Ga mau GR.

1.6K 117 4
                                    

Warning 17+

Tak hanya makan seblak.

Nara juga mengajak Gala ke tempat dimana ia biasa nongkrong. Ya, jembatan yang sudah tak pernah dipakai karena satu sisinya sudah ditembok. Katanya sih, ada perselisihan antara dua kubu yang membuat jembatan ditutup. Tapi, jembatannya masih bagus. Dan kebetulan pula, jembatan nya sepi.

Nara mengajak Gala duduk disana. Jembatan beton ini sebenarnya adalah jembatan untuk mereka yang ingin pergi ke dusun sebelah. Tapi di bawah sana, banyak rumah rumah bawah tanah yang lebih kumuh. Rumah dipinggir kali. Tapi inilah hidup. Asalkan bertahan, mereka bisa melakukan apa saja.

Tapi kontras dengan kekumuhan itu, jika kita menatap ke depan, terlihat bangunan-bangunan super tinggi dan megah yang gemerlapan. Terlihat jauh. Disanalah tempat dimana para orang kaya berfoya-foya dan meraup rupiah. Tempat yang dihuni manusia sekelas Gala dan keluarga.

Kontras. Namun itulah hidup.

Tapi disini, Nara tak ingin memperlihatkan itu. Ia hanya ingin merasakan semilir angin yang terasa menyesakkan.

Dan Gala juga merasakan itu.

"Nara," panggil nya pelan. Gadis itu hanya menjawab deheman seperti biasa. "Dari sekian banyak tempat yang ada, kenapa Nara bawa Gala kesini?" tanyanya antusias.

"Karena disinilah gue ngerasa, manusia itu bisa berubah secepat itu," jawabnya lugas. Gala mengernyitkan dahi, tak paham. Ayolah, dia hanya ingin jawaban yang simple. "Maksudnya?"

"Lo lihat tembok penuh coretan itu?" Ia menunjukkan jembatan yang menutup akses jembatan. "Itu dibangun hanya dalam satu jam. Hanya karena satu masalah," tutur Nara menjelaskan. "Dulu, jembatan ini dibangun bersama-sama, antara warga dusun ini dan dusun sana bergotong royong agar mereka bisa berinteraksi dengan mudah. Lalu, tiba-tiba masalah datang. Ego mereka yang sama-sama tinggi penyebabnya. Lalu, semua bekerja begitu saja. Dan kita jadi tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan dusun sebelah."

Gala hanya manggut-manggut saja. Salau sebenarnya dia tak mengerti apa yang Nara bicarakan.

"Tapi, cerita ini bukan sekedar itu aja. Lucunya, ternyata mereka masih membutuhkan satu sama lain. Masih kangen satu sama lain. Tapi mereka terlalu malu untuk ngakuinnya. Jadi, diam-diam mereka sering manjat tembok tinggi itu demi ngelihat apa yang sebeneranya terjadi di dusun sebelah ketika ada keramaian."

"Dan itu sedang terjadi juga pada gue, Gal." Nara tersenyum tulus saat mengatakan hal itu. Ia menatap Gala dalam. Seakan ingin mengatakan sesuatu.

Eh, Gala ngerfrezee mendengar itu. Tapi beberapa detik kemudian wajahnya menjadi merah saat ia tahu maksud senyuman Nara hari ini.

Gala memalingkan muka. "M–maksud Nara apaan sih," elak Gala, salting.

Sadar jika dirinya sudah melampaui batas, Nara juga memalingkan muka. Ia berdehem beberapa kali. Jantungnya tak berirama. Ia sangat malu. Duuuh, keceplosan, batinnya.

"Dih, GR lo, maksud gue gue pengen geplak wajah lo yang nyebelin itu, tapi gue malu aja," elaknya tak masuk akal. Gala terkikik. Nara kalau salting lucu juga, ya.

"Cieee, Nara salting, ya!" goda Gala kesenengan. Nara melengos. Asem! Ingin rasanya menceburkan tubuhnya ke kali saat ini juga. Tapi apalah daya, nasi sudah berubah menjadi bubur. Ia harus siap menahan malu seumur hidup.

"Cieeee Nara salting, ciee. Tapi gapapa banget kok kalau Nara suka sama Gala. Secara kan, Gala ganteng, kharismatik, kaya—"

"Monyet," potong Nara membuat Gala jengkel. "Dih, mulut aja bilang wajah Gala kaya monyet. Tapi Gala mau kok taruhan kalau pas tidur Nara selalu bayangin wajah Gala."

Childish Boy: Love HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang