30. Gerbong Kereta

814 71 6
                                    

Setelah kejadian di Kota Lama. Dengan kekakuan mulut Pak Johnny, dia pelan-pelan mulai terbiasa dengan kata saya diganti dengan aku.

Rasanya memang ada adrenalin tersendiri. Apalagi mengingat nanti di kampus kalau-kalau kami keceplosan.

Bunyi kereta menggema dengan lantang. Gerbong yang saling bertaut seakan enggan lepas. Memang harusnya begitu saling berbagi beban daya tampung yang banyak untuk memudahkan umat manusia.

Di dalam gerbong tiga. Gue duduk dekat jendela dan Pak Johnny di samping gue dengan gawainya. Pasti dia sangat kualahan dengan pekerjaannya yang tertunda karena menemani gue liburan satu minggu ini di Semarang.

"Mas, aku pengin mi cup." Tenang ini bukan ngidam. Jangankan ngidam, kami berhubungan lagi saja belum. Enak sekali punya suami pengertian sepertinya.

"Ada-ada aja kamu."

Kebetulan ada pramuniaga kereta dengan storelnya. Jajanan lengkap dan makanan instan yang sedang gue idamkan.

"Goreng?"

Gue menerima setelah beberapa menit menunggu. Perjalanan pulang kali ini, gue enggak sendirian. Pak Johnny bakal jadi sandaran gue ketika gue terkantuk-kantuk. Pak Johnny juga akan jadi teman ngobrol seru gue.

Good bye Semarang dan kenangannya.

Suara dentuman rel kereta menjadi pengantar perjalanan kami. Pak Johnny tak banyak bicara dan ia hanya sesekali makan ciki yang gue beli di jalan. Ia hanya banyak minum air putih saja yang katanya menyehatkan.

"Kenyang aku, Mas."

"Kemarin, pas pulang sendirian gini juga, banyak makan?"

Gue menggeleng. Boro-boro makan, minum saja perut bisa mual gara-gara mas minyak wangi-efek hamil juga.

"Kelaperan dong?"

"Iya, tapi pas itu enek buat makan. Kan ada ... di dalam perut." Gue mengelus perut rata gue.

Keadaan bisa secepat itu berubah. Kemarin dari Jakarta ke Semarang gue dalam kondisi hamil, sekarang dengan sadar perut gue rata kembali.

Di selimuti dinginnya ac, gue meringkuk merangkul Pak Johnny. Perjalanan malam tak banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Sesekali hanya deretan kendaraan yang terlihat menunggu palang kereta terbuka.

"Avin," panggil Pak Johnny.

"Iya, Mas."

"Terima kasih sudah mau melewati semua perjalanan hidup bersama saya. Saya enggak janji, tapi harus. Harus bahagiakan kamu sampai kapan pun."

"Mas. Kamu kesambet apa deh."

Kecupan lama mendarat di pucuk kepala gue. "Avin, kamu percaya kan, kalau saya menikahi kamu karena saya cinta sama kamu. Cuma kamu yang bisa bikin mas jatuh cinta." Masih kaku saja.

Hati gue bertalu-talu. Selama ini, Pak Johnny tak pernah berlebihan berbicara soal betapa ia mencintai gue. Cinta dan cemburunya selalu ia perlihatkan dengan aksi-aksi yang kadang sulit gue mengerti.

"Aku juga begitu kan, Mas?" Gue mendangak ingin membaca wajah Pak Johnny. Sayangnya, hanya raut datar yang dia tampakan. "Tapi bentar deh. Mas tumben aneh."

"Aneh, karena saya."

"Aku," koreksi gue.

"Karena a ...ku jarang bahas kaya gini. Dan sepertinya, mulai sekarang aku bakal ngomong i love you sejuta dalam sehari."

"Tanpa kamu ngomong pun, aku tahu kok Mas."

"Ya supaya lebih jelas saja."

Gue berdecak. Kenapa manusia yang satu ini.

Gue baru sadar jika kami sedang menjadi perhatian oleh kursi sebelah. Pasti dia geli mendengar percakapan kami.

Seiring irama peraduan rel kereta hawa dingin terus menyelimuti. Gue sampai memeluk Pak Johnny erat. Namun, pergerakan darinya merenggangkan pelukan gue.

"Aku kebelet. Kamu bisa di sini sendirian kan?"

Selagi menunggu Pak Johnny pergi. Gue memandangi jendela kereta yang lagi-lagi gelap di luar sana. Tak banyak pemandangan yang gue lihat dalam perjalanan panjang.

Notifikasi pesan dari gawai Pak Johnny. "Lah dia enggak bawa ini," ucap gue menemukan gawai di bawah jaketnya yang sengaja ia tinggal di kursi kereta.

Jujur, gue enggak pernah kepo tentang isi gawai Pak Johnny. Selama kami menjalin hubungan, gue sama sekali enggak pernah mengecek apapun di dalamnya, kecuali kalau kami baru berswafoto dan kalau bagus gue minta dikirim fotonya. Itu saja tak muluk-muluk.

Seperti sekarang. Gue pun enggak peduli dengan notifikasi yang bunyi. Gue cuma ingin memindahkan gawai ke tas kecil gue, takutnya gue ketiduran sebelum Pak Johnny datang.

Lagi, tanpa sengaja gue mendengar notifikasi. Tanpa sengaja gue melihat nomor yang tertera di layar. Cuma nomor tanpa disimpan.

+6288*******
Mas, Avin apa kabar?

+6288*******
Katanya kamu pulang hari ini?
Turut prihatin yah.

Gue penasaran sekali dengan pemilik nomor ini, tetapi gue enggak bisa membuka pesannya karena takut ketahuan jadi gue biarkan pesan itu terbengkalai. Gue membuka aplikasi hijau. Kali ini gue ingin tahu siapa saja yang berhubungan dengan Pak Johnny.

Baris teratas tersemat kontak Mama dan Gue. Pesan terbaru ada mama, nomor tak disimpan, dan grub dari kampus. Dari beberapa baris pesan, yang paling menarik adalah pesan terakhir dikolom pesan mama. Pesan bercentang biru beberap jam lalu.

Mama
Beri saya kesempatan untuk membuktikan kalau dia mampu, Mah.

Masalah apa Pak Johnny dengan mama sampai memohon begitu. Gue menengok ke belakanh untuk memastikan Pak Johnny belum sampai di gerbong ini. Buru-buru gue masuk ke dalam kolom pesan antara anak dan Mama.

Dengan cepat gue menggulirkan pesan dari atas yang mulai membahas persoalan di bawah tadi. Mata gue tak lepas ke arah belakang takut Pak Johnny tiba-tiba sudah di belakang gue.

Seperti diberi bom waktu, gue buru-buru membaca pesan-pesan yang ada. Tubuh gue melemas seketika. Gue enggak bisa melanjutkan pesan-pesan mereka. Gue gemetar dan hati gue seperti tersayat jutaan belati.

Kehadiran Pak Johnny mengharuskan gue tenang seperti orang bego. Jutaan kali gue menahan supaya tak mengeluarkan air mata di hadapannya.

"Kamu enggak tidur?"

"Nunggu kamu." Sebisa mungkin gue berpura-pura seolah-olah tak pernah melihat apa yang seharusnya tak gue lihat.

Mama. Mertua yang gue kira dengan baik menerima segala kurang gue, ternyata berbanding kebalik dengan fakta.

Mama. Mertua yang selalu memberi gue senyum sumringah ketika sepupu-sepupu Pak Johnny menatap sinis ke arah gue. Mama. Mertua yang dulunya gue anggap menerima kehadiran gue, ternyata ia hanya ingin mewujudkan keinginan putra semata wayangnya.

Mama yang kata Pak Johnny lebih suka berterus terang, nyata tak menunjukkan itu ke gue.

Ayam serundeng yang ia buat dulu sampai gue bawa pulang, ternyata itu permintaan Pak Johnny. Permintaan maaf yang ia berikan saat gue dan teman-teman tertawa terbahak juga itu permintaan Pak Johnny. Mama tak begitu merelakan gue mendampingi anak kesayangannya. Dia masih terbayang memiliki menantu seperti Garnis.

Kereta tak selalu membutuhkan gerbong. Tanpa gerbong pun ia masih bisa melintasi setiap rel sampai tujuannya. Ia mampu berjalan sendirian dan menemukan tujuan akhirnya.

Bisakah kelak gue menemukan tujuan hidup gue sendirian?

Dalam diam gue menangis. Pak Johnny sudah tertidur dan mendekap tubuh gue.










Yahhh. Ayo marah dan kecewa bareng aku.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang