36. Garnis dan sisi gelapnya

888 65 2
                                    

Pak Johnny POV




Manusia itu memiliki dua sisi dalam hidupnya. Hitam dan putih.

Orang baik memiliki masalalu dan orang jahat memiliki masa depan. Percayalah, tak ada manusia seputih kertas dan tak ada manusia sehitam arang. Semuanya selaras karena tak ada ada manusia yang luput dari dosa.

White lie begitulah, kuberikan di depan Mama dan Papa. Kebohongan agar semuanya tak tahu kebenaran tentang putusnya hubunganku dan Garnis selama ini. Aku sudah terlanjur janji padanya untuk tak mengatakan kepada siapapun demi reputasinya.

Aku mengorbankan diri untuk orang yang pernah terselip di hati. Aku tak bisa memungkiri betapa sempurnya seorang Garnis. Pintar, mandiri, jago masak, gigih, dari keluarga yang terpandang, juga sangat ramah, dan humble, satu lagi bonus yang tak kalah besar, yakni cantik. Lelaki mana yang bakal menolak perempuan seperti dia. Rasa-rasanya cuma lelaki bodoh yang berani mencampakan dia.

Namun sekali lagi, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini, termasuk Garnis.

"Avin bisa jelasin kenapa?"

Jika malam ini seluruh dunia tahu sisi gelap Garnis, apakah Mama masih berada di bayang-bayangnya? Dan Avin berpikir ulang meminta mundur?

Tak ada guratan sedih atau hal menyakitkan di sana. Mungkinkah karena ia pendam terlalu lama dan berlatih sedih sendirian sampai aku tak melihat tanda penyelasan di sana akan keputusannya.

"Aku sudah tahu semua. Mama, kamu, dan Garnis."

"Aku tak bisa menjadi Garnis. Maaf," ucapnya menunduk.

Ini lebih menyakitkan dari apapun karena Avin tak mengeluarkan air mata setetes pun. Berbeda dengan aku yang berusaha menahan lara ini.

"Sejak kapan?" pertanyaan itu muncul begitu saja.

"Gerbong kereta. Maaf lancang membuka isi pesan kamu dan Mama."

Tubuhku melemas.

Wajahnya ia palingkan. Bibir mungilnya bergetar. Ternyata dia sangat pandai menyimpan luka sendirian. Sudah lama sekali ia memendam semua ini. Isi pesan aku dan Mama memang menyakitkan. Kini aku cuma bisa menyesal karena tak berhati-hati. Aku merasa kecolongan.

"Avin, bisa beri kesempatan untuk memperbaikinya?"

"Aku bakal jelasin semuanya. Soal itu, Mama ..."

"Aku lelah, Mas. Besok saja kita bahas."

Tubuhnya menghilang ke dalam kamar. Aku hanya bisa melihatnya di depan kamar sebelah yang kosong.

Aku juga lelah setelah hadir di acara Garnis.




Aku tak memiliki alasan untuk menalak dia dan aku belum siap mendengar permintaannya untuk menalak dirinya. Aku minta waktu untuk memperbaiki semua ini dan aku rela merendahkan Garnis di depannya nanti.

Aku cuma ingin menyelamatkan rumah tanggaku.

Sesuai permintaanku. Kami akhirnya duduk di meja makan setelah makan malam sederhana. Ia tadi cuma makan dua sendok saja, katanya masih kenyang. Namun, akhir-akhir ini aku sangat mengkhawatirkan dirinya yang sering bolak-balik kamar mandi.

Pasti dia sangat rapuh saat ini. Menanggung kepahitan sangat lama sendirian dan berjuang menggarap skripsi sampai matanya seperti panda setiap baru keluar dari kamar. Aku tak bisa membantu dia menyelesaikan tugas akhirnya.

"Kalo kamu mau sudahi. Ayo kita sudahi masalah ini."

"Bukan masalahnya, Mas. Tapi hubungan kita," ralat dia.

Aku mulai frustasi dengan kegigihannya meminta pisah dariku.

"Avin, mama memang salah, tapi dia sudah menyesalinya."

"Sesuai permintaan kamu kan?" Nadanya santai, tapi itu terdengar menyakitkan. Kesalahan terbesarku adalah meminta Mama baik terhadap Avin. Namun, Mama mengakui jika dirinya sudah rela menjadikan Avin sebagai istriku.

"Avin dengerin penjelasan aku dulu."

"Mau jelasin apalagi, Mas. Sudah terlalu banyak yang mas tutup-tutupi dari aku. Pernikahan itu bukan cuma tentang aku dan kamu saja. Tapi ada kedua orangtua kita yang harus disatukan."

Matanya mulai berair dan suaranya bergetar penuh dengan penekanan. Inilah bayaran atas perbuatanku. Harusnya tak kubiarkan dia sedih sendirian.

"Aku kurang suka ribut, Mas," ucapnya kemudian.

Wajahnya ia palingkan dariku. "Mau kamu apa? Mama sudah menyesali dan dia sudah berusaha ..."

"Berusaha, dan gagal. Iya kan, Mas!"

"Kamu enggak merasakan beratnya jadi aku. Aku selalu dianggap salah di depan keluarga kamu. Aku dianggap tak ada di depan mereka. Aku dianggap benalu bagi kamu. Kamu enggak pernah merasakan itu, Mas! Tapi aku yang merasakan selama menikah dengan kamu!"

Tubuhnya hampir limbung kalau saja aku tak menahannya. Di titik inilah, aku merasa gagal menjadi seorang lelaki. Perempuan yang kucintai lara karenaku. Menangis sampai terisak karena kebodohanku.

"Maaf, kalau aku menganggap ini sepele. Aku tak tahu itu."

Aku tak pernah tahu apa isi hati Avin setiap kali kami baru bertemu keluarga besarku. Yang kutahu, dia akan sangat takut menghadapi mereka, tetapi pada akhirnya Avin bisa bergabung dengan baik. Setiap pulang kumpul keluarga pun, Avin tak pernah menunjukkan sikap yang menggambarkan ia kecewa. Dia selalu terlihat baik-baik saja di depanku.

"Aku juga maaf kalau minta pisah dari kamu, Mas."

Tubuh Avin melemah setelah ia mengatakan itu. Setelah beberapa hari tak saling sentuhan fisik, aku baru bisa menyentuhnya karena ia terkulai di lantai dengan suhu tubuh yang tinggi.

Ia pasti sangat kelelahan menghadapi semua ini. Masalah rumah tangga dan skripsi yang sedang ia kebut tanpa peduli waktu.

"Badan kamu panas. Ayo kita ke rumah sakit."

Wajahnya masih basah dengan air mata. Aku menghapus jejak-jejak air matanya, tetapi segera ia tepis. "Aku baik-baik saja. Udah Mas, aku butuh istirahat saja."

Dia berbohong. Tubuhnya jelas-jelas panas dan ia terlihat sangat kelelahan. Ia lelah setelah mengeluarkan banyak tenaga.

Aku membiarkan ia meninggalkanku. Keras kepalanya memang melebihi batu, tetapi percayalah jika ia bisa luluh jika dibicarakan baik-baik, tak seperti tadi dengan emosi. Dia pasti mau-mau saja diajak berobat.

Baru beberapa langkah saja, tubuhnya limbung ke bawah. "Avin, sadar!" Panggilan gue tak di dengar lagi. Matanya terpejam dan tak sadarkan diri.

*****

Tak kubiarkan kami kehilangan untuk kedua kalinya. Pernyataan dokter membuatku terkejut, pasalnya kata dokter Avin hamil dan memasuki semester awal kehamilan.

"Ibunya jangan banyak pikiran ya, Pak. Takut kejadian tak mengenakan. Soalnya semester awal pada kehamilan rentan."

Aku memandangi tubuhnya yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Tak kupercaya ia hamil lagi. Dan itu bisa menjadi alasan untuk kita tak berpisah.

Avin seandainya kamu tahu sisi gelap Garnis. Pasti kamu akan menjadi wanita yang percaya diri. Pasti kamu bisa mengukur kebaikan yang ada di dalam diri kamu sendiri.

Aku berjalan ke ranjang dan menggenggam tangannya yang terinsfus.

"Maafin aku. Untuk kedua kalinya, aku tak menyadari kehamilan kamu. Maaf."

Beruntung janin di dalam perut Avin selamat. Aku tak bisa membayangkan jika kali ini dia keguguran lagi seperti yang pertama.

Saat kehamilan pertama, aku sangat down ketika ayah memberitaku kondisi Avin. Tak peduli dengan kesibukanku, aku langsung menemuinya dengan perjalanan panjang di malam hari. Aku takut dengan hal seperti ini. Pikiranku kacau, sekacau saat aku melihat aliran darah di kaki Garnis dan ia mengadu kesakitan di perutnya.











Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang