dan terdengar membela gue. Mas Tyok selalu sesuai tugasnya.

Oh shiit! Mereka kenapa sih? Ini baru pertama kalinya gue duduk bersamaan dengan kedua manusia ini. Bukannya dulu akur-akur saja, bahkan Haekal ini penganggum Mas Tyok—walaupun kadang kesal karena gue dekat sama Mas Tyok dulu pas zaman pacaran.

Haekal hanya diam. Dia kembali menandaskan kopi hitam gue. "Lo yang bayar," kesal gue kepadanya. Enak saja uang suami gue buat bayarin segelas kopi untuk mantan.

Dia cuma nyegir nyebelin.

Meja kami yang biasanya ramai, kini anteng. Ini gara-gara ada Haekal yang bikin kacau. Kalau cuma ada Mas Tyok pasti gue masih adem-adem saja, bahkan gue bisa konsultasi tugas.

"Vin, lo kayanya harus balik deh. Katanya, nyokap lo di sini," ujar Jamal dengan gelagat aneh dan gue menangkap itu.

"Next time, kita lanjut nongkrong lagi. Gue juga udah capek nih," keluh Melisa mendukung.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang