25. El-de-erww

824 55 4
                                    

"Mas marah?"

Manik di lehernya tercekat. Otot-otot disekitarnya sampai mengeras. Pasti dia sangat kecewa sekali dengan kecurangan gue selama ini. Bukan satu dua kali, tugas-tugas gue dibabat habis oleh Mas Tyok. Namun, bagaimana lagi? Otak gue pas-pasan dan sifat pesimis gue yang enggan hilang.

Karena Pak Johnny sudah jujur terkait hubungannya dengan Garnis, akhirnya gue memberanikan buka mulut. Meskipun berakhir gaduh seperti ini.

"Kenapa kamu juga tidak jujur soal tiket konser itu?"

Wajahnya masih dingin. Dingin sekali sampai-sampai atmosfer di dalam kamar juga seperti kutub utara.

"Mas enggak beri saya kesempatan. Mas memotong pembicaraan kala itu. Saya juga sudah kasih kode waktu pamit sama Mas Tyok"

"Kalau salah ya salah Avin. Tidak perlu kasih analogi-analogi untuk membenarkan kesalahan kamu!"

Gue menutup mata tak kuat mendengar suara tingginya. Dia enggak pernah semarah ini. Tubuh gue bahkan gemetar dan siap menumpahkan tangis.

"Maaf Mas," ucap gue gemetar.

"Maaf, saya kelepasan." Mukanya berpaling dari gue.

Kami saling memunggungi. Kesalahan gue besar tak sebanding dengan masalalu Pak Johnny dan Garnis.

Bagaimana kami nantinya akan berkomunikasi dengan baik kalau Pak Johnny pagi nanti beneran pergi menemani anak-anak KKN.

Pagi ini gue menghubungi bunda untuk membahas kepulangan gue. Bunda sangat senang  mendengar kabar itu. Namun, ada yang mengganjal di hati sampai gue enggak bisa menjawabnya.

"Gimana, Johnny ikut?"

Gue menengadah agar bendungan air di mata gue tidak tumpah. "Mas ada tugas kampus, buat nemenin KKN.:

"Oh ... Jangan ambil tiket malam ya."

"Tapi dia bakal nyusul kamu kan, nanti?"

Jangankan nyusul bun. Dia menyapa gue aja enggan. Kesalahan gue memang besar karena kebohongan yang menumpuk sudah segunung Uhud. Namun, gue rasa itu sudah berlalu.

Mas Tyok sudah pulang dan akan berjuang mengejar cita-citanya sebagai sastrawan. Dia juga sudah tak lagi bisa membantu tugas-tugas gue.

"Bun," ucap gue tercekat sampai tak busa berkata-kata lagi.

"Kamu ada masalah sama Johnny?"

Bukan jawaban yang gue beri, tetapi suara sesegukan yang tak bisa gue bohongi.

"Selesaikan dulu masalahnya, jangan lari."

Gue menenangkan diri sejenak. Berasa sudah membaik, gue menjelaskan ke bunda alasan gue balik. "Mas nanti di sana lumayan lama. Nanti Avin kesepian di sini. Toh, lagi liburan bunda."

"Iya, tapi nanti selesaikan masalahnya. Jangan lari."

"Iya bunda," ucap gue. "Bunda sudah dulu ya. Mas Johnny mau berangkat."

"Iya, sehat-sehat ya sayang. Salam dari ayah."

Gue turun dan menemui Pak Johnny yang sudah rapih dengan kopernya.

Kepala gue agak pusing. Mungkin, ini efek nangis diam-diam semalaman.

Jujur, gue sangat ingin meluk punggung gagahnya sebagai bentuk perpisahan. Namun, Pak Johnny masih marah sama gue, jadi gue urungkan.

Gue membalikkan tubuh lagi dan berniat duduk di ruang televisi. Namun, kehadiran gue sudah ketahuan olehnya meski dia memunggungi gue.

"Sini," titahnya.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang