Selamat membaca.
*******
Atas pertimbangan yang sangat besar, gue mengiyakan ajakan keluarga Pak Johnny. Keluarga besar pak Johnny adalah momok terbesar dalam hidup gue. Status sosial kami yang berbeda dan usia kami yang terpaut jauh, sering menjadi permasalahan di antara kami. Gue memang masih menyandang status mahasiswi, tetapi gue bisa berpikir lebih untuk mengatasi setiap masalah yang ada termasuk setiap gue dan Pak Johnny ribut.
Pernikahan kami adalah masalah kami. Namun, sepertinya tak sesederhana kedengarannya karena keluarga Pak Johnny masih merecoki hubungan kami. Sepupu-sepupu Pak Johnny yang semuanya perempuan lebih kepo dibanding mertua gue dengan urusan keluarga kami. Contohnya, "udah berapa tahun kamu nikah?"
Jawabannya bukan satu dua tahun. Lira, tepatnya sepupu pak Johnny dari keluarga tertua. Dia tak pernah menganggap kehadiran gue di keluarga besar ini. "Aku masih kuliah. Mas Johnny juga enggak mau terburu-buru soal anak." Lira sudah menikah dan sudah dikaruniai buah hati super menggemaskan lima bulan lalu.
Gue masih enggan memiliki momongan terlebih dahulu. Bukannya menolak rezeki, tetapi gue masih belum siap dengan bisingnya tangisan anak kecil yang bakal bikin gue stres. Gue belum skripsi dan perjalanan gue masih jauh. Dan, Pak Johnny menerima kesepakatan kita untuk menunda anak. Menunggu gue siap atau mendekati gue masa skripsi.
"kamu atau Johnny yang enggan?" tak ada basa-basi sama sekali. Lira selalu tepat sasaran menghujam hati gue.
Gue Cuma diam saja mendinginkan pikiran supaya tidak tepancing olehnya. Pasalnya, di sini masih ramai dan banyak orang yang membantu acara anniversary mertua gue.
"Avin, bisa ambilin piring lagi di lemari dekat pintu dapur enggak?" titah itu tiba-tiba muncul dari belakang gue.
"Bisa, Mbak." Gue juga enggak bisa menolak meskipun di tangan gue masih ada piring yang akan gue isi dengan makanan ringan untuk hidangan. Gue adalah makhluk tak kasat mata dihadapan keluarga Pak Johnny jika ada acara besar seperti ini.
Satu pekerjaan selesai, ada satu lagi yang harus gue kerjakan. Bukannya gue enggan, tapi cara mereka menyuruhlah yang bikin gue kesal. Gue ke lemari dekat dapur, mencari piring-piring kosong yang tersimpan di sana. Mama, begitu gue mamanggilnya setelah gue menikah dengan Pak Johnny. Beliau sangat bersih dan rapih, berbeda dengan anaknya yang agak ceroboh soal kebersihan. Baju saja harus gue siapkan kalau ada kelas, memang gue sebagai istri harus melayaninya. Namun, percayalah kalau gue lupa menyiapkan baju, dia akan menggunakan sembarang pakaian. Tak rapih karena belum tersetrika.
Gue kembali dengan membawa setumpuk piring beling. Acara memang sederhana, tetapi berkat keluarga Pak Johnny yang sangat banyak, acara jadi ramai. For your information, Pak Johnny anak tunggal sama kaya gue. Dan, yang bikin rumah ini ramai kalau ada acara adalah keluarga dari pihak Papa.
"Avin, masih sibuk, sayang," ucap Pak Johnny mendekati gue. Kami berada di dekat dapur untuk menyiapkan hidangan.
"iya, Mas. Acara kan, bentar lagi," jawab gue sambil meletakkan piring di depan Mega ̶ salah satu sepupu Pak Johnny juga, usianya tak terlalu jauh dengan Pak Johnny katanya.
"Sini dulu," titahnya. Gue mengikuti Pak Johnny ke depan.
Di ruang tamu sudah ramai anak-anak kecil dan dipenuhi makanan ringan. Di sisi kanan Papa mertua gue ada lelaki berpakaian kokoh putih dengan sarung bercorak, disusul seorang perempuan berkerudung motif memadukan gamis panjang yang dikenakan.
"Cantik, menantumu Tar," puji ibu-ibu yang kujelaskan tadi.
Gue senyum ramah menanggapi pujian itu. Soal rupa gue memang bisa dikategorikan lumayan, tetapi soal tinggi badan, kayanya gue kalah dengan perempuan yang duduk di samping ibu yang tadi memuji gue.
"Hey, aku Garnis," sapa perempuan ber-dress serba putih termasuk kain putih yang hanya disampirkan saja di kepalanya. Benar-benar seperti menghadiri acara pengajian, batin gue. Meski begitu, perempuan yang menyebut dirinya Garnis tetap cantik.
"Iya, kak." Gue menerima uluran tangan si cewek bernama Garnis.
"Mereka orangtua Garnis, Mama sudah anggap mereka sebagai keluarga besar sendiri," jelas Mama.
Hanya saja, gue enggak tahu pasti siapa si Garnis yang dari tadi memandangi suami gue lekat. Gue kurang suka dengan caranya memandangi Pak Johnny.
"Makanan di sini, dari catering dia. Mama enggak mau ngerepotin orang di sini."
Cantik, mandiri, pintar masak, tinggi, dan ramah. Gue bisa mendefinisakan bagaimana sifat perempuan itu.
"Widih, mantan calon mantu," seru Mega dari belakang.
Sejenak gue mencerna ucapan Mega. Mama terlihat tak enak memandang gue. Tamu yang datang di depan gue, bukan sekadar keluarga besar, melainkan ada hubungannya di masalalu Pak Johnny.
*****
Sepanjang acara, mata gue selalu tertuju ke Garnis. selain sifat yang gue sebutin, dia juga sangat humble. Meskipun, kami baru saja berkenalan, tetapi dia sering mangajak gue ngobrol. Banyak sekali yang ingin dia ketahui tentang gue.. Soal pendidikan gue, hobi, dan bahkan dia bertanya apakah gue bisa masak.
Daya tariknya melebihi artis papan atas. Dan, yang bikin gue iri terhadapnya adalah karena ia bisa tertawa renyah bersama sepupu-sepupu Pak Johnny. Respon keluarga besar Pak Johnny menciutkan rasa percaya diri gue. Gue merasa kalah telak dengannya.
"Kak, lo enggak gabung?" Tiara—sepupu paling muda di antara yang lain, mengagetkan gue.
Usia Tiara lebih muda satu tahun dari gue. Dia satu-satunya sepupu yang bisa gue ajak ngobrol kalau kumpul gini, maybe karena kita sepantaran.
"Di sini aja, mau lihat kue Mama," jawab gue sekenanya. Kue hari jadi Mama terlihat sederhana tetapi sangat cantik dan tak bosan dilihat, katanya itu spesial buatan tangan Garnis. Berdirinya gue di sini bukan sepenuhnya untuk melihat kue, tetapi jagain Pak Johnny biar enggak ngobrol sama Garnis.
"Kak, tuh," tunjuk Tiara dengan dagu.
Gue mengikuti arah Tiara. Selain, ramah Garnis juga agresif.
Lihat saja, dengan santainya perempuan itu melenggang ke arah kami. Disusul dengan Tiara yang pamit meninggalkan kami.
"Hey, Jo. Apa kabar?"
Sambutan dari tangan Pak Johnny bikin hati gue panas.
"Baik."
"Kamu tahu enggak? Minggu lalu, aku baru wisuda," terangnya—pamernya.
"Selamat ya atas tesisnya."
Dia berpendidikan tinggi.
Dan, gue rempahan rempeyek yang berusaha menjadi biskuit manis. Mustahil, begitulah gue yang mustahil menjadi Garnis.
"Berkat bantuan kamu juga, Jo. Semua lancar."
"Enggak juga, saya cuma kasih pandangan sedikit saja," timpal Pak Johnny. "Ini, istri saya."
"Iya tahu, tadi sudah kenalan. Udah kenal juga dari cerita tante Tari."
Senyum gue mengembang hampa. Sedangkan, orang yang bernama Garnis tersenyum manis ke arah gue. Pasti keluarga Pak Johnny sudah menceritakan tentang gue ke dia. Dia pasti bangga tahu semua kurang gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Merriage
RomanceCERITA LENGKAP!!! Kisah picisan antara mahasiswi dan dosennya. Avinza yang harus beradaptasi dengan kondisi barunya yang menyandang sebagai istri muda dari dosennya sendiri. Belum lagi menghadapi masa mudanya yang dikerumungi dengan kesenangan belak...