35. Dan, selesai

876 67 0
                                    

Selamat membaca
Dan
Jangan lupa vote

________________


Ada kabar baik setelah bimbingan siang tadi. Gue lulus revisi dan siap tahap selanjutnya.

Di tengah gempuran pergolakan batin gue, ternyata gue bisa melewatinya. Skripsi yang sengaja gue kebut meski harus revisi dan revisi lagi, tetapi gue sangat menikmati proses ini.

Ada seribu jalur kebahagian di dunia ini. Rintangan yang ditempuh pun berbeda-beda.

"Gue pesen es teh."

"Jus sirsak. Lo apa, Vin?"

"Es air putih."

"Enggak berwarna," cibir Jamal.

"Menyehatkan," timpal gue.

"Udah-udah. Kita baru ngumpul loh setelah seribu tahun lamanya." Melisa menengahi kami berdua dengan hiperbola.

Mereka ini selalu membuat beban gue luruh, meski pada akhirnya gue harus kembali menerima kenyataan pahit.

Memang frekuensi pertemuan kami semakin sedikit. Semua sibuk mengejar tugas akhir perkuliahan. Tanpa janjian seperti ini takkan terealisasi bisa duduk bareng di kantin langganan.

Berhubung jadwal kami lenggang jadi kami deal akan menghabiskan waktu berjam-jam di sini. Bantu bu Kantin tutup juga dijabanin.

"Skripsi kalian gimana?"

Baik gue ataupun Jamal, kami saling beradu pandang memastikan siapa duluan yang bakal menjawab.

"Skripsi dan revisi adalah pasangan setia di dunia ini."

Pasti Jamal juga mengalami hal seperti gue. Kita lihat seberapa beruntungnya Melisa yang diberi anugerah otak encer dan selalu percaya diri di depan dosen. "Skripsi itu bukan soal pinter atau enggak deh kayanya. Tapi dosen pembimbing juga jadi penentu suksesnya skripsi."

"Apa kabar gue yang revisi mulu." Gue tertawa hambar meratapi otak pas-pasan gue.

"Tapi katanya lo lanjut bab."

"Iya sih, Mel. Tapi ya tambah ketar-ketir lagi," ucap gue.

"Setidaknya lo lebih maju dibanding kita berdua. Iya nggak, Mal?"

Jamal menyetujui perkataan Melisa. Gue juga nggak nyangka bakal secepat ini untuk tahap skripsi. Berkat cerewetnya Pak Johnny dulu, malah berimbas baik untuk masa depan gue.

"Pak Johnny bantu lo?"

Melihat raut muka gue, pasti kedua sahabat gue tahu jawabannya. "Percaya sih. Apalagi ini tugas suci dari kampus. Dia mana mau bantu lo."

Selain itu, karena kami sudah pisah ranjang beberapa hari lalu. Gue sudah jarang berinteraksi dengannya, tepatnya gue yang menjauhinya.

Gue masih ingat ekspresi Mama saat gue bilang menyerah. Untung saja Mbak-mbak Spa meminta Mama untuk mengangkat telepon karena sedari tadi panggilan telepon terus berbunyi.

Our Merriage Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang