38. Satu tuju

904 67 6
                                    





Gara-gara mama tidur di sini gue harus satu ruangan dengan Pak Johnny. Padahal gue sudah terbiasa dengan kesendirian ini. Walhasil kami jadi canggung sama lain. Akh! Malah keingat malam pertama kami yang masih malu-malu tapi sama-sama nyosor gara-gara penasaran rasanya gimana.

"Aku tidur di bawah juga enggak masalah," ucapnya menenteng dua bantal-bantal kepala dan guling. Di sisi kirinya badcover yang masih rapih.

"Ya sudah," kata gue. Barangkali dia juga sudah terbiasa sendiri. Lagian, gue juga enggan berbagi kasur karena kasur di kamar ini tak sebesar kamar utama.

Sialan! Kenapa gue malah enggak bisa tidur. Gue melirik ke bawah melihat Pak Johnny yang sudah memejamkan mata di atas selimut tebal tersebut. Pelor juga tuh orang.

Berkali-kali gue mencoba memejamkan mata, tetapi selalu nihil. Yang ada gue malah emosi sendiri. Berkali-kali gue bergonta-ganti mencari posisi nyaman.

Emosi bikin gue haus. Jam sudah menunjukan tengah malam. Lampu-lampu di matikan dibeberapa titik, termasuk dapur.

Saking hausnya gue buru-buru menurunkan kaki ke lantai tanpa ingat kalau ada manusia di bawah gue. "Maaf Pak, Mas," pekik gue ketika Pak Johnny mengadu kesakitan. Lebih tepatnya kaget karena ia sudah tidur dari tadi. Gue juga kaget karena sudah menginjak tubuh orang.

"Mau ngapain?" tanyanya.

"Enggak," ucap gue cepat.

"Minum?"

Dari pada gue membayangkan yang iya-iya mending jujur saja. "Em." Gue penakut sekali. Keparnoan gue tentang hantu memang sudah melekat dari kecil.

"Ya sudah tunggu." Setengah mengucek mata, Pak Johnny pergi meninggalkan gue sendirian di sini. Sudah gue cegah dan gue tetap kalah.


Gue menunggu dia datang dengan mengayunkan kaki di bawah dan mengelus perut rata gue. Malang sekali nasib anak ini. Harus ikut berjuang menggarap skripsi.

Jadi gue menemukan penyebab gue enggak bisa tidur. Ada yang kurang, yakni ac tak dinyalakan. Panas! Gue enggak bisa tidur kepanasan gini. Kenapa baru sadar sekarang. Gue mencari remot ac dan menyalakannya.

Pintu kamar terbuka menampilkan sosok Pak Johnny yang membawa segelas besar air putih dan satu botol berukuran satu liter di tangan sebelahnya berisi air putih juga. Mungkin, buat jaga-jaga kalau gue kehausan lagi.

"Kalau kamu haus lagi, ini bisa jadi persediaan."

"Iya, makasih."

Kami kembali ke tempat masing-masing. Gue meneguk air putih dan Pak Johnny duduk di atas selimut tebal. Perasaan gue lebih baik sekarang.

Gue berbaring menunggu rasa kantuk di tengah malam. Guling sana guling sini. Gue sudah mencoba tetapi selalu nihil. Bukan ac yang menyebabkan gue imsonnia.

"Kenapa? Enggak bisa tidur." Ucapan Pak Johnny menghentikan kegelisahan gue.

"Mau aku temenin ngobrol?"

Aku berbaring menghadap ke arah Pak Johnny. Lelaki itu tarnyata memejamkan mata. "Ngobrolin apa?" tanya gue.

"Apa saja. Skripsi kamu, masalah kita, atau ... cerita oppa ganteng yang kamu sukai."

Percayalah, dia ini paket komplit sekali. Bisa bikin gue kecewa dan bahagia sekaligus. "Opsi pertama kayanya enggak mungkin." Senyum gue pudar. Siapa yang mau bahas skripsi di waktu yang salah. Kalau bahas aktor korea, dia mana nyambung.

Mata Pak Johnny terbuka. Gue membaringkan badan supaya tak ketahuan jika dari tadi gue memperhatikannya dari atas sini. Dari ekor mata, gue melihat Pak Johnny memiringkan badan ke arah gue.

"Kamu serius minta pisah?"

Deg! Ada rasa ngilu di relung hati gue kembali datang. Hati kecil gue berkata lain dengan lisan gue yang selalu minta pisah. Apalagi ketika kita pisah nanti bakal ada suara bayi yang akan menemani hari-hari gue. Namun, logika harus berjalan. Gue sudah terlanjur sakit. Pak Johnny bisa kapan-kapan menjenguk anak kita nanti.

Hati dan logika harus berjalan saat berhadapan dengan cinta. Jika hanya salah satu saja yang berjalan, maka cinta akan pincang.

"Dua-rius."

"Terdengar becanda, tetapi bermakna serius," ucapnya. "akhir-akhir ini aku bahkan tak bisa menebak apapun dari kamu."

"Aku juga enggak bisa nebak jalan pikiran kamu, Mas."

Kami terdiam. Entah kemana arah pembicaraan kami. Yang pasti dia sudah mendengar keputusan akhir gue.

"Kita punya satu tuju, saling bahagia," ucap gue memandang langit-langit kamar. "namun, penyebab kita bahagia, bukan lagi orang yang sama."

Waktu berputar terus menerus dan akan merubah kondisi. Seiring berjalannya waktu kita akan menemukan kebahagiaan sendiri nantinya.

"Aku hargai keputusan kamu."

Tak terasa air mata gue mulai membasahi mata kanan kiri gue. Tak ada perpisahan yang tak menyakitkan. Kadang kita perlu membohongi hati terlebih dahulu untuk mengatakan perpisahan itu indah dan lebih baik.

"Kamu bisa jenguk anak kita nanti sesuka kamu. Aku enggak akan membatasinya. Asal satu," ucap gue menggantung. "jangan ambil dia dariku. Sebab cuma dia yang kupunya nanti."

Sulit sekali menahan parau akibat tangis. Gue sudah enggak bisa lagi berkata-kata takut ketahuan kalau gue menangis karena persiapan perpisahan ini.

"Bagaimana dengan aku yang tak punya apa-apa lagi setelah kita pisah?"

Air mata gue banjir. Ada sesegukan yang gue ciptakan, tetapi gue menahannya dengan bantal. Sesiap apapun gue minta berpisah, ternyata rasa sakit itu tetap ada. "Mas punya masa depan. Sedangkan, aku hanya sarjana sekaligus janda muda yang memiliki banyak kekurangan."

Ada dua sekaligus gelar yang akan tersemat untuk gue di tahun ini-janda dan Sarjana Sastra semoga skripsi lancar. Gue enggak perlu menjelaskan tentang stereotip janda di masyarakat. Entah mengapa wanita selalu menjadi tempatnya salah jika sudah berumah tangga.

"Aku mau kamu baik-baik saja setelah kita berpisah," pintaku.

Semoga kamu juga baik-baik saja.

"Asal kamu tahu, Avin. Aku takan pernah menganggap perpisahan ini ada, karena kamu akan dan selalu ada diseparuh jiwaku."

Malam ini menjadi malam menyakitkan dan seterusnya akan begitu. Karena kami sudah merelakan satu sama lain. Tepatnya gue yang merelakan. Pak Johnny harus mencari kebahagian yang lebih sempurna. Aku tahu ia pasti sangat kecewa dengan keputusan gue, tetapi di sini gue akan selalu sakit hati jika meneruskan semua ini. Gue akan terus terluka dengan oleh bayang-bayang Garnis.

Mama dengan ekspektasinya, Pak Johnny dengan kebohongannya.

Sulit bagi gue menerima keadaan seperti semula.

Tangis gue menghantarkan tidur. Meskipun di ujung sadar gue, gue merasakan ada kecupan halus mendarat di kening gue.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang