27. Insiden

924 61 4
                                    

Yeorobun, makasih sudah baca cerita ini.
Luv.

_____________________

Pagi-pagi sudah heboh karena gue yang terpleset di kamar mandi. Yang bikin ayah dan bunda syok adalah dengan adanya darah yang keluar banyak dari bagian bawah gue. Ini bahkan lebih banyak dari darah haid gue.

Tak sanggup melihat darah sebanyak itu, gue pingsan.

Ruangan serba putih dan selang infus yang menempel di tangan kiri gue menandakan gue tak baik-baik saja sekarang. Apalagi sayup-sayup melihat tubuh bunda yang luruh dihadapan gue dengan mata sembab seperti habis menangis panjang.

Kesadaran gue kembali dan disambut peluk oleh ayah dan bunda.

"Sayang, ayah cemas." Ayah tak hentinya menghujami gue dengan kecupan di kepala.

"Istirahat ya, Avin."

Bunda membelai tangan gue yang tak terpasang infus. Sejenak otak gue berpikir keras tentang keadaan gue. Separah apa?

Ingatan gue kembali di kamar mandi. Darah. "Kenapa darah, bunda?"

Mereka terdiam cukup lama. Matanya seperti saling lempar pandang, untuk menjelaskan kondisi gue.

"Kamu harus bedrest dulu sayang."

Gue mengangguk pasrah. Apa yang gue lihat sudah ada dipikiran gue. Namun, gue mencoba menenangkan diri dari syok yang bikin gue tak bisa ngapa-ngapain.

Perut gue agak kram dan kaki yang menjadi tumpuan saat terpleset juga terasa sakit.

Pagi tadi, perut gue sangat mual dan kamar mandi masih basah karena gue baru selesai mandi. Setelah memakai baju gue pergi ke kloset, tapi kaki gue menginjak lantai yang terkena tetesan sabun mandi. Kaki gue terpleset sampai badan gue terhuyung ke kloset dengan perut menghantam badan kloset begitu keras.

Dengan sisa tenaga gue memanggil bunda.

Sayangnya, gue enggak sadar kalau gue sedang hamil.

Kekacauan pola menstruasi yang bikin gue enggan lagi menghitung kapan terakhir gue mentruasi. Dan, mual-mual yang datang dari gue selalu disertai alasan masuk akal. Tubuh gue yang agak berisi karena selera makan gue yang tak seperti biasanya. Gue pikir penyebab gue makan banyak adalah karena stres.

"Bunda," panggil gue.

"Iya."

Baik ayah atau bunda memperhatikan gue. Deringan gawai ayah membuat beliau harus pamit dari ruangan ini. Kamar yang gue singgahi cuma ada gue sendiri.

"Bunda, Avin sudah paham kok."

"Sayang, jangan mikir apapun dulu. Kamu cepat pulih ya."

Gue mengangguk.

"Avin ceroboh sampai enggak sadar Avin hamil. Bun, itu yang bikin Avin sedih."

Bunda agak kaget dan langsung prihatin melihat gue. Bunda pasti menyadari ketidaktahuan gue.

"Kamu pasti belum sadar. Karena ini untuk pertama kalinya buat kamu."

"Bunda, maafin Avin enggak bisa jaga nyawa lain."

"Avin, semua udah terjadi. Kamu ikhlas ya." Bunda memeluk gue yang masih terbaring.

Gue enggak mau nangis karena gue paling enggak bisa lihat air mata bunda.

"Bun, bisa ditinggikan kasurnya?" pinta gue setelahnya.

Bunda meninggikan dan gue membenarkan tubuh. Kaki kanan gue terasa nyeri sekali sampai bikin gue meringis kesakitan.

Our Merriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang