40. End

1.6K 72 12
                                    

Halo, aku Kak Vii.

Dipenghujung cerita ini, aku mau ngucapin banyak-banyak terima kasih karena sudah suport aku dari awal. Tanpa kalian, cerita ini enggak bakal selesai. Vote dan komen dari kalianlah yang menciptakan energi menulisku.

Pokoknya terima kasih sudah mengikuti cerita ini.

Aku sampai terharu bisa menulis perpisahan ini dengan kalian di lapak ini.

Untuk menghibur kalian lagi, aku bawa cerita baru. Cek profilku ya.

Luv segenap jiwa dan raga dan seluas isi jagat raya.

_____________



"Shita, anak lo buat gue ya!"

Kalian pasti tahu siapa yang memanggil gue dengan nama Shita. Haekal satu-satunya orang yang dengan lantang memanggil gue dengan nama Shita.

"Haekal, diem dong. Dia baru tidur tahu," kata gue kesal. Lima menit sebelum Melisa, Jamal, dan Haekal datang, anak gue baru tidur. Kalau bangun anteng sih nggak masalah. Pasalnya, dia dari tadi rewel dan gue baru bisa bernapas lega setelah ia terlelap.

"Kita enggak bisa diem kalo soal ini," imbuh Melisa bikin gue tambah naik darah pasalnya ia terus mencium pipi gembulnya anak gue.

Penyesalan terbesar gue adalah memberi alamat rumah lengkap ke mereka setelah gue menyandang gelar sarjana dan menyandang status sebagai ibu muda.

Gue lulus lebih cepat dari perkiraan gue. Dan setelah berbulan-bulan tak bertemu dengan sahabat-sahabat gue-tambah Haekal-bukan sahabat gue, mereka menyambangi gue ke sini. Rumah makin ramai saja.

"Gue doa-in mirip Pak Johnny kelakuannya " sentil Jamal.

"Mending lo doa-in gue banyak duit buat beli popok," sahut gue kesal.

Bukan apa-apa. Tapi kalau kelakuannya mirip Pak Johnny gue bisa lebih darah tinggi. Kalau anak gue pandai bohong gimana? Mampus gue nanti.

"Lo pas ngidam dendam kesumat ya, sama Pak Johnny?" Haekal kembali mengoceh.

"Kenapa memang?" Gue penasaran. Dia kan enggak tahu kalau selama proses gue hamil banyak drama rumah tangga.

"Persis kaya Pak Johnny ketimbang lo."

Haekal bikin mata gue melotot. Anak gue nangis, satu-satunya cara membuat tangisnya berhenti adalah dengan menyusuinya. Ada mereka-mereka mana mau gue mengumbar aset gue ke mereka. Akhir-akhir ini gue sudah jarang menyetok susu banyak-banyak di dalam kulkas karena gue lebih sering menyusuinya langsung-karena gue menganggur di rumah. Soal pekerjaan rumah sudah ada yang bertugas.

Susu formula? Anak gue enggak doyan.

"Minggir lo!" Gue menggendong anak gue ke dalam kamar kesal. Persediaan asi gue habis di kulkas saking rewelnya anak gue. Gue enggak sempat memompa untuknya.

"Susuin di sini kali." teriak Haekal.

"Mata lo!"

Begitulah repotnya sebagai ibu muda. Jauh dari bunda yang seharusnya bunda mengedukasi gue yang masih awam.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang