7. Membahas masalalu

1.2K 62 2
                                    

Mood gue hancur lebur tak karuan dari kemarin. Selepas dari rumah mertua, gue lebih banyak diamnya. Pak Johnny tanya juga gue jawab seperlunya. Bahkan, Jamal dan Melisa juga kena imbasnya.

"Lo sensi amat dari tadi." Melisa menyeruput jus sirsak andalannya.

"PMS lo? Mau jalan-jalan ke mana," hibur Jamal yang bahkan kali ini tidak mempan sama sekali.

"Tau ah, gue bingung sendiri." Gue berlalu meninggalkan mereka. Pasti mereka bingung dengan kelakuan gue sekarang.

Sorry, gue enggak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kalau gue cerita bisa berbuntut panjang nantinya.

Bukan saat perkara duduk melingkar di meja makan saja. Gue juga tertampar saat salah seorang perempuan yang membantu di rumah memberi bingkisan ke Pak Johnny.

"Ini mas dari Mbak Garnis."

Setelah dibongkar isinya kotak cincin berinisialkan mereka J & G. Ini alasan kenapa Pak Johnny enggan bercerita tentang orang-orang di masalalunya, sedikit masuk akal jika dia enggan bercerita soal mantan karena hubungan mereka sudah sedekat itu. Hati gue kembali bergemuruh dan sesak.

Gue entah mau pergi ke mana selagi menunggu kelas lagi. Bolak-balik kampus rumah lumayan memakan waktu jadi, gue muter-muter cari tempat buat galau-galauan sementara.

Embung kampus menjadi tempat adem untuk mencurahkan kesedihan gue. Meskipun cuaca panas, tetapi di sini tidak akan merasakan ganasnya sengatan matahari. Percayalah di sini tempat terasri yang gue temui. Ada beberapa orang yang lari ke sini untuk sekadar nongkrong atau pacaran bahkan sama halnya dengan gue. Gue duduk di salah satu kursi yang menghadap genangan air yang tersisa.

"Dasar pembohong handal!" rutuk gue untuk Pak Johnny. Dari kemarin, dia cuma melihat tingkah uring-uringan gue tanpa mau menyembuhkannya. Dia juga kayanya enggak peduli soal rasa kesal ke Garnis-Garnis itu. Dia juga enggan cerita perihal cincin itu.

Kekesalan gue harus terjeda karena ada panggilan masuk dari Pak Johnny. "Ngapain dia nelepon?"

Daripada membiarkan benda kotak ini bunyi terus. Gue memilih menggeser tombol hijau.

"Dimana? Kok cuma ada Melisa sama Jamal di kantin? Enggak mungkin puasa kan? Tadi pagi kan sarapan sama saya."

"Bisa enggak sih nanya satu-satu," kesal gue. Rasanya gue sebel banget sama Pak Johnny setelah kejadian di rumah Mama.

"Iya-iya. Kamu di mana sekarang?" Terdengar nada sabarnya Pak Johnny.

"Di embung. Kenapa, mau nyusul?!" Sedikit ketus karena gue masih kesal dengannya. Gue ngomong gitu juga karna gue tahu Pak Johnny juga enggak bakal menghampiri gue di sini. Ini masih area kampus dan gue sudah bilang ke dia untuk tidak pernah berkomunikasi di area kampus, kecuali pas ada urusan kampus.

"Ya sudah. Jangan macam-macam di sana."

Dia pikir gue mau apa di sini? Nyeburin diri ke embung. Gue enggak mau mati konyol gara-gara cemburu kaya gini. Apaan Garnis, dia secantik dan sempurna tapi enggak bisa dapatin Pak Johnny—tapi gue bukan pemenang sesungguhnya.

Gue mematikan sambungan telepon dari Pak Johnny.

Lagi-lagi gue harus tertampar kenyataan yang sepet tak seperti dedaunan hijau yang dihembus mesra oleh angin. Melihat orang kasmaran di sisi kiri kursi gue rasanya iri.

Walhasil, gue cuma bisa menikmati pemandangan di sini dengan memainkan kedua kaki gue. Gue bingung dengan keadaan gue sekarang.

"Coklat dingin untuk orang galau."

Gue cukup terkejut dengan suara yang sangat familiar. "Mas," pekikku.

"Aku lihat kamu agak asem." Coklat dingin berpindah ke tangan gue.

Sudah lama kami tidak berkomunikasi setelah gue memutuskan keluar dari HIMA. Eh, tidak tepatnya satu minggu setelah gue resmi keluar karena setelah gue memutuskan mengundurkan diri di organisasi jurusan, mantan Kahim yang satu ini malah lebih dekat setelah gue keluar dari sana.

"Mas Tyok."

"Skripsi bikin mumet, sekaligus seneng." Setengah es amerikano tandas dalam satu tarikan. Dan, gue meminum coklat dingin dari Mas Tyok.

"Habis bimbingan, Mas?" tanya gue. Manusia asal Magelang ini lebih suka gue panggil Mas dibanding yang lainnya.

"Iya. Kamu enggak ada kelas?"

"Ada, tapi nanti," jawab gue sekenanya.

Sejenak ada keheningan di antara kami. Sudah lama semenjak Mas Tyok mulai sibuk dengan penelitiannya dan segala macam tugas akhir kuliahnya, kami kurang berkomunikasi apalagi saat itu gue juga sudah memasuki pernikahan awal karena gue sudah tak bisa mencuri waktu untuk meminta di antar ke sana kemari.

"Masih sama Haekal?"

Cukup membagongkan pertanyaan yang meluncur dari Mas Tyok. Bertemu orang lama artinya kembali membuka lembaran lama karena ia melewati masa-masa proses menuju prolog suatu buku.

"Sudah lama putus." Pacaran cuma berjalan tiga bulan dan gue lebih memilih Pak Johnny yang lebih dewasa. Pak Johnny bukan tempat pelarian gue, tetapi dia justru penyelamat gue dari namanya patah hati. Putus dari Haekal gue enggak butuh lama untuk bangkit lagi. Karena gue ikhlas dia bersama kesibukannya sendiri dan gue ikhlas jika dia memiliki cewek lain.

"Sorry," katanya terdengar menyesal.

"Enggak masalah. Ini bukan sesuatu yang perlu aku ingat Mas."

Sayangnya waktu mengobrol kami terbatas. Gue harus balik ke gedung B1 untuk kelas selanjutnya. Butuh lima belas menit untuk jalan kaki dari embung ke sana. Meskipun ini masih ada waktu tiga puluh menitan lagi.

"Aku ada kelas lagi, Mas." Gue siap-siap untuk pergi.

"Tunggu, Vin." Ia menyodorkan benda pipih ke arah gue. "Aku enggak mau kehilangan jejak kamu lagi."

Gue bimbang untuk ini. Gue enggak bisa menolak ataupun memberikan nomor ponsel gue ke Mas Tyok. Gue enggak punya alasan menolak, hubungan kami dulu terlalu dekat.

Our Merriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang