31. Luka dan pendewasaannya

821 64 4
                                    

Mimpi terburuk gue akhir-akhir ini adalah isi pesan dari Mama di gawai Pak Johnny. Bahkan ini juga menjadi bagian terburuk dalam hidup gue. Gue tahu jika gue jauh dari kata sempurna sebagai menantu, tetapi apa tak boleh jika gue menyematkan sebagai istri yang bakk untuk suami sendiri.

Mama
Garnis kurang apa, sampai kamu meninggalkan dia dan malah menikahi Avin?

Siapa yang benar di antara Pak Johnny dan Mama. Garnis, perempuan itu ditinggalkan Pak Johnny atau perempuan itu yang meninggalkannya?

"Semangat bimbingan di hari pertama."

Mimpi buruk itu terkikis dengan manisnya perlakuan Pak Johnny setiap saat. Berkali-kali gue ingin menyudahi hubungan ini, berkali-kali pula bayangan perasaan Pak Johnny hadir.

Mengapa lelaki itu mau berjuang sendirian tanpa berbicara apapun ke gue. Mengapa ia begitu kekeh mencintai gue dengan segala kekurangannya ini.

"Mas, saya turun dulu ya."

"Aku Avin. Katanya aku-kamu-an."

Gue diam enggan menanggapi. Seperti biasa, kepala gue dicium sebelum kami berpisah.

Semester ini, gue memberanikan diri nebeng Pak Johnny ke kampus. Dengan segala paksaan gue menurut saja.

"Kabarin kalau mau pulang."

"Aku ke kos Melisa."

"Nanti saya jemput."

Suasana parkiran lenggang. Hanya segelintir mahasiswa yang sesekali lewat. Gue buru-buru lari menghindari gosip kampus. Reputasi gue enggak boleh hancur karena sekarang gue masuk babak terakhir dunia perkuliahan.

Apartemen Jamal menjadi tujuan gue. Melisa tadi menghubungi gue jika dia sudah di sana sedari tadi. Gue langsung meluncur dengan ojek online.

"My bestie!" teriak Jamal memberi gue tempat duduk di sebelahnya.

"Lo kenapa, Mel?" Mata Melisa lembab seperti habis nangis.

"Putus cinta," jawabnya enteng meskipun ia menyeka air mata.

"Serius?!"

"Makanya, buka grub. Lo kenapa sih, setelah liburan malah susah dihubungi?" Melisa masih bisa ngomel meski air matanya sesekali masih jatuh.

Gue cuma bisa diam dan memalingkan wajah agar mereka tak tahu kondisi batin gue yang sedang beradu.

"Lo beneran putus?" tanya gue setelahnya.

Melisa begitu terpukul dengan pertanyaan dari gue. Mungkin ini beneran terjadi-mereka putus. "Kenapa?"

"LDR itu bullshit. Kalian tahu kan, gue enggak pernah percaya yang namanya LDR."

"Jangan dipukul rata dong." Jamal tak terima.

"Up to you, Mal. Kenyataannya gitu, kalau enggak cewek ya cowoknya yang belok."

"Bisa jadi Regal setia sama lo ."

"Gue enggak yakin. Tapi, gue tetap enggak bisa LDR-an."

Gue cuma memperhatikan perdebatan mereka. Setiap hubungan-orang punya masalahnya masing-masing. Gue enggak bisa membandingkan masalah siapa yang paling berat dan siapa yang paling ringan. Semua ada porsinya masing-masing.

"Lo liburan ngapain aja sih? Lo jadi aneh tau nggak. Diem, bengong, jarang nimbrung digrub. Ada yang berubah dari lo, Vin." Melisa mengamati gue lekat.

"Iya kah? Perasaan gue sama saja kaya kemarin-kemarin."

"Cerita lo. Lo kenapa?"

"Enggak kenapa-napa, Mal, Mel. Gue cuma lagi fokus skripsi." Gue memang lagi gencar-gencarnya fokus skripsi sekaligus mengolah luka gue. Hidup menuju dewasa lebih dihantui rasa takut ketimbang hidup menginjak masa remaja.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang