10. Adu

1.3K 71 4
                                    

Tubuh gue sudah bugar. Guyuran air membuat gue tersadar 100% dari pengaruh alkohol. Entah semalam gue minum berapa gelas sampai kobam tak sadarkan diri, yang gue ingat ada Haekal di depan gue, tapi mungkin semalam efek alkohol.

Sekarang gue harus menghadap Pak Johnny yang sudah siap dengan segala kemarahannya. Gue menuruni anak tangga dan melihat Pak Johnny di bawah sana tengah memijat pelipisnya, apa kelakuan gue bikin dia pening. Bodoamatlah. Semuanya sudah terjadi.

"Mas," panggil gue ketika sudah di depan meja kerjanya dengan rasa takut yang masih menyelimuti.

"Mas." Gue memastikan Pak Johnny.

Atensinya berpindah ke gue. Sorot matanya masih menyimpan kemarahan yang sangat mendalam. Dia menutup laptopnya kasar dan membenarkan kaos oblongnya.

"Saya mau tanya sama kamu. Pantas tidak saya marah sama kamu sekarang?!" katanya tegas.

Jangankan melihat wajahnya, menjawab pertanyaannya saja rasanya sulit. "Kamu tahu, betapa khawatirnya saya semalaman, betapa bingungnya saya jawab ke bunda pas beliau tanya keberadaan kamu! Kamu enggak akan tahu, karena kamu cuma mentingin kesenengan kamu belaka."

"Kamu bahkan enggak bisa jaga kepercayaan saya."

Gue cuma bisa menunduk dan mengumpulkan air mata. Semua perkataan Pak Johnny benar, terutama soal gue yang masih egois. Kalau saja semalam gue bisa menahan sedikit saja kejadiannya tak bakal serumit ini. Apalagi rahasia hubungan gue sama Pak Johnny akhirnya terungkap.

Harusnya gue juga enggak perlu banyak minum gara-gara emosi mengingat keluarga Pak Johnny yang selalu memandang gue rendah.

"Ma..." Belum juga membuka mulut secara sempurna, Pak Johnny tak membiarkan gue bersuara.

"Maaf bukan solusi untuk masalah sekarang, Vin."

Saat itu pula air mata gue deras membasahi pipi. Gue memang tak pantas dimaafkan.

"Kamu ngelunjak akhir-akhir ini."

Dia berdiri di depan gue. Mengangkat wajah gue yang berlumur air mata penyesalan.

"Kali ini saya menyerahkan semuanya kemauan kamu. Terserah kamu mau main sama siapa, pulang jam berapa, saya tidak peduli lagi. Saya kecewa sama kamu."

"Tapi kan mas, saya juga butuh hiburan di luar. Semalam saya benar-benar khilaf, Mas!" Entah dapat keberanian dari mana gue menjawab.

"Saya tahu. Saya juga pernah muda kaya kamu. Tapi yang harus kamu tandai di sini, bukan persoalan kamu mabuk. Saya cuma kecewa karena kamu mengingkari janji. Kamu bohong sama saya! Apa perlu saya ingatkan lagi kapan seharusnya kamu pulang dan di mana seharusnya kamu pergi. Semua melenceng, Avinza!"

"kamu berbeda dengan sahabat-sahabat kamu yang masih bisa bebas. Kamu sudah menjadi tanggungjawab saya. Ngerti!" Sedikit terbesit penyesalan, mengapa dulu gue memutuskan nikah muda.

Tangis gue makin pecah. Ayolah! Gue memang salah karena sudah berkhianat, tapi apa tak ada ampun untuk masalah kaya begini. Lagian gue juga cuma mabuk dan tak melakukan hal-hal aneh yang melanggar norma.

"Mas!"

"Kayanya kita perlu waktu."

"Mas!" teriakku tak terima diabaikan.

"Apa perlu saya bilang, kalau saya juga melihat kamu dengan lelaki lain di embung waktu itu?!"

Gue sangat terkejut. Kan, biasanya dia tak berani menghampiri gue pas di Kampus.

*******

Mata gue sembab karena menangis semalaman. Tahu rasanya didiemin begini, gue enggak bakal melakukan hal konyol demi kepuasan diri gue sendiri. Gue harusnya sadar jika gue sudah menikah dan ada batasan-batasan yang harus gue jaga. Harusnya gue bisa mengontrol emosi.

"Iya, Bun. Maaf bikin ayah sama bunda di sana khawatir," ucap gue menyesal ke bunda yang menghubungi gue setelah kejadian kemarin. "Bun, sudah dulu ya, ada dosen." Gue enggak bohong.

Pak Johnny sudah masuk ke kelas pagi ini. Gue bisa merasakan aura gelapnya. Ini sama persis ketika gue belum mengenal jauh Pak Johnny. Wajahnya datar sekaligus dingin. Pokoknya kalau mahasiswa berpapasan dengannya males menyapa kalau enggak kepaksa.

Satu hal yang harus kalian tahu, bunda tadi menanyakan soal kemarin yang enggak bisa dihubungi. Kali ini, gue harus berterima kasih dengan lelaki yang tengah menyalakan laptop dan menunggu proyektor menyala. Dia sudah menyelamatkan hidup gue dihadapan kedua orangtua gue. Kayanya, Pak Johnny menutupi masalah kemarin, sampai tadi bunda enggak bertanya banyak soal itu.

"Selamat pagi," sapanya dengan wajah datar.

Semua orang juga tahu kalau lelaki yang tengah berdiri menyimpan satu tangannya di saku sedang tak baik perasaannya. Jadilah kelas penuh ketegangan dan menakutkan sekaligus.

"Kali ini saya mau menunjuk salah satu di antara kalian untuk menjelaskan materi minggu lalu."

"Ini penentu mutu kelas kalian dan tentu menentukan apakah cara mengajar saya sudah tepat sasaran. Saya takut jika selama ini ngajar di kelas, ternyata terlalu banyak ngomong di luar materi, terlalu cepat menjelaskan yang bikin kalian pusing."

"Sebelumnya, saya absen terlebih dahulu." Pak Johnny mundur dan duduk di kursinya.

Satu persatu nama disebut dan absen manual berputar dari meja ke meja. Dan, di tengah mengabsen ada satu nama tanpa kejelasan tak hadir di kelasnya.

Gue tebak dia mood-nya tambah berantakan, apalagi.

"Maaf Pak, Saya terlambat."

Pintu kelas terbuka karena kedatangan salah satu mahasiswa yang terlambat. Kelas sekarat kayanya.

"Dari awal kita sudah ada namanya kontrak kuliah." Mahasiswa itu mengangguk di tengah nunduknya. Percayalah, mahasiswa yang terlambat itu terkenal sangat rajin dan aktif dalam kelas. Mungkin, dia sedang masa sialnya kali ini.

"Terus kenapa masih di sini?"

Kaki mahasiswa itu masih yakin berdiri di depan sana. "Saya dianggap alfa tidak apa-apa, Pak. Asalkan saya tidak ketinggalan materi di mata kuliah bapak."

Semuanya cukup tercengang. Siapa yang bakal mau masuk kelas kalau sudah terlanjur dicap alfa. Mending nongkrong di kantin dan misuh-misuh untuk melampiaskan emosi. Bukan kaya dia yang masih kekeh dihadapan Pak Johnny.

"Terserah kamu."

Kedengarannya sangat menyakitkan.

Jauh-jauh kuliah malah dapat dosen ribet gini.

Pak Johnny melanjutkan menunggu salah satu mahasiswa yang bersedia maju menjelaskan materi minggu lalu, sebelum dia benar-benar menujuk salah satu mahasiswa.

"Lo maju," bisik lelaki di samping mahasiswa yang tadi terlambat.

"Gue kan dianggap alfa. Percuma kalau gue maju."

Gue dengar bisikan mereka dari depan. Dari tadi gue menghindari tatapan Pak Johnny supaya gue enggak jadi salah satu korban.

"Okey, jika tidak ada. Saya bakal nunjuk salah satu diantara kalian sesuai tanggal hari ini."

Modyar!

Ini tanggal berapa.

"Dua belas. Melisa Wardani."

Jantung gue lega karena Melisa yang di tunjuk.

"Kalau kamu merasa kesusahan, bisa minta ditemani yang lain," ucapnya.

"Avinza, Pak." Melisa tanpa pikir panjang.

Sialnya, Melisa menjeburkan gue lagi dalam jurang kesengsaraan.

Gue dan Melisa di depan kelas tanpa membawa apapun. Catatan saja tak dibolehkan, ini sih melebihi ujian skripsi.

"Kenapa gue sih?" bisik gue sebelum sesi riview materi.

"Pengin saja, biar mood Pak Johnny naik."

Ya salam! Kalau gini, Pak Johnny malah tambah badmood. Dia kan anti orang bodoh kaya gue.

Melisa tak tahu apa, kalau gue sumber bad mood-nya dia.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang