20. Lempar Umpan

1.1K 61 5
                                    

Gue belum bisa bernapas lega. Pasalnya dari mesin mobil dinyalakan sampai kami hampir sampai tujuan akhir-beli belanjaan rumah tangga, Pak Johnny belum bersuara sedikit pun. Dan, nyali gue terlalu kecil untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.

Sedari tadi gue cuma mengutuk diri sendiri karena kecerobohan gue sendiri. Kalau saja gue ambil dompet sendiri, pasti kejadiannya enggak kaya gini.

"Konsernya kapan?"

Deg! Gue sangat terkejut mendengar pertanyaannya. Suara Pak Johnny datar dan tanpa ekspresi.

"Habis ujian, Pak. Eh, Mas." Saking groginya gue sampai-sampai keceplosan panggil Pak.

Suara ketawa kecil Pak Johnny terdengar menakutkan. Padahal sebenarnya dia biasa saja, mungkin ini efek gue lagi takut sama dia. "Oh. Berarti enggak ganggu kuliah kamu dong."

Gue mengangguk.

"Sejujurnya, saya kurang percaya sama teman-teman kamu. Tapi ... asal janji jangan minum lagi. Nanti saya izinin dan bebasin teman-teman kamu dari nilai E."

"Teman-teman saya, maksudnya Jamal dan Melisa, Mas?" Hampir saja mata gue copot. Jadi dia berpikir jika ini tiket nonton bareng bara-bere club. Rumit deh jadinya.

"Mas." Gue berdehem melumasi tenggorongan gue yang berat untuk jujur.

"Gara-gara tiket konser kamu enggak bisa tidur? Sayang, kalau kamu ngomong dari awal. Pasti semalam kamu bisa tidur nyenyak. Saya nakutin ya? " Ia tertawa menggelengkan kepala.

Gue menunduk. Nakutin sih enggak, takutnya dia marah kalau tahu tiket itu dari siapa. Mana dia belum tahu kalau Mas Tyok deket sama gue. Dia cuma tahu nama Mas Tyok karena dulu sering nganterin gue ke kampus pas gue sama Pak Johnny lagi masa pendekatan. Selebihnya, gue curi-curi waktu biar bisa diantar jemput dan keluar sama Mas Tyok. Mengandalkan Pak Johnny terus mustahil karena dia sangat sibuk. Ketemu paling nonton di bioskop terjauh dari Kampus dan pas nonton, Pak Johnny cuma nyenderin kepala di bahu gue atau enggak disenderan di kursi buat nyempetin tidur. Di kampus pun, kami bertemu cuma di dalam kelas, kadang juga pura-pura numpuk tugas biar bisa berduaan, meskipun lima menitan saja.

Namun, masa pendekatan dan proses pacaran selama satu semester itu gue sangat menikmati tantangannya. Padahal gue baru putus sama Haekal saat itu.

"Mas," kata gue.

"Kalau ada apa-apa diskusikan. Jangan dipendam sendiri. Saya tidak bisa baca pikiran kamu, jadi ungkapkan apa yang ada di dalam pikiran kamu. Saya bakal mendengarkan apapun itu."

"Kita sudah janji masing-masing buat cerita apapun masalah yang ada didiri kita masing-masing."

Pak Johnny meraih wajah gue dan menghadapkan wajahnya ke gue. Mata gue basah tanpa bisa gue kontrol. Apalagi saat Pak Johnny mencium bibir gue, air mata gue tambah deras tanpa bisa gue kendalikan.

Selepas tautan kami terlepas, dia terkekeh di depan wajah gue persis. "Kamu bisa mati kalau nahan napas terus. Sudah dibilangin kalau ciuman itu harus rileks." Tangannya menyeka air mata gue.

Kalau ada kaca di depan wajah gue. Gue pastikan wajah gue mirip kepiting rebus. Iya, napas gue pendek dan kalau ciuman suka lupa olah napas. Walhasil, gue sering kehabisan napas.

"Ayo turun. Kalau kamu saya kunci di dalam mobil lebih bahaya."

Wah anjir! Kok tiba-tiba sudah di tempat parkir mall. Please, kenapa otak gue mendadak eror gini.

Our MerriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang